CHAPTER : 15

1721 Kata
HUUUAAARRGGHHHH...!! Siapa pun mendengar suara keras entah darimana asalnya seketika merinding. Esther yang tadinya menodong senjata ke Tiger segera mengarahkan ke arah keluar lobi. Ia beranjak di ikuti Tiger, sementara yang lain berlarian ke lantai dua bersembunyi. “B-bang,” Niko yang menggendong Juna menarik baju Tiger mengikuti sang kakak, Jackson pun berdiri membiarkan Shila mengikuti yang lain. Pak supri ikut bergabung, sedangkan pak Dodi masih berada di ruang pengawasan katanya mencari sesuatu. “M-mbak, itu suara apa?” tanya pak Jupri mengeratkan pegangan pada besi di kedua tangan. Begitu mereka tiba di depan pintu lobi, para mutan serentak menengok dan berlari menyerang begitu cepat sampai semua terjatuh ke belakang. Pintu lobi hotel terdorong. Suara erangan semakin ganas terdengar menyeramkan. Tiger tersadar dengan cepat bangun dari keterkejutan segera menahan pintu dari dalam, melihat itu yang lain pun ikut melakukannya. Sekarang mereka saling dorong, Lukman membuang barang-barang di atas rak lobi hotel dan mendorongnya ke arah pintu tak lama pak Dodi datang ikut mendorong tak tersebut. “Ayo sama-sama!” ujar pak Dodi tersenyum lembut seketika menghilangkan semua perasaan curiga pemuda itu. “Terimakasih pak.” Ucap Lukman kembali mendorong rak. Tak lama orang-orang berlari membantu membawa apapun untuk menahan pintu. Setelah di rasa cukup. Mereka perlahan mundur namun bukannya menyerah, para mutan mendorong semua kaca lobi kantor. Hal itu membuat mereka menjerit ketakutan. Satu hal yang sedari tadi Tiger dan Esther pikirkan, mutan itu berubah menjadi lebih ganas setelah mendengar suara erangan kuat itu seakan itu perintah dari ketua mereka. Semua perlahan mundur ketakutan tidak tahu apa lagi harus dilakukan untuk menghentikan mutan mendorong semua kaca lobi hotel. Tiger melihat sesuatu, dan menyadari bahwa mutan akan terus mendorong sampai hancur kalau masih melihat bayangan mereka. “Bagaimana sekarang? Mereka semakin ganas.” Esther menoleh pada Tiger yang berada disampingnya. “Ada cara.” Tukas Tiger membalikkan badannya melihat semuanya. “Kenapa bang?” tanya Jackson. “Pak Dodi, hotel ini pasti punya koran atau kertas?” tanya Tiger dan mendapat anggukan dari pak Dodi. “Maksudmu, menutup kaca dengan benda itu?!” tebak Esther. “Benar. Jadi mohon semua bekerja sama mengumpulkan koran untuk menutupi kaca, dengan menyiram air.” Kata Tiger. “Tentu.” Seru mereka. “Ikut saya ke ruang penyimpanan.” Mereka pun mengikuti pak Dodi, Tiger terdiam kala berbalik menatap pintu. Bahkan pegangan Niko terlepas dari sang kakak, tubuhnya kaku, dadanya kembali sesak. Tes! Air mata menetes tanpa permisi. Bila Niko hanya diam tak bergerak dengan lelehan air mata tanpa ingin menghapus, Tiger malah melangkah mendekati salah satu kaca lobi. Seseorang yang ia sayangi berada di sana. “T-tiger? Mau ngapain kamu?! Tiger menjauh!” Tiger tak menghiraukan teriakan Esther, langkahnya semakin mendekati kaca lobi yang perlahan retak akibat dorongan dari luar. “A-ayah!” yang masih di sana tertegun mendengar kalimat Tiger, belum lagi Tiger mengusap kaca dimata terlihat seorang lelaki paruh baya mengerang begitu terlihat ingin menerkam Tiger yang kini berada di depan mereka. Krek! “K-kacanya mulai retak!” Lukman menunjuk kaca di depan Tiger. “Dokter sadar. Dokter!!” Lukman meninggikan suaranya. “Ah? Iya kenapa?” Niko berpaling menghapus air matanya. “Dokter, kakaknya di sana.” Pak Jupri menunjuk keberadaan Tiger pada Niko dan terlihat kaca semakin retak. “BANG!!” giliran Niko berteriak namun masih tak dihiraukan oleh sang kakak. Kaki Niko bergerak ingin berlari menyadarkan Tiger namun Esther lebih dulu berlari menarik Tiger bersembunyi di balik pohong dan memeluk pria itu. Setelah itu memberi kode untuk menutup kaca itu lebih dulu, dan untungnya orang-orang mengerti atas kode darinya. Semuanya lekas membantu tak terkecuali hanya Juna tengah merunduk memejamkan mata dan menutup mata seperti pinta Niko. “I-tu a-ayah s-saya n-nona!” bisik Tiger terbata-bata menahan isakan dengan menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Esther. Sebenarnya tak aman untuk jantung Esther namun berusaha terlihat cool, jika dia tidak terpengaruh oleh kelakuan Tiger. Entah pria itu mengambil kesempatan, hanya dia yang tahu. “Ssttt.. gapapa, sekarang kalian sudah berbeda. Ingat, kamu masih punya dokter Niko dan itu yang harus kamu inget.” Esther balik berbisik menepuk pelan punggung Tiger. “Ini pak airnya.” Lukman dan Jackson datang membawa air, mereka pung menyiram kaca sebelum melapisinya dengan koran. Krek.. krek.. krek... Retakan menghentikan kegiatan mereka berjalan menjauh, Niko melihat hal tersebut tetap melakukannya begitu juga Lukman Jackson dan pak Jupri, tak lama Shila pun bergabung bersama Maya. Sementara orang lain melihat hal itu semakin menjauh tak ingin mengambil resiko kemudian kembali berlari ke lantai dua bersembunyi di dalam kamar dan menguncinya pelan. “Sadarkan dirimu, mereka butuh bantuan.” Kata Esther meregangkan pelukan mereka, Tiger merasa malu buru-buru berbalik memunggungi Esther yang bingung melihat tingkahnya. Tak ingin ambil pusing, Esther segera membantu yang masih berusaha menutupi kaca dengan koran. “Koran.. loh? Yang lain kemana?” tanya pak Dodi setelah tiba di lobi hotel membawa koran tambahan. “Gapapa pak, kita harus menutupnya sebelum semua kaca benar-benar hancur.” Lontar Esther dan mereka pun kembali melakukannya. Niko berdiri di hadapan sang ayah, tangannya terangkat mengusap kaca tersebut. “Niko sayang sama ayah.” Bisiknya merasa tenggorokannya tercekat. Esther datang dan menutup kaca tersebut, Niko menengok Esther dan malah mendapat tepukan dari gadis itu. “Selama kalian selamat, itu yang mereka inginkan sebagai orang tua.” Ujarnya menerima koran dari Shila. Tiger mau berlarut-larut Tiger menyeka air matanya mengusap pipi kasar lalu ikut membantu. KRASH!! “AAAHHH.. ASTAGA!!” Kaca retak hingga hancur itu dari tempat Jaka, semua berlari ke dalam gudang. Suara teriakan auman itu benar-benar mengubah mutan semakin ganas, hanya dengan melihat bayangan saja mereka sudah mengejar apalagi secara terang-terangan tak ada ampun bagi siapapun. Semua menutup mulut mendengar mutan menghancurkan isi toko swalayan yang mereka tempati selama bersembunyi. Niatnya hendak keluar malam ini, namun semua tidak semudah yang mereka pikirkan setelah melihat betapa ganasnya para mutan di luar sana. “A-abang,” “Ssstt... jangan berisik ya, mereka ada diluar.” Bisik Jaka agar Ayu tetap diam, setiap helaan nafas begitu berharga untuk mereka berharap mutan tak dapat menemukan persembunyiannya. BRAK... BRAK... BRAK... Sepertinya doa mereka tak di jamah mendengar gebrakan dari luar pintu. Jantung semakin berpacu dalam ketakutan, meski sekuat tenaga mendorong pintu agar tidak terbuka karena gebrakan kuat tersebut. Saling melempar pandangan kala gebrakan melemah dan perlahan menghilang, bernafas lega begitu terdengar jelas dalam gudang, semua duduk menghirup nafas panjang. Duk... tas! Mata Duta membulat sempurna dengan mulut berbentuk O saat lengannya tidak sengaja menyenggol kaleng, membuat mereka seketika membeku seakan waktu tengah berhenti detik itu juga. Ingin bergerak rasa-rasanya terlalu berat, apalagi untuk berlari jika sewaktu-waktu mereka ketahuan. Satu menit... dua menit... hingga beberapa menit mereka terdiam, akhirnya bernafas lega mengetahui mutan tak kembali lagi. Haahhh... menghela nafas panjang kemudian menoleh menatap Duta tajam, pria itu cengengesan meminta maaf. “Maaf, saya gak sengaja.” Ucapnya duduk selonjoran di samping Dafa, mengelus dadanya yang tampak naik turun saking takutnya, begitu juga yang lain. “Bagaimana sekarang?” tanya Wahyu memecahkan keheningan mendengar permintaan maaf Duta. “Kita gak tau apa yang udah terjadi sampai mereka semakin ganas, yang pasti setelah teriakan tadi mutan itu menjadi semakin banyak dan bertambah kuat.” Lanjutnya pelan. “Gue ngerasa bukan hanya mutan yang kita hadapi tetapi ada sesuatu disini, entah itu apa kita akan benar-benar tahu kalau keluar dari sini.” Lontar Dafa menanggapi ucapan Wahyu. “Lo benar, mereka bisa dengan mudah membunuh kita semua kalau mereka mencium aroma tubuh kita.” Timpal Andi, Jaka hanya diam memikirkan cara untuk keluar dari sana tanpa ada harus.. Duk.. duk.. duk.. !! Jaka mendongak di ikuti yang lain menengadah menatap langit-langit gudang mendengar suara langkah terasa begitu dekat. Tak hanya itu tetapi langkah di luar terasa berat, sekali melangkah getarannya begitu terasa. “A-apa iya gempa?” gumam Jaka masih dalam keadaan memeluk sang adik. Mungkin kelelahan Ayu sampai tertidur dalam pelukan sang kakak. Jaka merebahkan Ayu membaringkan gadis kecil itu dan menggunakan paha sebagai bantalan. “Gempa mana ada kayak orang lagi jalan ngejeret sesuatu.” Celetuk Andi yang berada di samping nya. “Ah.. ini gue yang capek sampai keringat gini atau tempat ini emang panas banget.” Tutur Dafa menjadikan tangan sebagai kipas, menengok yang lain masih tampak santai. “K-kok?” “Mungkin yang lain belum tapi kalau kita berdua udah terbiasa dengan panas dalam ruangan. Bagaimana dengan Ayu?” tanya Wahyu setelah menjawab pertanyaan Dafa yang mengangguk mengerti. Jaka melihat kebawah mengusap keringat di kening Ayu, “Dia kepanasan juga.” Gumamnya lirih memandang lekat sang adik. “Tapi kok menggigil gitu?” tanya Dafa heran. Terlihat Ayu memeluk dirinya seperti kedinginan. Ia mendekat memeriksa Ayu dan, “Ayu panas nya beda bego!” ujar nya spontan mengatai Jaka. “Apa!” tanpa sengaja Jaka membesarkan suaranya sehingga semua kembali terdiam menutup mulut meringis dengan kebodohan Jaka. Jantung yang perlahan mulai tenang kembali berpacu dalam resah. “Sorry.” Cicit Jaka. Di balas dengusan dari mereka. Jaka meraih Ayu membawanya dalam dekapan agar berharap bisa menyalurkan rasa hangat dalam dirinya. Andi membuka jaket menyelimuti Ayu, harusnya sih ada obat di sana tapi dengan keadaan tidak memungkin ini mereka hanya bisa diam dalam gudang sekarang. Beberapa menit kemudian hanya terdengar suara mendesis dari Ayu, gadis kecil itu benar-benar kedinginan walau berada dalam ruang pengap seperti sekarang. Jaka hanya bisa menenangkan sang adik meski hatinya teramat cemas. Jaka meneguk air liurnya kasar merasakan tenggorokannya kering, ia menoleh bertanya sesuatu pada Wahyu. “Mas Wahyu dari TNI kan?” Wahyu menengok kearahnya lalu mengangguk kecil. “Apa kalian punya anggota tim yang berada di bagian sniper?” tanya Jaka lagi membuat Wahyu dan Dirta saling berpandangan. “Jadi benar ya? Ngeliat kalian.. “ “Dia asisten kapten sekaligus jendral dari tim elit khusus angkatan darat.” Potong Dirta. Sekarang giliran Jaka yang melotot. “Apa mas Jaka bertemu dengan mereka? Kapan? Dimana mereka sekarang?!” Wahyu melontarkan pertanyaan bertubi-tubi pada Jaka. “A-anu.. saya hanya melihat jendral yang kalian bilang, dia menolong saya dalam perjalanan tadi dengan sniper nya.” Jawaban Jaka bukan seperti yang mereka harapkan, maka dari itu keduanya hanya melemaskan bahu kembali bersandar. “A-apa dia yang.. “ “Dia yang menolong Ayu saat itu, dengan keterampilannya sebagai anggota sniper.” Jawab Dirta lemas. “Dan kami berharap dia dan tim lain selamat termasuk kapten dan jendral Ali.” Ucapnya pelan, mendapat tepukan pelan dari Wahyu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN