1

1170 Kata
Juli 1997           Proses pendaftaran sekolah sudah selesai, dengan percaya diri aku hanya mendaftar di satu sekolah yaitu SMANSA (SMA Negeri 1), karena dipikir-pikir nilai yang aku dapat sepertinya lebih baik dibandingkan dengan kebanyakan dari teman-teman satu sekolah di SMP kemarin yang mendaftar di sekolah ini. Soal kedua, SMA yang lain jauh dari rumah jadi kurang minat dan tidak terbersit sedikitpun di pikiran bagaimana jika tidak diterima nanti? Hehehe... nekat memang tapi yakin. Point terpenting karena Basket, ekskul yang ada di SMANSA is the best menurutku. Alhamdulillah disinilah aku, berdiri bersama 225 siswa-siswi baru terpilih untuk masuk ke SMA Negeri 1 yang kata orang merupakan sekolah favorit di kotaku tercinta ini.           Upacara penerimaan didahului dengan sambutan Kepala Sekolah, dan dilanjutkan dengan Wakil Kepala sebagai penanggung jawab MOS. Yang tak terduga, kita harus mencari sendiri nama kita yang sudah ditempelkan di pintu setiap kelas berdasarkan urutan Nilai Ujian Nasional, setiap kelas berisi 45 siswa mulai dari kelas A sampai kelas E. Kami berlarian menuju kelas, karena tidak terpikir bakalan masuk di kelas A, aku berlarian bersama teman-teman satu SMP berembuk kelas paling memungkinkan di kelas C, dan mulailah perburuan kelas dan tempat duduk dimulai.           Setiap teman-teman mulai menemukan kelas mereka, karena kakak tingkat (anak kelas 2 dan kelas 3) yang menjadi panitia sudah mulai berkata untuk segera memasuki kelas. Dengan berat hati mereka meninggalkan diriku sendiri yang belum menemukan di kelas mana namaku berada. Setiap nama yang ada di pintu kelas sudah ditelusuri satu per satu tetapi nama Qistina Verda tidak ada. Bukannya sombong, tetapi nilai ujian nasional diriku lebih baik dari pada teman-temanku. Aku sendirian kebingungan, sampai seorang senior kelas seingatku anak teman ibu yang satu SMP dengan diriku dulu bertanya.           “Kenapa belum masuk, Q?” tanyanya simpati, karena dia juga ingat siapa diriku.           “Belum ketemu kelasnya,  Mba. Sudah saya cari di setiap pengumuman, tetapi tidak ada nama saya” Jawabku dengan cemas dan panik.           “Kemarin daftar di sekolah ini?” dia bertanya dengan kening berkerut seakan berpikir apakah diriku lupa bahwa aku mungkin mendaftar di sekolah lain.           “Iya, Mba. Aku hanya mendaftar di sekolah ini.” Pikiranku mulai berkecamuk aduh...bagaimana ini? Masa tidak jadi sekolah. Diriku panik dengan mata berkaca-kaca karena cemas.           “Kenapa ini, Fit?” suara berat dibelakang kami menghampiri. Kulihat senior yang lebih tinggi sepertinya anak kelas 3 dan Ketua OSIS sekaligus Ketua Panitia MOS ini.           “Kak, anak ini tidak menemukan namanya di list yang ditempel di setiap pintu kelas yang ada.”           “Apakah kamu mendaftar di SMA ini?” tanyanya dengan tegas, membuat aku menjadi lebih cemas dari tadi.           “Iya, Kak. Saya hanya daftar di sini, tidak di sekolah lain.” Hampir setetes air mataku jatuh dibuatnya.           “Kalau begitu antar anak ini ke ruang wakli kepala sekolah. Karena backup data seluruh siswa yang mendaftar ada di tangan beliau.” Kemudian Dia berlalu menuju kelas A. Dan saya bersama Mba Kak Fitri ke ruang wakil kepala sekolah.           Sepanjang jalan menuju ruang kepala sekolah membuat pikiran dan benakku bertambah kalut. Apakah aku tidak diterima? Tetapi jika aku tidak diterima seharusnya teman-temanku juga tidak lulus juga. Langkah terhenti saat mendekati ruang wakil kepala sekolah. Mba Fitri mengetuk pintu dan masuk.           “Ada apa?” suara wakil kepala sekolah dengan ramah.           “Anak ini tidak menemukan kelasnya, Pak.”           “Mendaftar disini?” beliau menatapku dengan senyum ramahnya, sebenarnya untuk menenangkan tetapi diriku tetap cemas terlihat dari muka.           “Iya, Pak..!” aku menjawab dengan menganggukan kepala dan bermuka cemas. Hari pertama sekolah, memecahkan rekor langsung berurusan dengan wakil kepala sekolah yang biasanya mengurus siswa yang bermasalah.           “Baiklah. Kita lihat dulu backup data seluruh siswa yang diterima. Kemari, nak! Mendekat ke sini.” Aku bergerak mendekat ke arah wakil kepala sekolah.           “Saya permisi, Pak!” kak Fitri berseru dan meninggal diriku seorang diri di ruang wakil kepala sekolah setelah mendapat anggukan kepala beliau.           “Namanya siapa?” tanya beliau sambil tersenyum ramah...”Tidak usah cemas, kalau memang mendaftar di sini pasti ada datanya.”           “Qistina Verda, Pak!” Aku menganggukan kepala dan berusaha mengatur nafas untuk menenangkan diri, sementara beliau mulai membuka lembaran backup data keseluruhan siswa dan menelusuri setiap nama dengan jarinya. Maklum saja, jaman sekolah dulu untuk mengetik masih menggunakan mesin ketik yang terkadang tulisan yang tertera tidak terlalu jelas karena tinta pita mesin tik yang kurang jelas dan sudah dicopy pula.           “Tidak ada nama Qistina Verda. Benar, kamu mendaftar di sekolah ini?” aku mengangguk-angguk cepat karena terlalu cemas untuk mengeluarkan suara. Beliau berpikir sebentar sebelum bertanya kembali.           “Nilai ujian nasionalnya berapa?”           “Tiga puluh empat koma enam delapan, Pak” jawabku lancar.           Beliau menelusuri setiap nama dari atas kembali dan berujur “kalau nilai ujiannya segitu pasti masuk. Coba kita lihat lagi.” Beliau menelusuri kembali daftar nilai bukan berdasarkan nama yang sudah dirunut sehingga tidak terlalu lama. “Tidak ada nilai ujian tiga puluh empat koma enam delapan, yang ada tiga puluh empat koma delapan enam.” Beliau memandangku.           “Iya, Pak. Saya terbalik mengingat nilai ujian saya.” Jawabku dengan cemas. Beliau tersenyum ramah dan menentramkan.           “Baiklah. Kamu di kelas A nomor urut ke 15. Nama yang tertera di sini memang sedikit tidak jelas. Mungkin nama yang ada di pengumuman akan lebih jelas. Nomor urutmu 15. Ayo, segera ke kelasmu.”           “Terima kasih, Pak. Saya permisi.” Aku segera mengundurkan diri dari ruang wakil kepala sekolah dan bergegas menuju kelas A yang berada paling ujung kelas di sekolah ini. Dengan pikiran hari pertama di sekolah berakhir di ruang guru. Bukan sembarang guru, tetapi ruang wakil kepala sekolah yang menangani setiap siswa yang bermasalah, hadeh...           “Bagaimana? Di kelas mana kamu?” tanya senior yang menyarankan ke ruang wakil kepala sekolah tadi.           “Saya di kelas A, Kak. Nomor urut 15.” Jawabku kalem sambil melihat pengumuman untuk mencari keberadaan namaku di nomor 15, yang ternyata nama yang tertera jauh dari namaku yang sebenarnya yang bergema dari suara senior yang ada di belakangku.           “Qisi Inata Erda. Ayo masuk?” dia menyuruhku untuk masuk kelas.           “Namanya salah, Kak!” jawabku sambil mengikuti masuk ke kelas di belakangnya. Karena diriku terakhir masuk ke kelas, otomatis tempat duduk yang tersedia penuh dan tersisa satu tempat duduk di pojokan terdepan. Siswa baru semua duduk di bangku masing-masing, sedangkan senior panitia MOS berdiri di berbagai sudut.           “Nanti beri tahu guru, setelah ini akan langsung pengukuran seragam sekolah. Jadi sebutkan namamu dengan jelas. Kamu dapat duduk di sana.” Jelas senior itu dengan lembut kemudian menujuk kursi di pojokan yang tersisa.           “Adik-adik! Teman kelas kalian bertambah satu, tadi ada kesalahan ketik nama jadi harus ke ruang wakil kepala sekolah dulu.”           Aku duduk di pojokan sendiri kalau di lihat-lihat terpencil jauh dengan teman-teman yang lain karena jarak beda satu baris dan tidak ada orang yang bisa diajak bicara. Aku melihat ke sekeliling kelas, wau...kalau kelasnya tetap seperti ini, bakalan mendapat rangking kelas terakhir nih. Aku membatin, karena undangan kuliah diperuntukan siswa yang mendapatkan rangking 10 besar di kelas untuk universitas.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN