“Apa yang sedang kau lakukan?”
Suara Makula mengagetkan Kartajaya dari lamunan. Setelah mencoba segala cara untuk membangkitkan kembali seluruh ilmu dan mantra yang dimilikinya akhirnya Kartajaya memilih untuk berbaring di lantai sambil menatap langit-langit yang begitu terang oleh bohlam putih yang menerangi ruangan. Ia masih sangat takjub melihat lampu itu, di Salakanagara belum ada teknologi secanggih lambu, mereka masih menggunakan api dan cahaya matahari sebagai sumber penerangan.
“Hanya sedang beristirahat…” jawab Kartajaya. Ia bahkan masih belum terbiasa dengan setiap ucapan yang keluar dari mulutnya. Bahasa asing ini seperti secara otomatis terekam di dalam ingatan dan mulutnya.
“Kau masih sakit, Aksata. Lebih baik kau beristirahat di atas ranjang perawatanmu.”
“Aku akan kembali ke tempatku setelah selesai.”
Makula mengangguk, kemudian melangkah mendekat, “Boleh aku bergabung denganmu?”
“Tentu saja.”
Kartajaya melipat salah satu tangan di belakang kepala sebagai penyangga, kemudian memejamkan mata untuk menenangkan pikirannya yang kalut luar biasa. Seluruh kemampuannya menghilang, mantra-mantra itu pun sudah tidak bisa digunakan, ditambah lagi tubuhnya sangat kurus tidak bertenaga. Bagaimana dirinya bisa bertahan dalam kehidupan ini!
“Berhenti kalut.” Gumam Makula. “Kau hanya akan merepotkan dirimu sendiri…”
Kartajaya membuka mata dan menoleh menatap Makula. Alisnya terangkat tinggi, apakah dirinya memang terlihat sekalut itu sampai Makula bisa melihatnya?
“Ya, aku bisa melihatnya.”
“Kau bisa membaca pikiran?”
“Tidak, hanya membaca raut wajahmu.”
“Tidak. Kau menjawab selaras dengan pertanyaan yang muncul di dalam diriku! Kau bisa membaca pikiran!?”
“Tidak. Hanya membaca gerak gerik wajahmu.”
“Jadi kau bisa mengetahui seluruh masalah yang kuhadapi hanya dengan melihat wajahku?”
Makula tersenyum kecil, “Kau percaya pada apa yang kukatakan?”
“Maksudmu…”
Makula tersenyum semakin lebar, membuat Kartajaya bertanya-tanya.
“Apa makna senyum itu?” Kartajaya bangkit dari baringnya, menatap Makula dengan sangat tajam. Ia sedang serius, dan anak muda ini malah tersenyum sebegitu lebarnya.
“Jangan marah dulu. Ck! Aksata baru sungguh pemarah…”
“Aksata baru???” pekik Kartajaya.
“Ya, kau sungguh berbeda dengan dirimu saat belum terjatuh di tengah hutan. Jadi aku akan menyebutmu dengan The New Aksata!”
“Ck! Terserah!” Kartajaya kembali berbaring sambil menutup mata, Makula hanya mengganggu waktu tenangnya saja.
“Maaf, jangan marah. Senyumku bermakna baik dan bukan untuk menghina. Aku hanya… hmn… biasanya orang-orang akan mencemooh saat aku memberi tahu mereka bahwa aku bisa membaca raut wajah, pikiran maupun masa lalu dan masa depan. Mereka akan memandangku dengan sinis dan berlalu tak peduli. Tapi kau memandangku dengan penuh antisipasi dan rasa penasaran yang tinggi. Aku merasa tersanjung…”
Kalimat itu spontan membuat Kartajaya membelalak dan kembali duduk, “Benarkah kau mampu membaca itu semua? Kau memiliki ilmu special seperti itu?”
“Usst! Tidak boleh keras-keras, atau orang yang mendengarmu akan tertawa puas merutuki kebodohanmu. Bahkan mereka akan menganggapmu gila!”
Kartajaya menoleh ke kiri dan kanan ruangan yang kosong, pintu pun tertutup rapat.
“Tapi aku mempercayaimu.”
“Kau mempercayaiku?”
“Ya, insting ku mengatakan hal itu…” Kartajaya menatap Makula secara keseluruhan. “Kau memiliki semua kemampuan itu, dan aku yakin aku tidak gila hanya karena mengatakannya.”
Makula terlihat puas atas apa yang didengarnya, anak muda itu kemudian bergerak mendekat dan berbisik di telinga Kartajaya.
“Ya, Kau memang tidak gila, wahai Yang Mulia Raja.”
***