Stevany hari ini rencananya akan datang kerumah William, dia inin mengajak Mira ke sebuah festival yang di adakan di pusat kota. Dia juga sudah mengajak Jasmine. Mereka akan bertemu di sana, dan sekarang dia akan menjemput Mira terlebih dahulu. Stevany mengendarai mobilnya sambil bersenandung.
Berteman dengan Mira dan Jasmine tidak seburuk yang dia bayangankan, dulu dia pikir, dia akan selalu mengeluarkan uang saat jalan dengan mereka. Mira dan Jasmine adalah teman pertamanya yang berasal dari kalangan bawah. Selama ini semua temannya selalu berasal dari kalangan atas, mereka semua yang memiliki bisnis masing-masing. Jadi, setiap bertemu, hal yang mereka bahas adalah bisnis, tidak jarang mereka saling pamer pendapatan setiap bulan. Ada juga temannya yang berebut investor bahkan rela saling menjatuhkan untuk hal itu.
Berteman dengan Mira dan Jasmine memberikan pengalaman yang baru untuknya. Dan merupakan salah satu hal yang sangat dia syukuri. Dia menemukan hl-hal yang baru saat berkumpul dengan mereka berdua. Pandangannya tentang pedesaan juga berubah, mendengar cerita Jasmie tentang kampung temannya itu, dia jadi antusias ingin berkunjung ke sana. Kapan-kapan, dia akan berlibur ke sana.
Stevany menekan klakson saat dia sudah tiba di depan gerbang rumah calon mantan tunangannya itu. Namun saat gerbang terbuka sebuah mobil yang hendak keluar menghalangi jalannya. Stevany menekan klakson mobilnya lagi, memberi kode agar mobil yang di depan mengalah.
"Maaf, bisa kamu mundur sedikit! saya mau masuk" Stevany sedikit berteriak pada pengemudi di depanya. Posisi mobilnya sudah masuk lebih dulu, jadi dia tidak mungkin mundur, yang ada dia akan menabrak mobil yang di belakangnya.
Stevany mengerutu saat mobil yang di depannya itu hanya diam, tidak bergerak sama sekali. Stevany keluar dari mobilnya, lalu menghampiri mobil di depan itu. Dia mengetuk kaca jendela mobil tersebut dua kali.
Wingga menurunkan kaca jendela dan melihat Stevany dengan sinis, "Ada apa?" Tanya-nya angkuh.
Stevany melihat pria itu dengan kening berkerut, pria itu melihatnya dengan tatapan tidak suka. Dia mencoba mengingat-ingat, di mana pernah bertemu dengan pria itu. Dia mungkin dia pernah membuat salah pada pria itu. Namun dia tidak mendapati ingatan apapun tentang pria itu.
"Eh, maaf. Bisakah kamu mundur sedikit? Saya mau masuk" Kata Stevany ramah, tidak lupa ia memberikan senyum manisnya. Hal itu di lakukan bukan untuk menggoda pria tampan di dalam mobil melainkan, agar pria di depannya itu tidak tersinggung.
"Memangnya ada urusan apa kamu sama yang punya rumah?" Tanya Wingga dingin. Tidak ada tanda-tanda di akan bergerak, seperti yang wanita itu minta.
"Eh, saya nggak punya urusan sama yang punya rumah. Tapi saya ada perlu dengan Mira," Jawab Stevany jujur, dia memang hanya punya urusan dengan Mira. Dia juga tidak ingin berurusan dengan pria yang punya gengsi besar seperti William.
Jawaban Stevany semakin membuat Wingga yakin, kalau Stevany memang ingin mengintimidasi Mira yang polos.
Stevany mundur satu langkah saat dia mendapati tatapan tajam pria itu, seakan-akan dia bisa terbakar hanya dengan tatapan tajam itu.
"Maaf, apa ada yang salah?" Stevany tidak terima di tatap seperti itu, dia merasa tidak berbuat salah tapi dia di pandang seperti seorang yang ketahuan berbuat jahat.
"Apa tujuan mu menemui Mira?" Wingga kembali bertanya pelan, namun nadanya terdengar dingin dan menusuk. Siapa sangka pria yang memiliki sifat ramah dan supel itu bisa memliki nada yang dingin dan menusuk.
Stevany semakin kesal dengan sifat angkuh pria itu, "Bukan urusan mu!" Sungutnya. Dia membalikkan badannya hendak masuk kembali ke mobilnya. Dia akan mengalah, mungkin dia akan melajukan mobilnya agak jauh dari rumah William, lalu memutar balik untuk masuk kembali.
Bruk
Pintu mobil yang sudah terbuka itu, tertutup kembali dengan bunyi keras. Stevany berbalik, dia menatap tajam pria yang ada di depannya itu.
"Sebenarnya apa masalah mu? Dengar, saya tidak mengenal kamu, jadi sebaiknya jangan menghalani jalan ku!" Stevany berseru kesal. Dia menyetak tangan Wingga dari pintu mobilnya.
Namun lagi-lagi pria itu menahannya. Wingga menangkap tangan Stevany lalu menarik wanita itu masuk ke dalam mobil miliknya.
"Pak, tolong urus mobil itu!" Wingga berseru pada salah satu penjaga keamanan rumah William.
"Saya nggak kenal kamu, saya nggak mau ikut dengan kamu! turunkan saya, pak tolong pak!" Stevany berseru panik. Dia menggedor pintu mobil Wingga. Melihat tatapan Wingga, mereka, penjaga keamanan tidak berani ikut campur, terlebih menreka mengenal siapa Wingga.
"Diam!" Bentak Wingga pada Stevany yang terus berteriak minta tolong.
"Saya tidak punya urusan sama kamu!" Stevany balas berteriak. Dia tidak terima di bentak Wingga, meski ada rasa takut di hatinya.
"Kamu berurusan dengan saya, saat kamu berusaha menghancurkan hubungan Mira dan William!" Seru Wingga.
"Siapa yang mau menghancurkan hubungan mereka?"Tanya Stevany sewot. Yang ada dia berkorban untuk hubungan dua orang itu.
"Tidak perlu mengelak, saya tahu apa yang kamu rencanakan."
"Aku tidak merencanakan apapun," Dia hanya ingin mengajak temannya itu untuk pergi bersama, kenapa masalahnya jadi rumit.
"Lalu apa alasan mu datang kerumah calon mantan tunangan mu?" Wingga tersenyum sinis.
"Bukankah saya sudah bilang kalau saya ada perlu dengan Mira," Kata Stevany lagi.
"Saya tidak akan mengijinkan kamu bertemu dengan Mira, saya tidak akan membiarkan kamu menyakiti gadis polos itu."
Stevany sontak terbahak mendengar perkataan pria itu, " Memangnya kamu siapanya Mira? Dan ngomong-ngomong saya tidak berniat menyakiti Mira, kami berteman baik, tidak mungkin saya melakukan itu dengan teman saya" Kata Stevany setelah tawanya mereda. Dia rasa pria itu telah salah menilainya
"Saya sepupu William, dan apa kamu pikir saya bodoh dan mudah di tipu?" Wingga melihat wanita itu dengan datar.
"Saya tidak berbohong, kami memang berteman, bahkan sudah sejak satu bulan yang lalu."
"Teruslah berbohong, semakin kamu mengumbar banyak kata, semakin terlihat kalau kamu adalah penipu."
Stevany sontak melotot, dia menggebrak dashboard mobil Wingga keras. " Hei kamu! saya tidak butuh kamu percaya atau tidak. Sekarang turukan saya!" Perintah Stevany tegas.
Wingga hanya melirik Stevany sekilas, lalu tetap melajukan mobilnya tanpa menghiraukan perkataan perempuan itu.
Wingga memarkirkan mobilnya di depan sebuah rumah minimalis dua lantai. Stevany mengamati lingkungan sekitar, menurutnya tempat itu merupakan perumahan kelas menengah ke bawah.
"Turun!" perintah Wingga tegas.
"Tidak mau," tolak Stevany. Ada perasaan takut menjalar dalam hatinya, takut kalau pria itu berbuat jahat padanya. Atau mungkin lebih parah, seperti memperkosanya lalu membunuhnya dengan keji. Stevany bergidik ngeri membayangkannya.
Winga membuka pintu di samping Stevany dan menarik wanita itu keluar dari mobilnya, namun Stevany memegang erat setir mobil sehingga Wingga tidak bisa menariknya dengan mudah.
"Saya tidak mau turun, lepaskan!" Teriaknya histeris. Wingga mendengus, dia melepaskan pegangannya pada tangan Stevany. Dia tadinya ingin berbicara pada wanita itu di sini, rumah yang baru dia beli beberapa hari yang lalu. Dia berencana akan tinggal di sini setelah bekerja di perusahaan papanya.
Dia menutup pintu lalu menekan tombol lock, dia kemudian meninggalkan wanita itu di dalam mobil lalu masuk kerumahnya.
Stevany berusaha membuka kunci, semua tombol di dalam mobil dia tekan dengan panik, dia berpikir Wingga masuk kedalam rumah itu untuk mengambil pisau atau senjata yang akan dia gunakan untuk membunuhnya. Dia melihat sekeliling, berusaha mencari bantuan, namun tidak ada orang yang lewat sama sekali.
Dia merogoh ponselnya dari saku celana jeans yang dia pakai. Mengetikkan peasan pada orang tuanya. "Ma, Pa maafkan Vany yang masih sering membangkang, maaf juga karena belum mau bertemu dengan Ben Sadewa calon mantu idaman mama. Mama mafkan Vany, Vany ngaku kalau Vany yang ambil tas kesayangan mama, Vany juga yang menyembunyikan pancingan mahal milik papanya yang papa beli dari dari luar negri." Vany mengetikkan pesan itu sambil menangis. Tidak hanya itu, dia juga mengetikkan pengakuan lainnya termasuk menotal seluruh aset dan kekayaan yang dia miliki. Berpesan pada mamanya agar sebagian hartanya di sumbangkan ke badan amal.
Setelah menekan tombol kirim, dia menatap pasrah pada Wingga yang baru keluar dari pintu dengan menggenggam seseatu di tangannya, Stevany tidak dapat melihatnya dengan jelas. Mungkin itu adalah senjata tajam yang akan pria itu gunakan unuk membunuhnya.
"Kalau kamu, hikss. Ingin membunuhku, tolong lakukan dengan cepat. Setelah saya mati tolong kirimkan mayat ku ke rumah sakit, atau kuburkan saya dengan layak" Katanya dengan berlinang air mata. Wingga baru saja duduk di bangku kemudi melihat wanita itu dengan bingung.
"Siapa yang ingin membunuh mu?" Tanya seraya mengamati sekeliling mobilnya. Tidak ada siapa pun, pikirnya.
"Jadi kamu tidak akan membunuhku?" Tanya Stevany, ada binar lega di matanya.
Wingga mendengus, dia menarik tangan Stevany dan menyematkan sebuah cincin sederhana di tangan wanita itu. "Untuk sementara ini, kamu berstatus sebagai kekasih saya. Saya akan memantau kamu, jadi jangan coba-coba untuk merusak hubungan Mira dengan William. Atau saya akan melakukan semua hal yang kamu pikirkan tadi!" Ancam Wingga dengan serius.
Tunggu jadi dia tidak akan di bunuh? lalu bagaimana dengan pengakuannya ke pada mama dan papanya. Pancingan mahal papanya, tas kesayangan mamanya. Tangisan Stevany semakin kencang, kali ini bukan karena takut pada Wingga namun takut di gantung oleh papanya. Terlebih setelah melihat centang dua berwarna biru pertanda pesannya sudah di baca.
"Dasar wanita lemah, saya bahkan belum melakukan apapun kamu sudah menangis kencang seperti itu" Wingga memberikan tissue ke hadapan Stevany. Yang di sambar kasar oleh wanita itu. Membersit ingus di hadapan pria itu tanpa malu, lalu membuang tissue nya dengan sembarangan. Wingga bahkan melolot jijik pada tissue yang di buang wanita itu di dalam mobilnya. Oh, ingatkan Wingga untuk mencuci mobil setelah ini.
***
Bersambung...