Setelah berhasil menyusul rombongan Lord Yasa yang berjalan jauh di depannya, Kartajaya dan Arsen mendapati rombongan itu tengah berhenti di sebuah sungai kering yang sangat lebar. Terdapat banyak bebatuan besar yang mengikuti aliran sungai tersebut dan Makula diletakkan di atas permukaan salah satu batu besar yang berada di pinggir sungai.
“Apa yang terjadi?” tanya Arsen kepada Lord Yasa.
“Entahlah, anak ini meminta kita membawanya ke sungai kering ini…” jawab Lord Yasa sambil menarik nafas terburu-buru.
Pria itu terlihat lelah setelah mengurusi Makula yang tak kunjung sadar.
Kartajaya membelah kerumunan kelompok bawah tanah yang dipimpin oleh Lord Yasa untuk melihat bagaimana kondisi teman pertamanya di tempat ini. Rupanya Makula sedang terbaring di atas batu dengan mata terpejam dan tubuh bergetar. Anak itu sepertinya masih kerasukan makhluk aneh yang berasal dari danau.
Tatkala tangan Kartajaya terulur hendak menyentuh tangan Makula, ia terperanjat mundur saat mendapati Makula membuka mata dan memancarkan cahaya biru yang sama persis seperti tali yang pernah mengikatnya.
Kartajaya merinding ngeri, ia masih belum bisa melupakan traumanya kepada ikatan tali cahaya yang telah membuat Kartajaya kehilangan seluruh ilmu dan kemampuannya, pun telah menenggelamkannya ke dalam danau hingga terbangun di tempat yang aneh ini.
Makula yang semula berbaring, kini bangkit dan duduk sambil menatap Kartajaya. Anak muda itu duduk bersila bak pertapa yang sedang merapal mantra.
Semua orang bergerak mundur saat melihat keanehan tersebut, namun Kartajaya tetap terpaku di tanah yang dipijaknya. Ia terperangah melihat apa yang dilakukan oleh Makula.
Makula sedang merapal sebuah kalimat bisikan yang tidak bisa dicerna dengan mudah. Kartajaya yang penasaran bergerak mendekat, lalu meletakkan telinganya beberapa sentimeter di depan mulut Makula.
“Raja yang tertidur ribuan tahun… Raja yang tertidur ribuan tahun… Raja yang tertidur ribuan tahun… ada di tanah ini.”
Seluruh tubuh Kartajaya menggigil mendengar apa yang Makula bisikkan. Ia menoleh ke samping untuk memperhatikan mulut Makula demi menyakinkan diri atas apa yang di dengarnya.
“Apa kau bilang?” bisik Kartajaya.
“Raja… Raja… Raja…” bisik Makula. “Yang Mulia Raja… Hamba memberi salam kepada Yang Mulia Raja yang menggagahi langit maupun dasar bumi…”
Tepat pada saat itu, tanah yang mereka pijak bergetar hebat. Gempa besar terjadi di atas permukaan tanah hingga bebatuan itu saling bergesekan menimbulkan suara yang menggetarkan keberanian pasukan Lord Yasa. Spontan saja mereka semua mundur semakin jauh dari sungai, meninggalkan Makula dan Kartajaya sendirian disana.
Kedua tangan Kartajaya berpegangan erat pada batu yang ditempati Makula demi menopang tubuhnya disaat gempa terjadi, pada awalnya gempa tersebut sangat kencang, namun lama kelamaan getarannya menghilang tak bersisa. Alam yang semua ramai, kini kembali sepi – sangat sepi seolah tidak terjadi gempa sebelumnya.
Kartajaya mengedarkan netranya ke sekitar sungai, ia mendapati rombongan Lord Yasa yang menatap ngeri pada mereka berdua sambil berbisik-bisik kepada satu sama lain. Hal itu membuat Kartajaya menggeleng kecil, berusaha mengabaikan apa yang sedang mereka bisikkan atau pikirkan.
Netra Kartajaya kembali menelusuri alam sekitar yang hening, tak ada suara binatang sekecil apapun yang terdengar. Benar-benar hening seolah semua penghuni hutan ini dilanda ketakutan dan membuat mereka bersembunyi di tempat-tempat yang tak terlihat. Keheningan yang sangat aneh.
Sang Putra Dewawarman itu pun kembali memperhatikan sekelilingnya, ia menemukan kondisi sungai yang aman terkendali. Dari posisi berdirinya saat ini, Kartajaya bisa melihat setiap kontur sungai yang berliak-liuk mengikuti alur alam, hutan dan pepohonan. Sungai hutan yang pastinya pernah menjadi sumber air bagi alam sekitar.
“Yang Mulia Raja menerima salam hormatku…” gumam Makula yang berhasil mengembalikan konsentrasi Kartajaya.
Kartajaya yang tak tahan melihat kondisi aneh Makula, apalagi menghadapip tatapan ketakutan teman-teman mereka, akhirnya mengulurkan tangan untuk meraih tengkuk pemuda itu dan menutupnya dengan telapak tangan kiri Kartajaya, sedangkan tangan kanan Kartajaya menutup kening Makula.
“Kembalilah, Makula!” desis Kartajaya sambil menekan tengkuk dan kening Makula dengan kencang.
Tepat setelah melakukan hal tersebut, Kartajaya bisa melihat cahaya biru keluar dari leher dan kening Makula, kemudian menyelusup masuk ke dalam jari jemari Kartajaya dan meresap ke setiap nadi bagai akar yang tertanam lalu menghilang tak bersisa.
Kartajaya terdorong ke belakang, kemudian terperangah saat ia merasakan getaran aneh di dalam dirinya. Ia sempat berpikir bahwa kini dirinyalah yang akan menjadi sasaran makhluk mistis yang merasuki Makula itu, namun hingga beberapa detik berikutnya, tidak ada yang terjadi. Kartajaya berdiri dalam kondisi sadar dan ia mampu mengendalikan diri sendiri. Kesadarannya terjaga pun terkendali. Bahkan ia bisa menyaksikan mata Makula yang perlahan-lahan bening seperti semula, seolah cahaya biru itu tak pernah berada disana.
Makula mengerjapkan mata, anak muda itu terlihat sedang dalam kondisi shock berat sehingga langsung menutup wajah dengan telapak tangannya.
“Apa yang terjadi…” lirih Makula.
“A – Aku pun tidak tahu…” jawab Kartajaya yang tak kalah shock seperti Makula. “Mungkin kau kerasukan makhluk penghuni danau…” sambung pria itu.
Tak seperti biasanya dimana Makula akan selalu bertingkah bahwa segalanya akan baik-baik saja, kali ini ia terdiam lama sambil menutup wajahnya dari semua orang.
“Malangnya… Malangnya nasibmu…”
Suara itu sangat lemah, bahkan membuat Kartajaya bertanya-tanya atas apa yang baru saja didengarnya. Benarkah Makula mengasihani nasibnya, atau nasib siapa yang baru saja dia sebutkan?
“Makula… Apakah kamu baik-baik saja?” gumam Kartajaya.
“Tidak… tolong katakan kepada semua orang untuk pulang terlebih dahulu. Aku akan menyusul mereka…”
“Itu sangat berbahaya, tidak mungkin kami meninggalkanmu disini… Kami khawatir kamu…”
“Tidak usah khawatir, selama ada dirimu di hutan ini, Aku akan baik-baik saja…” jawab Makula.
Kartajaya mengernyit heran, namun akhirnya ia menyampaikan pesan itu kepada Lord Yasa. Menjelaskan keinginan Makula yang ingin mendapat ketenangan setelah apa yang terjadi kepada dirinya.
Pada awalnya Lord Yasa menolak karena sangat mengkhawatirkan kondisi Makula. Beliau tidak tega meninggalkan anak muda itu sendirian dan khawatir Makula akan dirasuki makhluk mistis lainnya.
“Tidak apa-apa, Lord Yasa. Saya akan menemaninya di sini… Jika Anda khawatir, maka Anda hanya perlu menunggu sambil memberikan jarak untuknya.”
“Makula memang selalu merasa malu jika harus menghadapi teman-temannya setiap kali mengalami hal aneh semacam itu. Saya paham jika Makula ingin sendiri. Kalau begitu, jaga dia baik-baik, Aksata. Kami akan memberikan kalian jarak dan menunggu kalian selesai di dalam hutan.”
“Terima kasih banyak, Lord Yasa.” Jawab Kartajaya.
Lord Yasa pun mengatur tim untuk mengikutinya ke dalam hutan, meninggalkan Kartajaya dan Makula seorang diri di tepi sungai.
“Mereka sudah pergi…” ujar Kartajaya.
Makula mengangguk, kemudian matanya memandang kaki Kartajaya yang berdiri di permukaan sungai yang berbatu.
“Jangan berdiri disitu…” gumam Makula.
“Ya?”
“Jangan berdiri di tempat itu…”
“Kenapa? Apakah ada yang salah dengan tanah yang kupijak?” tanya Kartajaya.
“Jika kau ingin menghormati alam, maka perhatikan tempat yang kau pijak. Pindah sebelum gempa lainnya terjadi!”
***