Usai meminta maaf kepada Arsen, mereka pun berjalan meninggalkan danau untuk menyusul rombongan Lord Yasa yang sedang berusaha menyelamatkan Makula. Suara mereka terdengar panik dari kejauhan sehingga membuat Arsen dan Kartajaya mempercepat langkah mereka.
Sebelum meninggalkan danau seutuhnya, Kartajaya menoleh ke belakang lalu matanya menangkap sebuah lecutan tali cahaya berwarna biru yang timbul dari permukaan dasar danau. Kartajaya terperangah dan menghentikan langkahnya, ia memperhatikan tali itu seolah melambaikan salam perpisahan kepadanya.
Tali cahaya itu bergerak sebanyak beberapa kali, kemudian membenturkan diri ke tanah seolah sedang mencambuk keras hingga menimbulkan percikan cahaya biru yang kemudian menyebar di permukaan tanah bagai akar pohon yang saling bersulur mengikat tanah agar kokoh dan kuat.
Percikan cahaya biru itu terus bergerak hingga mencapai kaki Kartajaya, melilit kedua kaki hingga Kartajaya bergerak mundur dengan panik sampai terbentur pada batang sebuah pohon tua yang sangat besar.
“Tidak! Tidak! Tidak!” seru Kartajaya.
Ia tidak ingin diikat oleh percikan cahaya biru mistis itu untuk kedua kalinya dan tenggelam di dalam danau yang sama seperti sebelumnya.
Namun, percikan yang lama kelamaan membentuk sebuah tali akar bercahaya itu tidak berhenti, dan melilit kedua pergelangan kaki Kartajaya dengan kuat.
Kartajaya menoleh ke belakang, hendak berteriak meminta tolong kepada Arsen. Namun betapa terkejutnya ia saat mendapati Arsen telah berjalan sangat jauh tanpa menyadari jika Kartajaya tidak berada di sampingnya.
Hal itu membuat Kartajaya semakin panik, ia pun menunduk melihat kakinya yang sudah dililit oleh akar cahaya yang sangat kuat. Kartajaya berusaha bergerak memberontak, namun bukannya terlepas, tali cahaya itu melilit semakin ke atas, ke betis dan paha Kartajaya.
Kartajaya pun menahan tubuhnya pada pohon, ia menunduk memperhatikan kakinya yang semakin erat dililit cahaya, hingga kemudian saat Kartajaya berpikir bahwa kesempatan hidupnya akan berakhir lagi, ia melihat cahaya itu berpendar maksimal lalu seperti terjadi tegangan tinggi dan memercik berkali-kali.
Pendar cahaya itu semakin terang, semakin besar hingga tiba-tiba saja, seluruh cahaya yang mengikat kaki Kartajaya menelusup masuk ke dalam kaki pria itu. Seperti urat tubuh yang berwarna biru, seperti akar tanaman yang panjang berbentuk sulur, cahaya itu merasuk ke dalam kaki Kartajaya, menyelimuti setiap syaraf tubuh pria itu, lalu beredar ke seluruh tubuh untuk mengikuti alirah darah.
Kartajaya mengerang keras, cahaya itu membuat tubuhnya merasa sakit dan ia seperti merasakan desakan kuat yang menekan dan memaksa setiap aliran darahnya agar mengalir lebih cepat. Proses yang membuatnya hampir kehilangan kesadaran itu berlangsung selama beberapa detik, hingga kemudian rasa sakit itu menghilang sama sekali.
Lenyap tak bersisa. Menyisakan suasana hening yang nyaman, seolah Kartajaya sedang berbaring di atas ranjang yang empuk dan lembut.
Perlahan-lahan mata Kartajaya membuka, betapa terkejutnya Kartajaya saat danau dipenuhi oleh ratusan kupu-kupu yang memancarkan cahaya biru yang sedang berterbangan di atas pepohonan dan tanah yang ada. Salah satu kupu-kupu bercahaya biru itu menghampiri Kartajaya, lalu hinggap di pundak pria itu dan sedetik setelahnya, kupu-kupu itu pun lenyap tak berbekas di atas pundak Kartajaya.
Pria itu membelalak, matanya menangkap kejadian yang sangat diluar akal sehat, ia pun mengedarkan pandangan ke atas danau, pada saat itu pula kupu-kupu lainnya pun menghilang tak berbekas.
Kartajaya termenung di tempat, lalu sebuah tepukan di pundak menyadarkan lamunan tak berujungnya.
“Hey! Apa yang kau lakukan disini!” tanya Arsen dengan nada marah. “Aku pikir kau mengikutiku, tapi ternyata kau malah beristirahat tanpa memberitahuku!”
Ksatria yang melamun itu pun mengerjap, kemudian menoleh menatap Arsen yang tengah marah kepadanya.
“Maaf… Kakiku… Kakiku…”
Kartajaya menunjuk kakinya yang sudah kembali normal. Tidak ada sulur urat bercahaya biru, tidak ada akar tali bercahaya biru, tidak ada apapun yang berhubungan dengan cahaya biru dari dalam danau.
Hanya ada kakinya yang sedang gemetar dan terasa lemas.
Kartajaya menghembus nafas, ia heran melihat kondisi tubuhnya yang normal setelah apa yang terjadi barusan.
“… Terasa lemas dan gemetar.” Sambung Kartajaya dengan suara lemah.
“Kau bisa memberitahuku kalau ingin istirahat, jangan berhenti mendadak dan sendirian seperti ini! Kau adalah anak baru yang bisa saja tersesat di hutan ini jika berpergian sendirian…”
“Maafkan aku…” ujar Kartajaya, kepalanya tertunduk sebagai bentuk penyesalan di hadapan pelatihnya.
Mata Kartajaya menatap kakinya yang kembali normal berangsur-angsur, tidak lagi lemas dan gemetar.
“Sebanyak apapun kau mengenal hutan ini, tapi usahakan jangan terpisah dari rombongan, atau kau akan berakhir seperti kemarin, jatuh ke dalam danau hingga sulit ditemukan.”
“Kau benar, lain kali aku akan memberitahumu jika aku merasa lelah. Terima kasih karena sudah kembali menjemputku disini…” jawab Kartajaya.
“Apakah kakimu masih lemas?” tanya Arsen.
Kepala pelatih Aksata itu menunduk dan memperhatikan kaki yang sudah kembali terasa normal. Kartajaya menggerak-gerakkan kakinya beberapa kali, kemudian mengangguk puas.
“Sudah kembali normal. Mari kita susul Makula…” jawab Kartajaya.
“Ayo!” jawab Arsen.
Mereka pun melanjutkan perjalanan, kali ini langkah Arsen lebih perlahan agar tidak kehilangan Kartajaya di pertengahan jalan. Ia terus memperhatikan Kartajaya yang berjalan di sampingnya hingga Kartajaya merasa risih.
“Aku baik-baik saja…” jawab Kartajaya tanpa perlu ditanya.
“Benarkah?”
“Ya, terima kasih atas perhatianmu.”
“Kau terlihat sedikit pucat…”
“Mungkin itu karena aku melewatkan sarapan pagi ini… tidak perlu khawatir.”
Arsen berdecak kesal, lalu menggeleng, “Jangan melewatkan sarapan.” Perintah Arsen.
“Baik, Tuan Pelatih.”
Suasana di antara mereka kembali hening, langkah mereka serempak dan seirama. Tidak ada yang tertinggal dan tidak ada yang mendahului.
Diam-diam Kartajaya menoleh ke belakang, mencoba melihat kondisi danau mistis yang dia yakini merupakan danau yang sama dengan danau berkabut yang menenggelamkannya. Danau yang membuat Kartajaya hilang kesadaran, dan terbangun di lokasi dan waktu beribu tahun kemudian.
Danau itu memiliki cahaya tali berwarna biru yang sama, memiliki energi mistis yang sama, bedanya danau ini sudah tidak berkabut, tidak terletak di dalam hutan terlarang yang mengerikan dan tidak tersembunyi dari manusia pada umumnya.
Manusia-manusia pada jaman ini tidak menganggap hutan tersebut sebagai hutan terlarang, mereka tidak takut untuk memasuki wilayahnya karena memang tidak ada hal menakutkan yang terlihat, seperti kabut tebal berwarna putih yang pekat, tidak ada dedemit mengerikan yang muncul, tidak ada jebakan lumpur hidup atau apapun.
Hanya ada hutan lebat yang tenang dan menenangkan. Sumber oksigen yang melimpah membuat hutan ini menjadi sangat bersahaja. Walau kelebatan dan lokasinya yang besar dengan jalur-jalur yang rumit harus membuat semua orang berhati-hati saat memasukinya karena mereka bisa tersesat selama berhari-hari dan tidak bisa ditemukan dengan mudah.
Pikiran Kartajaya beralih pada tali cahaya biru yang sebelumnya seperti mengucapkan salam perpisahan, setelah dipikir ulang, tali itu tidak bergerak melambaikan salam perpisahan, tapi undangan untuk datang.
Kartajaya menggigil dan menggeleng kecil. Ia tidak akan pernah datang ke tempat itu lagi, dan tidak akan membiarkan dirinya terjebak di dasar danau yang sama seperti sebelumnya.
“Apakah kau kedinginan, Aksata?” tanya Arsen setelah melihat tubuh Kartajaya menggigil.
Kartajaya menggeleng, “Tidak, aku baik-baik saja. Bagaimana jika kita berlari untuk menyusul rombongan. Aku ingin cepat-cepat melihat Makula…” ujar kartajaya.
Arsen pun mengangguk, “Kalau begitu, Ayo!”
Kedua anak muda itu pun mulai berlari. Ada hal yang cukup esensial yang dirasakan oleh Kartajaya. Ia mendapati tubuhnya sedikit mampu menyelaraskan diri dengan keinginan hati dan pikirannya. Tubuhnya mampu bergerak lebih selaras, lebih cepat. Bahkan ia bisa menyamai langkah kaki Arsen yang lebih cepat darinya.
“Apakah ini adalah efek cahaya barusan?” tanya Kartajaya dalam hati.
Brak!
“ACK!!” teriak Kartajaya.
Pria itu tersandung akar pohon yang besar hingga membuatnya terjatuh begitu saja. Keselarasan yang sempat dia rasakan menghilang tiba-tiba dan ia kembali menjadi Aksata yang lemah dan ceroboh tepat pada saat dirinya berpikir bahwa keselarasan itu berasal dari tali cahaya.
“Hey! Berhati-hatilah!” kesal Arsen.
Pelatih Aksata itu berkacak pinggang, lalu dengan kesal mengulurkan salah satu tangannya untuk membantu muridnya berdiri.
“Yang benar saja, kau sendiri yang menyarankan berlari, tapi kau pula yang jatuh! Sudah lebih baik kita jalan kaki saja!”
“M…”
“Mau minta maaf lagi? Tidak usah, bosan mendengarnya. Cepat bangun dan berjalan dengan hati-hati!”
“B – Baik, Pelatih.”
***