Alfi menjalankan mobilnya, meninggalkan rumah makan tempat pertemuan dengan Nanda.
Di dalam hati, ia terus mengutuk dirinya sendiri. Menyesali diri yang tak mampu menjaga pandangan, dan kesetiaannya. Ia terlalu menganggap remeh Alia. Karena Alia selalu menurut akan ucapannya, sehingga ia berpikir, Alia benar-benar wanita pasrah yang tak bisa menyuarakan apa-apa.
Ternyata ia salah, Alia memiliki prinsip yang luar biasa. Alia memang menyerahkan seluruh hidupnya bagi rumah tangga mereka. Tapi, Alia tak mau memaafkan begitu saja perselingkuhan yang telah ia lakukan.
Alfi berhenti di lampu merah, ia menatap anak-anak yang ada di tepi jalan. Mereka langsung berpencar untuk menawarkan apa yang mereka jajakan. Alfi memejamkan mata, teringat akan kedua buah hatinya.
'Ya Allah, kenapa baru sekarang, aku teringat akan anak-anakku. Kenapa aku lupa akan mereka saat nafsu menguasaiku. Aku Ayah yang tega, berniat membagi waktu, dan cintaku, dengan anak orang lain, yang harusnya utuh menjadi milik anak-anakku.'
Alfi mengusap matanya yang basah, rasa sesal semakin menyesakan d**a.
Alfi kembali menjalankan mobilnya, saat melihat sebuah super market, ia membelokan arah mobil, untuk memasuki area parkir super market tersebut.
Alfi masuk, keadaan mini market tak begitu ramai. Alfi mengambil troli, tujuannya adalah membeli keperluan mandi, s**u, juga makanan ringan untuk anak-anaknya.
Saat Alfi mencari peralatan mandi, di dekatnya ada dua orang pria yang mengobrol.
"Sayang sekali kamu dengan istrimu, Rian. Sampai skin care, dan alat kecantikan istri kamu yang membelikan."
"Namanya juga istri, wajib disayang. Kita bawa dia pergi dari rumah orang tuanya, artinya kita sudah siap mengambil alih tanggung jawab orang tuanya, memberi dia rasa aman, nyaman, cinta, perhatian, dan kasih sayang."
"Termasuk membelikan dia alat kecantikan seperti ini?"
"Dengar ya, banyak pria suka melihat wanita cantik, lalu membandingkan dengan istri di rumah. Mereka lupa, kalau istri di rumah juga bisa cantik. Asal ada modalnya."
"Beruntung sekali istrimu, punya suami sepertimu."
"Dia beruntung dapat aku, aku beruntung dapat dia. Dia istri yang tidak banyak tingkah, ibu yang hebat buat anak kembarku."
"Aku harus banyak belajar darimu kalau mau menikah."
Kedua pria itu tertawa pelan.
Alfi terdiam di tempatnya.
Seingatnya, Alia tidak pernah minta apa-apa selama pernikahan mereka. Membeli pakaian bagus hanya setahun sekali, saat mendekati lebaran saja. Di rumah, Alia hanya memakai gamis murahan. Gamis yang dibeli dari sisa uang belanja. Itupun, Alia minta ijin dulu untuk menggunakan tabungan dari sisa uang belanja setiap bulannya.
Kepala Alfi menunduk dalam. Mulutnya ia tutup dengan telapak tangan. Air mata jatuh menetes tanpa dapat ia tahan. Penyesalan yang teramat sangat dalam ia rasakan. Ia merasa menjadi suami yang sudah mendzalimi istrinya. Tak memberikan apa yang terbaik yang ia bisa. Alfi baru menyadari, betapa kurang perhatian dirinya pada Alia selama ini. Padahal, Alia sudah memenuhi semua kebutuhannya. Tanpa pernah mengeluh. Tanpa pernah menuntut. Tanpa pernah meminta lebih, dari apa yang Alfi berikan.
'Ya Allah ....
Ampuni aku, ampuni salahku.'
Alfi mengusap mata, dan pipinya. Beruntung tak ada orang lain didekatnya.
*
Sementara Alfi mampir di super market. Nanda sudah tiba di depan pintu rumah orang tua Alia.
"Cari siapa, Mbak?"
Asisten rumah tangga orang tua Alia yang membukakan pintu.
"Alia ada?"
"Ada, kalau boleh tahu, Mbak ini siapa, biar saya sampaikan pada Mbak Alia."
"Katakan saja, aku Nanda."
"Oh baik, silakan duduk, Mbak."
Nanda melangkah masuk. Ia duduk di sofa yang terlihat sudah mulai pudar warnanya. Nanda tersenyum sinis, melihat rumah Alia yang baginya biasa saja, kalah bagus dari rumah orang tuanya.
"Assalamualaikum, Mbak mencari saya?"
Alia muncul dari balik gorden pintu menuju ke dalam.
Nanda bangkit dari duduknya, ditatap Alia yang hanya menggunakan gamis warna biru tua, jilbab sampai di bawah perut, dan masker yang menutup sebagian wajahnya.
'Cuma begini istrimu, Mas. Pantas saja, matamu selalu terpesona saat menatapku. Istrimu penampilannya sebelas dua belas dengan babunya.'
"Mbak mencari saya?"
Alia mengulangi pertanyaannya. Alia mengenali siapa wanita yang ada di hadapannya sekarang.
Alia tahu, wanita yang tengah menatap sinis padanya adalah selingkuhan suaminya. Tapi, ia lebih memilih bertanya, menunggu wanita di depannya memperkenalkan diri.
"Apa Mbak salah bertamu ke rumah saya. Apa bukan saya yang ingin Mbak temui?" Tanya Alia dengan suaranya yang lembut, selembut tatapannya. Alia tidak ingin menumpahkan rasa marah pada selingkuhan suaminya. Karena Alia tahu, perselingkuhan tak akan terjadi, jika bukan karena kesalahan kedua pelakunya.
"Cuma begini, istri seorang manager di perusahaan properti yang sangat maju." Nanda mencibirkan bibirnya. Menatap Alia dengan pandangan menghina.
"Cuma itu yang ingin Mbak sampaikan, tidak ada yang lainnya? Apa tidak sebaiknya, Mbak memperkenalkan diri dulu, sebelum memberi penilaian pada diri saya?"
"Aku rasa, kamu sudah tahu, siapa diriku."
"Maaf, Mbak. Wajah Mbak tidak familiar bagi saya. Saya rasa, ini pertemuan pertama kita. Saya yakin, kita belum pernah bertemu sebelumnya. Oh ya, silakan duduk, Mbak. Saya tidak ingin dianggap tidak sopan dengan membiarkan tamu berdiri." Alia menunjuk sofa yang tadi diduduki Nanda. Tapi Nanda masih tetap berdiri.
"Aku datang hanya untuk mengatakan padamu. Penuhi keinginan Mas Alfi!"
"Mas Alfi? Mbak kenal suami saya, keinginan apa? Maaf, saya tidak mengerti. Karena Mbak tidak mau memperkenalkan diri. Silakan duduk, Mbak, tolong jelaskan apa yang Mbak katakan tadi." Alia kembali menunjuk sofa. Meski hatinya bergetar karena ada rasa marah. Tapi ia berusaha mengontrol dirinya. Alia tak ingin memperlihatkan isi hatinya. Alia tidak ingin merendahkan diri, dengan berkonfrontasi secara terbuka dengan selingkuhan suaminya.
"Kamu itu memang tidak tahu, atau pura-pura tidak mengenalku. Jangan mempermainkan aku ya!"
Tatapan Nanda tajam ke bola mata Alia.
"Maaf, Mbak. Saya yakin sekali tidak pernah bertemu Mbak sebelumnya. Jadi bagaimana bisa, saya kenal dengan Mbak. Maaf, apa Mbak selebritis, sehingga saya harus kenal dengan Mbak. Tanpa Mbak harus memperkenalkan diri. Mohon maaf, saya jarang menonton televisi."
Suara Alia sangat lembut, namun ucapannya membangkitkan rasa marah Nanda.
"Sok alim, sok lembut, tapi ternyata lidahmu sangat tajam ya!"
Nanda memusingkan jari telunjuknya pada Alia.
"Maaf, saya hanya berusaha bersikap sopan, dengan menanyakan siapa tamu saya. Karena saya yakin, ini pertemuan pertama kita, Mbak."
"Pantas saja kalau Mas Alfi selingkuh, istrinya bego seperti kamu. Harusnya, tanpa aku jelaskan, dengan menyimak apa yang aku ucapkan, kamu sudah tahu siapa aku! Aku Nanda Permata, calon istri Mas Alfi!"
Nanda habis kesabaran, menghadapi Alia yang tetap tenang, namun mampu mempermainkan perasaan Nanda, sehingga terpantik emosinya.
*