“Hal lumrah?” pekik Kartajaya. “Bagaimana bisa pencurian dianggap sebagai hal yang lumrah? Hal biasa!” seru Kartajaya.
Mata pemuda itu turun dan melihat Ahsan yang sedang mencengkeram pergelangan tangannya kuat-kuat. Cengkeraman tangan yang menghentikan seluruh gerakan spontan Kartajaya yang hendak berlari mengejar pencuri itu.
Ahsan menatap Kartajaya dengan penuh peringatan seolah melarang Kartajaya pergi untuk menolong seorang wanita malang yang baru saja mengalami pencurian.
“Kau benar-benar anak baru, huh? Aku tidak pernah melihatmu sebelumnya!” Ahsan balik bertanya seraya melanjutkan langkah sambil mendorong trolly nya.
“Ya, ini pertama kalinya aku datang ke tempat ini…” jawab Kartajaya sambik berusaha untuk mengikuti langkah Ahsan kembali. Mereka mendorong trolly berat itu berdua dengan kondisi sulit.
Pasar penuh sesak, banyak manusia berlalu Lalang. Sebab itu mereka harus berhati-hati agar trolly itu tidak menabrak siapapun yang ada di hadapan mereka.
“Tidak heran.” jawab Ahsan, “Bud4k dari wilayah mana kau? Oh ya, dan siapa namamu?”
Kartajaya menelan ludah, sungguh ia sangat tidak terbiasa mendengar orang lain menyebutnya sebagai bud4k, apalagi bud4k kecil. Dulu dirinya adalah seorang panglima jenderal sekaligus Putra Mahkota sebuah kerajaan, bukan b***k menyedihkan seperti ini.
“Namaku Aksata, Menurut Lord Yasa, aku berasal dari wilayah tambang yang sudah lama ditinggalkan…” jawab Kartajaya.
“Oh, pantas kau udik dan tidak tahu dunia luar seperti pasar ini, ternyata kau terjebak di wilayah mengerikan itu. Kau beruntung karena Lord Yasa sudah menyelamatkanmu.”
Kartajaya menunduk, ia merenungi hari yang penuh dengan tamparan sosial yang tinggi. Biasanya ia hanya tinggal di dalam bunker sambil berlatih ilmu bela diri, dan mengikuti serangkaian kegiatan para prajurit Lord Yasa. Sangat jarang anggota prajurit di dalam bunker yang mengajaknya bicara atau sekedar basa-basi, mereka menganggap Aksata sebagai manusia aneh yang harus dijauhi. Sebab itu, hanya Makula yang mau menjadi teman Aksata dan mengajaknya bicara. Namun sekarang, ia harus bersosialisasi dengan dunia luar, ditampar oleh kenyataan-kenyataan dan bahkan membiasakan diri dengan status sosial Aksata yang sesungguhnya. Kartajaya masih belum terbiasa dengan hal itu.
“Jangan salah faham, aku bicara seperti itu atas dasar pengalamanku sendiri…” sambung Ahsan, “Akupun seorang bud4k di rumah Baba. Namun Baba sangat baik sehingga memperlakukanku seperti manusia pada umumnya, bahkan Baba tidak menganggapku sebagai bud4k, dia menganggapku sebagai anaknya. Dulu Baba membeliku dari pedagang bud4k.”
“Pedagang bud4k?” pekik Kartajaya terkejut.
Ahsan tertawa, lalu menatap Kartajaya dengan jenaka.
“Kau benar-benar anak polos yang tak tahu apapun, huh? Mungkin kau bahkan tidak tahu bahwa sebelumnya kau diperbudak sejak kecil oleh pemilik wilayah ini?”
“A – Aku memang tidak tahu banyak. Yang aku tahu, aku baru saja mengalami sebuah kecelakaan di tengah hutan yang membuatku hilang ingatan…” jelas Kartajaya, “Aku tidak begitu ingat tentang masa laluku…” bohongnya.
“Oh, begitu ceritanya. Maaf aku tidak tahu akan hal itu…”
“Tidak masalah…” jawab Kartajaya.
“Pantas saja jika kamu terlihat seperti orang tersesat, seperti orang yang bukan berasal dari wilayah ini sehingga kau benar-benar tidak tahu wilayah macam apa yang kau datangi…”
Kartajaya menoleh, menatap Ahsan penuh ketertarikan, “Sebenarnya wilayah macam apa yang aku tinggali ini?” tanya Kartajaya.
“Wilayah yang mengerikan. Aku pernah mendengar Baba dan saudara-saudaranya yang membahas kerajaan atau wilayah lain yang semakin maju dan berkembang setelah berbagai kehancuran dan peperangan besar yang terjadi di bumi, sementara wilayah ini semakin mundur, semakin kacau dan ah… tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Wilayah ini seperti neraka yang ada di bumi.” Jelas Ahsan.
Budak Baba itu bergerak mendekat lalu berbisik di telinga Kartajaya, “Kau bayangkan saja, kita dipimpin oleh keluarga bangsawan yang rakus, manusia-manusia yang tidak segan menghisap seluruh darah dari masyarakatnya, masyarakat yang awalnya bekerja untuk mereka malah dijadikan b***k gratisan, mematok harga pajak yang tinggi, dan dia pun menguasai seluruh tambang untuk dirinya sendiri, tidak mau membaginya kepada rakyat sedikitpun. Wilayah ini sangat miskin, itulah mengapa aku memberitahu kamu bahwa pencurian adalah hal yang lumrah di sini, bukan? dan Mengapa begitu? Karena wilayah ini dipenuhi dengan kemiskinan dan orang-orang yang lapar. Jadi segalanya berubah menjadi kacau tak terkendali. Kriminalitas dimana-mana. Warga semakin bersembunyi dan takut untuk keluar dari rumah. Bayangkan, bagaimana caranya mereka mencari nafkah untuk bertahan hidup jika ditekan oleh kondisi menakutkan seperti ini?”
Kartajaya pernah mendengar hal ini dari sudut pandang penghuni-penghuni Bunker, seperti Makula atau Lord Yasa. Namun ia belum pernah mendengar hal ini dari sudut pandang bud4k yang berada di pasar atau orang-orang yang mengalami kengerian itu secara langsung. Jadi sudah bisa dipastikan bahwa informasi ini legit dan tidak mengada-ada.
“Aku yakin, Kerajaan ini akan runtuh suatu hari nanti…” cetus Ahsan.
“Mengapa kau seyakin itu?”
“Karena ketamakan dan kesombongan akan menjadi penghancur bagi orang-orang yang menggenggamnya.”
Ahsan kembeli mendekat, lalu berbisik, “Apalagi, menurut info yang kudapat, Raja itu sudah hampir gila. Dia mengangkat seorang Jenderal wanita psikopat hanya untuk menyiksa para bud4k di pertambangan demi kesenangan mereka. Aku yakin, Raja itu tidak akan waras dan tidak sempat menyadari kehancurannya sendiri…”
Kartajaya menelisik Ahsan yang terlihat sangat emosi tatkala menceritakan sang raja yang sangat tidak disukainya ini, “Kau sangat membenci Raja itu?” tanya Kartajaya.
“Sangat! Aku membenci Raja dan Jenderal Psikopat itu… mereka yang telah membunuh orang tuaku, sehingga aku diculik oleh para penjual bud4k.”
“Aku turut sedih mendengar kabar tentang orang tuamu.” Jawab Kartajaya.
Ahsan menggeleng, “Itu terjadi saat aku masih berusia tujuh tahun. Sudah sangat lama jadi aku baik-baik saja sekarang.”
Kartajaya mengangguk, tersenyum maklum saat melihat kebohongan yang terpancar dari mata Ahsan, jelas-jelas luka itu belum sembuh, namun ego tetaplah ego. Pria muda itu taka akan mau mengakuinya.
“Aku pernah kehilangan Ayah dan kekasih hatiku di tangan pembunuh, walau sudah bertahun-tahun berlalu, tapi aku tidak bisa melupakannya dengan mudah… Ada dendam, Ada kemarahan, namun aku berusaha meredam semua itu dengan keikhlasan. Sejak berhasil meredamnya, aku bisa tidur nyenyak. Aku bisa melanjutkan keseharianku tanpa ganjalan di hati…”
“Aku…”
“Aku hanya sedang bercerita. Bukan untuk membandingkan kesedihan kita berdua. Kehilangan memang bukanlah hal yang mudah. Kita pasti bisa melaluinya dan melepaskan ganjalan di hati ini…”
“Kau bilang, kau hilang ingatan?”
Kartajaya mengernyit, dari semua kalimat nasehatnya, Ahsan justru lebih tertarik untuk bertanya hal yang satu ini.
“Dari semua ingatanku yang hilang, kenangan tentang ayah dan kekasihku tentu tidak mudah dilupakan…” bohong Kartajaya.
“Begitukah?”
“Ya, beginilah aku. Aneh, bukan?”
“Sangat…”
***