PART. 1 INGIN MENIKAH LAGI
Alfi
Ku tatap wajah Alia, istriku.
Dia diam dengan tatapan tertuju ke mataku.
"Maafkan aku, aku hanya ingin jujur padamu. Aku tidak ingin diam-diam menikah di belakangmu. Tolong restui keinginanku."
Alia bangkit dari duduknya, dia bergerak mendekati lemari. Tanpa suara dari bibirnya, tanpa ada air mata yang jatuh dari matanya.
Alia membuka lemari, dia mengambil tas kanvas yang terlipat di bagian bawah lemari.
"Li ...."
Aku mendekatinya, aku pikir dia marah, dan ingin mengusirku dari rumah. Aku pikir, pakaianku yang akan ia masukan ke dalam tas. Tapi, aku salah. Pakaiannya yang dia masukan ke dalam tas.
"Li ... kau mau apa?"
"Mas sudah mengambil keputusan, aku juga sudah mengambil keputusan. Silakan nikahi wanita itu, tapi tolong kembalikan dulu aku pada kedua orang tuaku."
Ucapannya tetap lembut seperti biasa. Tatapannya juga tetap selembut biasa, aku tidak bisa melihat emosi dalam tatapan, raut wajah, dan gerak geriknya.
"Aku tidak ingin berpisah darimu, Li. Aku ingin, sehidup, dan sesurga denganmu."
"Maaf, Mas. Aku tidak ingin sehidup, dan sesurga dengan seorang suami yang tidak bisa menundukkan pandangannya di hadapan wanita lain."
Ku dengar Alia menarik dalam nafasnya.
"Maaf, aku tidak bisa sehidup, dan sesurga dengan pria yang tidak bisa menjaga hatinya untuk sang istri."
"Li, poligami itu bukan dosa. Aku merasa sanggup untuk menafkahi dua cinta. Aku yakin bisa adil ...."
"Maaf, Mas. Apapun yang Mas katakan, tidak akan merubah apa yang sudah aku putuskan. Aku tidak mau dimadu."
Aku terduduk di tepi ranjang.
Alia istri yang sangat penurut. Aku memintanya berhenti bekerja, demi mengurus keluarga, terutama mengurus sepasang anak kembar kami, Alan, dan Alin, yang kini usianya sudah tiga tahun. Alia tidak pernah membantah, tidak pernah mengeluh. Karena itu aku yakin, dia tidak akan menolak jika aku minta ijin menikah lagi. Tapi ternyata ....
"Li, aku tidak akan menceraikanmu."
Alia tersenyum menatapku.
"Aku tidak akan menanda tangani persetujuan Mas untuk menikah lagi, kalau Mas melakukan itu. Ingat Mas, tidak ada alasan mendasar bagi Mas untuk berpoligami."
"Li ... lebih baik aku jujur bukan, dari pada aku menikah sembunyi-sembunyi di belakangmu."
"Tidak ada yang lebih baik, saat seorang suami memuja wanita lain, itu bagiku. Maafkan aku, aku tidak bisa menerima lagi suami yang sudah tergoda oleh wanita lain. Tolong serahkan aku pada orang tuaku."
"Oke, Li. Aku akan batalkan niatku untuk menikah lagi. Aku mohon tetaplah di sini."
"Maaf, Mas. Ini tidak seperti Mas menumpahkan air, lalu nodanya bisa diseka dengan mudahnya. Hatiku terlanjur luka. Tidak akan mudah mengembalikan kepercayaan. Tak semudah, saat pertama kali Mas meraih kepercayaan."
"Li ...."
Sungguh aku tidak menyangka, istriku yang selalu bersikap lembut, bertutur kata lembut, selalu menurut padaku, ternyata memiliki hati sekeras batu.
"Aku pulang sendiri, atau Mas yang mengembalikan aku pada orang tuaku?"
Suara Alia tetap tenang, dan lembut. Begitupun dengan tatapan matanya.
"Li ... aku akan batalkan ...."
"Ludah yang sudah dibuang, apa ingin Mas jilat lagi. Kenapa baru berpikir setelah bertindak?"
"Aku hanya ingin jujur, Li."
"Aku hargai kejujuran, Mas. Tapi, aku ingin jujur, tidak ada lagi tempat di dalam hatiku, di dalam hidupku, bagi suami yang sudah menduakan aku. Jika Mas tidak mau mengantar aku, aku bisa pulang sendiri ke rumah orang tuaku."
"Li, seorang istri tidak boleh melangkah ke luar pintu, tanpa seijin suaminya!"
Aku berseru sambil mengikuti langkah Alia ke luar kamar. Si Kembar sedang menginap di rumah orang tua Alia. Hanya ada kami berdua di rumah.
"Selama ini aku memegang hal itu, Mas. Aku tidak pernah ke luar tanpa seijinmu. Aku selalu menurut apa katamu, tapi begini balasanmu. Haruskah aku terus mengikuti semua keinginanmu?"
"Li ... aku tidak bisa memilih kemana harus meletakan cinta."
"Mas, Mas sudah punya tempat untuk meletakan cinta. Rumah ini, aku, putra putri kita. Kenapa harus mencari tempat lagi."
"Cinta itu datang sendiri, tanpa aku sadari ...."
"Mas bisa menolak jika Mas menginginkannya, tapi Mas memilih memupuk rasa cinta untuk wanita itu. Itu nafsu, bukan cinta."
Sungguh aku merasa heran, Alia bisa bicara dengan sangat tenang, dan penuh kelembutan. Dia tidak berteriak, tidak juga menangis.
"Li ... maafkan aku, aku akan membatalkan niatku ...."
"Aku maafkan, tapi aku tetap memilih pergi."
"Li ...."
Aku peluk dia, dia tidak berusaha berontak. Aku cium dia, dia diam saja. Aku bopong tubuhnya, aku bawa masuk ke dalam kamar. Aku bawa dia untuk bercinta, dia melayaniku seperti biasa.
Setelah percintaan kami selesai.
Alia turun dari atas ranjang.
"Hari ini aku masih istrimu. Katakan, aku yang harus menggugat ke Pengadilan Agama, atau Mas."
"Li ...."
Ternyata, babak yang menggelisahkan perasaanku belum usai. Alia benar, ini semua salahku, tidak bisa menjaga mata, dan hatiku.
*
Alia
Aku masuk ke dalam kamar mandi, meninggalkan Mas Alfian yang tampak terkejut dengan ucapanku.
Ucapan yang sudah aku simpan sekian lama.
Aku memang lebih banyak menghabiskan waktu di rumah, tapi bukan berarti aku tak tahu apa-apa.
Perselingkuhan Mas Alfi sudah aku ketahui sejak dua bulan lalu. Dari, Arin, adikku. Arin mengirimkan foto, dan video, yang memperlihatkan kemesraan Mas Alfi dengan wanita itu. Sakit, hatiku sakit. Teramat sangat sakit. Aku menangis, hanya sekali itu saja aku menangis.
Aku berusaha bercermin, melihat diriku, instropeksi diri, apa kekuranganku, apa salahku.
Wanita yang jadi selingkuhan Mas Alfi tidak lebih cantik dariku, meski sejak menikah, aku tidak pernah memperlihatkan wajahku saat ke luar dari rumah.
Wanita itu juga tidak lebih muda dariku. Itu penilaianku, saat melihat beberapa video, dan foto yang beberapa kali dikirimkan adikku.
Arin meminta ijin untuk melabrak mereka, tapi aku tidak mengijinkan Arin mempermalukan dirinya.
Arin sempat mengompori aku agar melabrak mereka. Tapi aku tolak.
Mulutku terlalu berharga, untuk mengeluarkan teriakan, umpatan, atau sumpah serapah untuk mereka.
Kakiku terlalu berharga, buat datang hanya untuk melabrak insan yang sedang jatuh cinta tidak pada tempatnya.
Tanganku terlalu berharga, untuk digunakan memukul, atau menjambak rambut si wanita.
Air mataku terlalu berharga bagi seorang suami yang tidak bisa menjaga pandangan, dan hatinya.
Aku biarkan, aku pendam rasa sakitku. Aku yakin, suatu saat semua akan terbuka dengan sendirinya. Aku tidak akan mengungkit apa yang aku ketahui, selama Mas Alfi sikapnya tak berubah di rumah ini. Aku hanya menunggu ... menunggu apa yang akan dia lakukan selanjutnya. Terus menutupi perselingkuhannya, atau akan meminta ijin untuk menjadikan wanita itu halal baginya.
Hatiku sudah siap, jika sewaktu-waktu dia mengungkapkan keinginannya. Selama satu bulan ini, dia seringkali membahas soal pernikahan poligami, itu membuatku merasa, akan tiba waktu bagiku mendengarkan keinginannya.
Kenapa aku memilih tetap ingin pergi, tak mencoba mempertahankan pernikahanku. Tak menerima keinginannya agar aku tetap di sini, sedang dia sudah mengatakan akan membatalkan pernikahannya dengan wanita itu.
Bagiku, saat kepercayaan sudah dinodai, tak mudah untuk percaya lagi. Aku sudah menyerahkan jiwa, dan ragaku, juga sepenuh hidupku untuknya. Tapi, apa yang dia lakukan di luar sana. Membagi cinta, dan perhatiannya dengan wanita lain. Hal yang sulit termaafkan, meski selama ini aku memilih diam.
"Li!"
Suara ketukan di pintu, dan suara Mas Alfi menyadarkan aku. Aku sadar, sudah cukup lama di kamar mandi.
Aku menyeka tubuhku dari tetes air dengan handuk kecil. Lalu kubungkus tubuh dengan handuk besar. Perlahan aku buka pintu kamar mandi. Tatapan mata kami langsung bertemu.
"Aku mohon, jangan pergi."
Mas Alfi memegang kedua bahuku. Tatapan mata kami masih saling memaku.
"Maaf, keputusanku sudah bulat."
Masih kutatap matanya, kujaga sikapku, tatapanku, suaraku, agar tetap tenang, tak memercikan kemarahan. Tak ingin kutunjukkan, betapa sakit hatiku. Air mataku terlalu berharga untuk menangisi pengkhianatannya.
*