"Li ...."
Aku tersentak, Mas Alfi jatuh berlutut di kakiku.
"Katakan, apa yang harus aku lakukan, agar kamu tetap di sini."
Mas Alfi memegang kedua telapak tanganku, wajahnya mendongak menatapku.
"Bangun, Mas. Jangan rendahkan dirimu seperti ini."
Aku tarik telapak tanganku dari genggamannya.
"Aku rela merendahkan diriku serendah-rendahnya, asal kamu tetap mau berada di sisiku."
Mas Alfi bangun dari berlututnya.
"Aku berjanji tidak akan menikahi wanita itu. Aku berjanji tidak akan selingkuh lagi," janji Mas Alfi. Janjinya tidak menggoyahkan perasaanku. Aku sudah mantap untuk berpisah. Tidak ada maaf bagi dia yang sudah berselingkuh di belakangku.
"Mas pasti sudah berjanji pada wanita itu untuk menikahinya'kan? Dengan begitu mudahnya, Mas mengingkari janji itu. Berarti, akan sangat mudah juga bagi Mas, untuk mengingkari janji Mas padaku, untuk tidak selingkuh lagi." Meski sakit hatiku, aku tetap berusaha menjaga emosiku agar tetap terkendali, dan tetap lembut dalam bertutur kata. Aku masih menghormati Mas Alfi sebagai ayah dari anak-anakku.
Aku beranjak meninggalkan Mas Alfi. Aku membuka pintu lemari, pakaianku masih ada, karena tak semua bisa aku bawa.
"Li ...."
Mas Alfi memelukku dari belakang. Bibirnya menempel di atas bahuku.
"Maafkan aku, Li. Maafkan aku ...."
Dia berbisik di telingaku. Memohon untuk aku maafkan. Tapi aku tak ingin hatiku goyah karena permohonannya.
"Sudah aku maafkan, tapi maaf, aku tetap ingin pergi."
Aku menyingkirkan tangan Mas Alfi dari tubuhku. Aku menjauhinya, aku masuk ke dalam kamar mandi dengan membawa pakaianku.
Pintu kamar mandi aku tutup, punggung aku sandarkan di daun pintu kamar mandi. Kutarik dalam nafas, aku tak meragu, meski dia memohon kepadaku. Selama ini aku menjaga pandanganku, menjaga hatiku, menjaga rupa, dan tubuhku. Hanya untuknya, hanya untuknya ....
Tapi, dia tidak bisa melakukan hal yang sama untukku. Aku kecewa, aku terluka, kepercayaanku padanya sudah ternoda. Tak akan mudah membersihkan noda, tak akan mudah menyembuhkan luka. Aku sudah berusaha menjadi istri yang baik. Namun semua sia-sia belaka, entah istri macam apa yang diinginkannya.
*
Alfi terpaksa mengantar Alia ke rumah orang tua Alia.
Di dalam mobil menuju rumah orang tua Alia, Alfi masih berusaha membujuk Aulia.
"Li, apa keputusanmu tidak bisa dirubah lagi?" Tanya Alfi memecah kesunyian di antara mereka.
Kepala Alfi menoleh untuk melihat wajah Alia yang tampak tenang. Seakan Alia tidak sakit hati atas apa yang sudah ia lakukan.
"Maaf, Mas. Selama ini aku sudah menuruti semua yang Mas katakan. Tapi dengan gampangnya Mas berselingkuh. Itu hal yang menyakitkan. Luka hati seorang istri yang diselingkuhi. Tak mudah untuk diobati, ataupun dijahit agar utuh lagi." Tatapan Alia tetap lurus ke depan, suaranya tetap tenang
"Li, aku mohon maafkan aku," nada memohon dari suara Alfi, jelas terdengar.
"Sudah aku maafkan, tapi maaf, rasa percayaku pada Mas sudah sirna. Aku tidak ingin menyiksa diri, hidup dengan rasa curiga. Aku tidak ingin benakku disesaki kata kalau, mungkin, dan hal yang membuat hidupku tidak tenang." Alia tak mengalihkan tatapan dari jalan di depannya.
"Aku mohon Li ...."
"Maafkan aku, Mas."
"Aku bersumpah tidak akan selingkuh lagi," janji Alfi.
Alia tersenyum tipis.
"Janji Mas pada Allah, janji Mas pada orang tuaku, untuk terus berusaha membuat aku bahagia saja Mas ingkari. Apa aku harus percaya pada janji Mas ini." Kepala Alia menggeleng.
Alfi menoleh untuk menatap wajah Alia. Ucapan Alia adalah kalimat yang menohok, namun tak ada nada sinis pada suaranya. Suara Alia tetap tenang, dan lembut.
"Katakan, apa yang harus aku lakukan, agar kita bisa tetap bersama, Li?"
"Untuk sekarang, tidak ada yang bisa Mas lakukan. Luka hatiku masih menganga, masih berdarah. Aku tidak tahu, kapan luka ini sembuh."
Alia menarik nafas dalam. Ia hembuskan dengan perlahan.
"Jawab satu pertanyaanku, Mas. Apa salahku, apa kurangnya aku, sehingga Mas tega menduakan aku?"
Wajah Alia menoleh ke arah Alfi. Alfi juga menolehkan kepala. Tatapan mereka bertemu, dan Alfi gagal menemukan seseuatu dari sorot mata Alia. Tidak ada benci, tidak ada amarah, tidak terlihat ada luka. Tatapan Alia tak mencerminkan isi hatinya.
"Aku tidak tahu ...."
Alia tersenyum.
"Jawaban paling aman, dan nyaman," gumam Alia.
"Li, cinta itu tidak aku sadari datangnya. Mungkin karena kami terlalu sering bersama, sehingga aku merasa nyaman dengannya. Aku ...."
Alfi menghembuskan kuat nafasnya. Lalu ia tepikan mobil. Dimatikan mesin mobil, ia duduk menghadap Alia.
"Dia sering bercerita tentang rumah tangganya yang berantakan. Awalnya aku hanya mendengarkan, memberi dia semangat, dan masukan. Tapi, lambat laun, aku mulai ...."
Alfi kembali menarik nafas dalam, dan ia hembuskan dengan kuat, untuk mengurai rasa sesak yang ia rasakan.
"Menjadikan istri janda, demi seorang janda. Sekarang memang sedang marak terjadi hal itu, Mas. Ternyata, Mas jadi bagian dari para suami yang ikut latah melakukan itu."
"Li! Aku tidak berniat untuk membuatmu menjadi janda. Aku mencintaimu, aku ingin hidup bersamamu sampai habis usiaku! Tapi, hatiku tak bisa menolak keinginan untuk menjadikan dia milikku. Poligami bukan dosa, Li ...."
"Poligami memang bukan dosa, Mas. Tapi, Mas sudah selingkuh. Mas tidak bisa menjaga mata, dan hati Mas hanya untukku. Maafkan aku, aku tak mau dimadu. Jalankan mobilnya, Mas. Tak ada lagi yang harus kita bicarakan. Silakan untuk menuntaskan keinginanmu, untuk menjadikan dia milikmu."
"Li ...."
"Mas masih ingin mengantar aku, atau aku harus mencari taksi untuk ke rumah orang tuaku."
"Aku akan mengantarmu."
Alfi menjalankan lagi mobilnya. Tak ada lagi pembicaraan di antara mereka. Tiba di rumah orang tua Alia.
Asisten rumah tangga yang membukakan mereka pintu.
Orang tua Alia sedang menikmati acara televisi di ruang tengah.
"Assalamualaikum, Ayah, Bunda."
Alia mencium punggung tangan, dan telapak tangan kedua orang tuanya. Begitupun dengan Alfi juga.
Kening Bunda Alia berkerut, saat melihat tas yang dibawa Alia.
"Ada yang ingin Mas Alfi sampaikan pada Ayah, dan Bunda."
Tatapan kedua orang tua Alia tertuju pada Alfi.
"Li ... aku tidak ingin kita berpisah," mohon Alfi dengan wajah, dan suara memelas.
"Berpisah?"
Orang tua Alia saling tatap, lalu mengalihkan tatapan mereka pada Alia.
"Alia, ada apa ini sebenarnya?"
"Mas Alfi ingin menikah lagi, aku tak mau dimadu, aku ingin berpisah dari dia, Ayah."
Orang tua Alia kembali saling tatap. Mereka terkejut, meski sudah tahu perselingkuhan Alfi dari Arin, tapi selama ini mereka memilih diam. Mereka tidak ingin ikut campur urusan rumah tangga Alia. Selagi Alia tidak menceritakan apapun pada mereka. Selama ini, mereka melihat sikap Alfi juga tidak berubah.
*