PART. 9 KEMBALIKAN ALIA PADAKU

1022 Kata
Alia menyambut putra, dan putrinya yang datang bersama Arin. "Umi!" "Sayang!" Alia memeluk kedua buah hatinya. Ia duduk di sofa ruang tamu. "Abang, dan Adek darimana?" "Dali lumah Tante Cuci." "Kita main cama Bang Adam, dan Dede Hawa, Umi." "Ooh ...." "Abi mana, Umi? Abi tidak ikut jemput kita?" "Tidak, kita menginap di sini dulu ya." "Abi kemana, Umi?" "Ada, Abi ada. Itu tadi, Abi beli makanan ringan untuk Abang, dan Adek. Ayo kita ke dalam." Alia bangkit dari duduknya, ia menuntun lengan kedua anaknya, untuk dibawa masuk ke ruang dalam. Namun langkah mereka terhenti. Saat mendengar suara mobil Alfi. "Abi!" Alan, dan Alin berseru. Lalu melepaskan lengan mereka dari pegangan Alia. Alia hanya diam di tempatnya. Menatap ke luar rumah. Ia memang tidak bisa melihat apa yang terjadi di antara Alfi, dan kedua anak mereka. Namun, Alia yakin, kedua buah hatinya itu pasti sudah berada di dalam gendongan kokoh kedua lengan Alfi. "Kita pulang sekalang, Abi!?" Tanya Alin. "Tanya Umi ya." Alfi menatap wajah Alia. Alia menghela nafas, lalu duduk di sofa. "Kita pulang sekalang, Umi?" Alin menatap uminya. "Umi ingin menginap di sini dulu. Kita menginap di sini ya, biar Abi pulang ke rumah." "Kalau kita nginap di sini, Abi menginap di sini juga dong!" Seru Alin. "Tempat tidurnya tidak muat, Sayang. Tempat tidurnya, cuma cukup untuk kita bertiga." "Kita tidul sama Tante saja, Umi. Abi tidulnya bisa sama Umi." "Abi harus pulang, rumah kita kosong kalau Abi ikut menginap di sini juga, Sayang." Alia berusaha memberi pengertian kepada kedua anaknya. "Kalau begitu, kita pulang saja, Umi. Kalau kita pulang, lumah Kakek tidak akan kosong'kan?" Alan menatap wajah uminya. Alia tidak tahu lagi, bagaimana harus membujuk putra, dan putrinya. "Iya, Umi. Kita pulang saja." Alin menggoyang lengan Alia. "Umi masih kangen dengan Kakek, dan Nenek, Sayang." "Kalau Umi masih kangen, besok kita kesini lagi. Bolehkan, Abi. Besok kita ke sini lagi?" Alin menatap Alfi. Alfi hanya mengangguk, untuk menjawab pertanyaan putrinya. Alfi takut salah jawab. Takut Alia berpikir, ia memanfaatkan kedua anak mereka, untuk membujuk Alia. "Ayo, Umi. Kita pulang." Alin mulai merengek. Alia menarik nafas dalam, lalu ia hembuskan perlahan. "Ya sudah, Abi ikut menginap di sini." Alfi terkejut dengan keputusan Alia. Tapi ia memilih diam saja, tidak berkata apa-apa. Selama ini, mereka memang belum pernah menginap di rumah orang tua Alia. Karena jarak rumah mereka yang tidak begitu jauh. "Holee!" Alan, dan Alin berlari masuk ke dalam, meninggalkan Alia, dan Alfi berdua di ruang tamu. "Hari ini terasa sangat panjang, sangat melelahkan. Karena perasaanku tidak tenang. Tolong beri aku kesempatan untuk menebus kesalahanku, Li." "Mohon maafkan aku. Aku tidak bisa memberi kesempatan kedua pada suami yang tidak setia." Alia bangkit dari duduknya, lalu menatap Alfi. "Sebaiknya Mas pulang, ambil pakaian ganti. Kalau memang Mas ingin menginap di sini bersama kami." "Aku pamit dulu dengan Ayah, Bunda, dan anak-anak." Alia masuk ke dalam, diikuti Alfi yang melangkah di belakangnya. Meski Alia berkata tak akan memberinya kesempatan kedua. Namun harapan itu tetap Alfi yakini masih ada. * Alfi selesai salat Ashar. Ia masih duduk di atas sajadah. Kedua telapak tangannya menadah ke atas. "Ya Allah, aku tahu betapa besar dosaku. Aku tahu, betapa berat kesalahanku. Ampuni aku ... ampuni aku ... ampuni aku." Alfi mulai terisak. "Ampuni aku, tak bisa menjaga mata, dan hatiku. Ampuni aku, tak setia pada istriku. Maafkan aku, sudah mempergunakan apa yang menjadi hak anak istriku di jalan yang salah. Maafkan aku ... ampuni aku ... ampuni aku ...." Alfi mengusap matanya yang basah. "Aku mohon, beri jalan agar rumah tanggaku bisa utuh kembali. Aku mohon, lemahkan hati Alia, agar mau memberi aku kesempatan kedua. Aku mohon ... aku mohon ... aku mohon." Alfi menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. Tubuhnya bergoyang, istighfar terdengar samar ke luar dari sela bibirnya. Alfi sungguh menyesali perbuatannya. Ia terlalu meremehkan peran Alia dalam rumah tangganya. Sekarang, belum genap satu hari Alia pergi, perasaan hampa sudah ia rasakan. Kesepian tak terelakan. Alfi baru menyadari, Alia sangat berharga baginya. Alia yang pandai membuat lelah tubuhnya sirna. Alia yang selalu bisa membangkitkan selera makan saat ia merasa tak enak makan. Alia yang .... "Ya Allah ... aku mohon, kembalikan Alia ke rumah ini, aku mohon ... aku mohon ... aku mohon ...." Isak Alfi terdengar nyaring. "Astaghfirullah hal adzim ... Astaghfirullah hal adzim ... ampuni dosaku ya Allah ... ampuni aku ... ampuni aku ...." Seumur hidupnya, baru kali ini Alfi merasakan gelisah seperti ini. Baru sekali ini, penyesalan menyesakkan dadanya. Dan, semua karena kebodohannya sendiri. * Alfi memarkir mobil di halaman rumah orang tua Alia. Ia membawa enam kotak berisi nasi, dan ayam bakar. Serta dua kotak nasi berisi nasi, dan ayam goreng, untuk kedua anaknya. "Abi!" Kedua anaknya menyongsong kedatangannya. "Maaf ya, Abi tidak bisa gendong kalian. Abi membawa makanan." Alfi melangkah diikuti kedua anaknya. Ayah Alia menyongsong di depan pintu. "Assalamualaikum, Ayah." "Walaikum salam." Alfi meletakkan yang ia bawa di atas meja teras, diraih telapak tangan Ayah Alia, ia cium punggung tangan Ayah mertuanya. "Masuklah." Ayah Alia menatap mata Alfi yang bengkak, dan merah. "Terima kasih, Ayah." Alfi masuk ke dapur diikuti kedua anaknya. Diserahkan yang ia bawa pada bibik. "Terima kasih, Mas Alfi." "Sama-sama, Bik." "Abi jadi menginap di sini?" Alan menunjuk ransel yang ada di punggung Alfi. "Iya, Umi mana?" "Di kamar." Alfi duduk di ruang tengah, bersama Ayah Alia. "Bawa tas Abi ke kamar Umi ya," Abi menyerahkan ransel yang ia turunkan dari punggungnya pada Alan. "Ya, Abi." "Alin di sini saja dengan Abi." Alfi mengangkat tubuh putrinya, ia dudukkan di atas pangkuannya. "Menginap di sini?" Tanya Ayah Alia. "Iya, maaf tidak minta ijin pada Ayah dulu." "Tidak perlu minta maaf, tidak perlu minta ijin untuk menginap di sini. Kamu putraku, Ayah dari cucu-cucuku. Apapun yang terjadi pada rumah tanggamu dengan Alia. Ayah berharap tidak akan merusak hubungan kita." Mendengar ketulusan dari ucapan, dan sikap ayah mertuanya. Rasa bersalah, dan penyesalan semakin menyesakkan perasaan Alfi. Ia benar-benar merasa jadi orang yang tidak tahu bersyukur. Sudah Allah lengkapi hidupnya, dengan istri yang baik, sepasang anak cantik, dan tampan, yang pintar. Juga mertua yang luar biasa. Tapi, semua itu bisa ia lupakan, hanya karena seorang w*************a. *
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN