Empat

1515 Kata
Wingga menunggu hingga tangis Stevany mereda. menunggu selama hampir lima belas menit barulah wanita itu tenang.  "Saya akan mengantar kamu pulang, ingat jangan melakukan apapun yang membuat hubungan Mira dan William rusak, atau kamu akan tahu akibatnya!" Stevany tidak menimpali perkataan pria itu, dia sibuk mencari alasan yang akan dia berikan kepada mama dan papanya nanti.  Wingga mengantar Stevany hingga depan rumah orang tuanya. Dia sudah menunggu hingga lebih dari sepuluh menit namun wanita itu tidak kunjung turun dari mobilnya. Stevany sibuk mengigiti kukunya, mencari alasan apa yang akan dia berikan pada orang tuanya. "Kamu tidak akan turun?" Tanya Wingga jengah. Mendengar pertanyaan dari pria itu, Stevany hanya melirik kesal. Kalau bukan karena pria yang Stevany belum ketahui namanya itu, dia mungkin tidak perlua takut seperti sekarang. "Ini semua karena kamu!" Kata Stevany kesal. Dia menunjuk tepat di depan mata pria yang belum dia ketahui namanya itu. "Kalu bukan karena kamu, aku tidak harus membuat pengakuan seperti itu sama mama dan papa," Tambahnya lagi. Wingga menangkap tangan Stevany dan menurunkannya. "Pengakuan apa?" Tanya Wingga penasaran, sejak tadi dia memperhatikan wanita itu yang geliah dan sepertinya ketakutan. Stevany memicing, dia melihat Wingga dengan tatapan curiga, "Bukan urusan mu." Stevany memilih bungkam. Dia membuka pintu dan keluar dari mobil pria itu lalu membanting pintunya dengan keras. Dia hendak melangkah namun dia kembali berbalik dan mengetuk jendela kaca mobil Wingga. Wingga menurunkan jendala mobilnya dan melihat wanita itu dengan pandangan bertanya. "Siapa nama kamu?" Tanya Stevany dengan gaya angkuh. Dagunya terangkat, dia hanya ingin memperlihatkan pada pria itu kalau dia bukan perempuan yang mudah di tindas. "Wingga," Jawab Wingga pendek. "Saya Stev-," "Saya sudah tahu," Potong Wingga, dia kemudian menutup kembali jendala kaca dan membawa kendaraanya melaju meninggalkan wanita itu sendiri di depan pagar rumahnya. Setelah kepergian Wingga, Stevany melihat rumah orang tuanya dengan ragu. Namun dia tidak bisa mundur. Stevany menyesal tidak membeli rumah atau apartemen untuk tempat tinggalnya. Dari awal dia memang memutuskan untuk tinggal dengan orang tuanya hingga dia menikah. Karena setelah menikah, anak perempuan akan jadi tamu di rumah orang tuanya. Setelah berhasil melewati halaman yang cukup luas tanpa kendala, Stevany kini menatap ragu ke pintu utama. dia membuka pintu denga pelan tanpa menimbulkan suara, Stevany melongokan kepalanya mengamati keadaan ruang utama rumahnya. Sepi, hanya ada pelayan yang sedang bersih-bersih. "Mbak, lihat papa sama mama nggak?" Tanya Stevany pada pelayan itu. "Ada non, baru saja naik ke atas" Jawab pelayan itu dengan sopan. "Makasih mbak," Stevany langsung mengambil langkah seribu dan berlari menaiki tangga.  "Iyess!" Serunya saat dia sudah berada di dalam kamarnya. Dia berbalik dan menyalakan lampu. "Astaga!" Teriaknya kaget saat melihat kedua orang tuanya sedang duduk di ranjangnya.  "Sore, menjelang malam sayang ku," Kata Samuel Raharja sambil tersenyum penuh makna. Sementara sang istri Viona Raharja, menatap putrinya dengan mata melot dan tangannya di lipat di d**a. "Sore papa," Balas Stevany sambil nyengir. "Jadi ada yang ingin kamu ceritakan, sayang ku?" Tanya pria itu lagi masih dengan senyum yang tidak luntur dari bibirnya. "Nggak usah cengar-cengir. Ini, apa maksud dari pesan mu ini?" Viona menyodorkan ponselnya ke hadapan Stevany, di layar ponsel itu terpampang jelas pesan yang Stevany kirimkan dua jam lalu. "Itu, Vany mengirim pesan seperti itu karena Vany merasa bersalah sama mama dan papa" Ucap Stevany tidak sepenuhnya berbohong.  "Yakin begitu, bukan karena ada sesuatu. Soalnya ini terlihat seperti pesan terakhir, sebelum pergi. Kamu nggak berniat pergi jauh kan?" Viona melihat putrinya dengan tatapan curiga. Stevany menelan ludahnya kasar, "Benar kok ma, Vany hanya teringat dan mengirimkan pesan itu sama mama , aku hanya berniat jujur. Dan Vany Juga tidak punya niat pergi sama sekali, Vany kan anak Mama dan Papa satu-satunya," Kata Stevany meyakinkan. "Mama masih tidak percaya, pasti ada yang kamu sembunyikan," Viona melihat Stevany dengan tatapan menyelidik. Dia tidak perduli dengan tas seharga miliaran, yang penting anak satu-satunya itu baik-baik saja. Dan pesan yang Stevany kirimkan membuatnya khawatir. Rencananya, jika Stevany tidak pulang sampai jam enam sore tadi, dia akan melapor ke pihak berwajib, atau menyewa detektif swasta untuk mencari putrinya itu. "Nggak ada yang Vany sembunyikan ma, semua baik-baik saja," Katanya lagi. "Mama dan papa sebenarnya tidak masalah dengan tas ataupun pancingan itu, yang terpenting adalah kamu baik-baik saja," Kata Viona lega, namun dia tetap akan mencari tahu apa yang membuat Vany mengirimkan pesan seperti itu. dia yakin putrinya tidak akan mengirimkan pesan itu, jika tidak dalam keadaan terdesak. Perkataan mamanya membuat Stevany terharu, dia menghambur kepelukan mamanya. "Maaf karena sudah membuat mama dan papa khawatir." Ucap Stevany tulus. Samuel ikut begabung memeluk dua wanita yang paling di cintainya itu. *** "Jadi tas dan pancingan itu kamu simpan di mana?" Tanya Viona, saat ini mereka sedang berada di ruang makan untuk makan malam. Setelah acara pelukan mereka tadi. "Tas mama aku jadikan pajangan di butik cabang bali, pancingan papa Vany jadikan hadiah giveaway" Stevany kembali memamerkan cengiran khasnya. "Pancingan papa seharga lima ratus juta kamu jadikan give away?" Samuel bertanya syok, dia menunggu enam bulan untuk mendapatkannya dan putrinya itu dengan gampang memberikannya kepada orang lain secara cuma-cuma. Stevany mengangguk pelan. "Maaf pa," Katanya lagi.  "Astaga!" Samuel memegang dadanya dramatis. "Jantung ku," katanya lagi.  "Papa," Stevany berdiri dan menghampiri papanya. Sementara Viona hanya melihat keduanya dengan santai. Kedua orang itu sangat pandai ber drama ria. Jadi dia tidak akan terpengaruh sama sekali. "Mama, mau ke Bali besok. Mau mengambil kembali tas mama." dia menyuapkan makanan ke dalam mulutnya tanpa menghiraukan drama dari kedua orang itu.Tapi belum suapannya masuk ke dalam mulut, dia menurunkan sendoknya dan meletakkanya di piring. Matanya menangkap sesuatu yang berkilau di jari manis putrinya. Setahunya, pagi tadi belum ada cincin di jari manis Stevany. Dia berdiri dan langsung menangkap tangan kiri Vany. "Cincin dari mana?" Tanya Viona penasaran. Wanita yang usianya akan memasuki lima puluh itu mengamati Cincin Vany. Cincin bentuk sederhana, namun terlihat pas di tangan putrinya, terlihat seperti cincin pertunangan. Stevany menarik tangannya dengan canggung, dia lupa melepaskan cincin pemberian dari Wingga. "Eh, itu aku baru membelinya tadi siang." Stevany berbohong lagi. Sepertinya "Bukan di berikan seorang pria?" Pertanyaan Samuel membuat Stevany terbatuk. "Jadi benar!?" Orangtua Stevany berseru girang. "pria mana yang memberikan cincin itu? apa itu Ben? jadi kalian sudah bertemu?" Tanya Viona beruntun. "Ini bukan dari Ben, tapi dari-," Vany menutup mulutnya dia hampir keceplosan. Dan secara tidak langsung Vany mengakui kalau itu memang di berikan seorang pria. Kedua orang tuanya melihat dia dengan tatapan penasaran, "Jadi siapa laki-laki beruntung itu?" Stevany mengigit bibirnya, haruskah dia kembali berbohong?.  "Hmm, Nanti deh, Stevany kenalin sama mama dan papa" Jawab Stevany akhirnya. "Baik, mama dan papa menunggu secepatnya." "Kalau begitu Vany pamit ke kamar lebih dulu." Stevany kemudian meningalkan ruang makan setelah mendapat persetujuan dari orang tuanya. Vany menutup pintu kamarnya, dia melemparkan badannya ke ranjang. Semua kebohongannya berasal dari pria yang baaru di kenalnya. Pria gila yang menganggapnya mencoba merusak hubungan Mira dan William.  "Haah," Stevany mendesah gusar, dia tidak sempat menanyai laki-laki itu karena sibuk memikirkan jawaban yang akan dia berikan pada orang tuanya. Dia harus menemui laki-laki itu dan mejelaskan kesalah pahaman ini. *** Pagi ini, Wingga bangun lebih pagi. Dia akan mulai bekerja menggantikan papanya hari ini. Mengenakan stelan jas lengkap berwarna hitam, membuatnya terlihat tiga kali lipat lebih tampan. Wingga mengangkat dagunya, melihat keseluruhan penampilannya di depan cermin full body. Wingga memasukkan barang keperluannya di dalam tas kerja berwarna hitam senada dengan pakaiannya.  Wingga menenteng tasnya dan keluar dari kamarnya, dia menuruni tangga dengan gagah. Pelayan muda yang sedang bekerja membersihkan bagian dinding di sisi kanan, terpana melihat tuan mudanya itu.  "Pa-pagi tuan muda," Sapanya gugup. Wingga hanya mengangguk dan melewati pelayan muda itu. "Pagi ma, pa," sapa Wingga hangat. "Pagi," Balas keduanya serentak. Wingga duduk di samping mamanya dan mengambil sendiri sarapan untuknya.  "Papa akan mendampingi kamu sampai tiga bulan kedepan. Setelahnya papa hanya akan memantaunya saja dari rumah" Kata Jose setelah mereka menyelesaikan sarapan. Wingga mengangguk, "Lalu apa yang akan papa lakukan, setelah itu?" "Mungkin keliling dunia sama mama. Sampai kamu memberikan kami cucu untuk kami jaga." Bukan Jose yang menjawab melainkan Cordelia sang Nyonya rumah. Mendengar kata cucu, entah mengapa ingatannya langsung tertuju pada Stevany. Wingga menggelengkan kepalanya saat membayangkan Stevany hamil anaknya. "Kenapa menggeleng? Kamu tidak mau menikah?" Coerdelia mengamati ekspresi Wingga. "Mau ma, tapi bukan sekarang. Mungkin tiga atau empat tahun lagi" Wingga mengangkat bahunya acuh. "Kenapa harus selama itu?" Protes Cordelia tidak terima. "Teman-teman mama sudah pada punya cucu. William bahkan punya anak saat dia seusia kamu sekarang" Kata Cordelia lagi. "Ma, aku fokus untuk mengembangkan perusahaan dulu. Setelah itu baru cari pasangan."  "Kalau begitu jangan sampai empat tahunlah, satu tahun aja. Jadi dua tahun lagi mama sudah punya cucu" Tawar Cordelia. Kalau sampai empat tahun lagi, bisa lama dia nunggu kehadiran sang cucu. "Kalau begitu minta Angel nikah duluan ma" Angel yang sejak tadi hanya anteng tersedak. "Ogah, Angel nggak mau nikah muda. Angel mau sukses dulu baru nikah" Balas Angel. "Atau mau mama bantu carikan?" Wingga langsungberdiri, dia tidak mau terjebak lebih dalam lagi dengan pembicaraan ini. "Aku berangkat kantor dulu ma," Katanya pamit.  "Wingga, mama belum selesai bicara!" Cordelia berusaha menghentikan putranya itu, namun Wingga tetap pergi.  Bersambung...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN