Chapter :16

1897 Kata
Suara langkah berdengung itu menghilang, mutan tak berhasil masuk karena memang sudah gelap jadi Bara dan lainnya berhasil menghindar dari mutan yang mengamuk di luar sana. Belum lagi aungan tersebut benar-benar membuat bulu kuduk seketika berdiri. Untung saja Aisyah si bayi mungil dan cantik itu tidak cerewet mengingat keberadaannya masih belum genap 24 jam setelah kelahirannya. Tapi menurut Suster Diana, mereka harus berjaga kalau perlu siap siaga karena secara umum bayi akan menangis kala tengah malam jadi untuk menghindar dari mutan Aisyah harus berada di tempat yang aman. David begitu dekat dengan Julian terutama Aisyah terlihat mencari sesuatu untuk bayi mungil itu karena mereka akan menempatkan si bayi di dalam gudang bersama Julian sementara mereka berjaga di luar. “Ini senternya gak tau bertahan sampai kapan, Kipas angin nya juga tapi mudah-mudahan Aisyah nyaman di dalam.” Ujar David berjalan ke arah gudang meninggalkan Damian yang menatapnya aneh. Aneh melihat perhatian David pada kedua kakak adik tersebut. Ia menoleh kala pundaknya di tepuk oleh seseorang tak lain Aidil. “Kenapa?” tanyanya. Aidil menggeleng pelan berkata, “Bingung ya melihat perhatian David?” Damian mengangguk. Aidil melanjutkan, “Dia pernah bilang kan dulu kalau orang tuanya meninggal saat masih sd, dimana adiknya lahir waktu itu.” “Ah, kok sampe lupa ya.” “Maklum faktor U!” Damian melotot sementara Aidil melangkah lebar menjauh darinya. “Sialan tuh bocah.” Bisiknya gemas. “Ngapain?” Bara tiba-riba datang dari belakang berbisik membuatnya tersentak kaget sampai terjatuh. “Astaga! Jendral!” Damian memegang d**a nya, ingin menyumpah juga senior bahkan pangkat berada di atasnya. “Maaf, saya kira kamu sedang apa. Ayo bangun, kita berkumpul di dalam gudang sekalian ngatur rencana.” Ucap Bara mengulurkan tangan dan Damian hanya pasrah menerima uluran sang jendral. Setelah itu mereka berada di gudang untuk mengatur strategi atau taktik apa yang harus di lakukan agar bisa sampai di kamp penyelamat. “Ah.. apa mereka baik-baik saja?” pertanyaan spontan dari Aidil entah di tujukan untuk siapa, mereka hanya diam. Bara jadi mengingat sahabatnya Ali dan juga gadis pujaan hatinya Esther. “Hhh.. “ Bara menghela nafas membentang lebar peta menandai titik koendinat dimana mereka sekarang dan juga tujuan mereka kemana. “Yang kita tau rumah sakit mungkin sedikit aman, kita keperbatasan luar kota juga tidak bisa karena semua brimob, polisi dan kopasus bahkan densus 88 yang siaga kapan saja bisa melayangkan senjata terhadap siapapun yang mereka lihat mendekat.” Kata Bara melingkari titik perbatasan ke luar kota. “Emang kita gak bisa minta tolong sama bapak brimob nya?” tanya Diana di sela-sela keseriusan mereka. “Gak akan bisa, selama kita bukan dari rumah sakit, ini juga demi keamanan warga kota lain.” Jawab Bara. “Kalau bapak TNI lain gimana?” tanya Diana lagi. “Sayangnya beberapa tim kami yang di turunkan banyak yang telah gugur jadi atasan lebih berhati-hati lagi. Semua harus di pikirkan matang-matang sebelum mengambil langkah penyaluran untuk memulai pembasmian kota.” “J-jadi kota bakal.. “ “Ini hanya prediksi saya saja, tidak usah di pikirkan. Lebih baik suster istirahat biarkan kami mengatur semuanya.” Tangkas Bara seolah tidak ingin Diana ikut dalam pembicaraan mereka. “B-baik.” Suster diana sedikit menjauh, mendekati Karin yang kini berada di samping Julian. “Kita hanya bisa diam sus, biarkan mereka yang ngatur semuanya.” Ujar Karin ketika melihat mimik wajah suster Diana sedikit kusut setelah mendengar ucapan bara. “Sus, kok adek saya tiba-tiba dingin gini ya?” pertanyaan Julian yang sedari tadi menggendong sang adik mengalihkan atensi mereka. Julian mendekatkan wajah Aisyah ke telinga berharap merasakan nafas sang adik. “B-bagaimana?” tanya David sebagai perwakilan mereka, tak lama suara tangisan Aisyah terdengar. Oeek... oeekk... “Ahhh.... syukurlah.” Desah semuanya termasuk Julian mengecup seluruh wajah adiknya, perasaan khawatir itu kini berubah senang keluarga satu-satunya masih bisa bersamanya. “Jangan buat abang takut dek.” Gumamnya seperti bisikan lalu kembali mengecup kening sang adik. Berharap tangisan bayi itu hanya bertahan sebentar namun ternyata Aisyah semakin menambah volume hingga mereka kelimpungan takut para mutan mendengar suara Aisyah. Suster Diana mengambil alih, Julian berharap bisa melakukan sesuatu untuk meredakan suara sang adik berpikir. Ia melihat botol dot bayi dan beberapa selimut ada yang tipis dan tebal. ‘Semoga ini berhasil.’ Meraih selimut, matanya tak sengaja melihat pisau di pinggang David. Sang pemilik pisau mengikuti arah tatapannya dan mengerti jika Julian membutuhkan benda tajam itu. “Ini.” David memberikan pisaunya pada Julian. Julian tersenyum lebar menerima pisau tersebut dan mulai mengerjakan apa yang pernah ia lihat di yutup. Tangisan Aisyah semakin besar, menjaga kemungkinan buruk mereka bersiap mengambil posisi masing-masing dengan senjata seadanya. Peluruh Bara tak cukup memadai begitu juga anggota lain. “Di saat malam seperti ini, si bayi mulai mencari keberadaan si ibu.” Lontar suster Diana menatap Julian yang juga memandangnya sendu. “Gapapa, mudah-mudahan bisa sama mas Julian nya sendiri.” Julian mengangguk segera menyelesaikan apa yang ia buat untuk sang adik dan tak lama kegiatan itu selesai, decakan kagum terdengar kala melihat ide dari julian membuat selimut dan dot bayi terlihat seperti p******a. “buka bajumu.” “Apa!!” Bukan hanya Julian yang kaget namun yang lain juga ikut kaget mendengar perintah suster Diana pada Julian. “Jangan salah faham dulu, itu biar bisa bersentuhan langsung dengan kulit si ibu.” Sanggah suster Diana kala menyadari pandangan mereka sedikit terlihat tidak mengenakkan. “Aah.. “ semua mengangguk mengerti dan Julian mau tak mau harus melakukannya demi sang adik. “kirain donat taunya roti sobek!” celetuk Karin namun segera menutup mulut keliatan kaget sendiri dengan mulutnya yang terlalu jujur. Belum lagi tatapan mengintimidasi dari suaminya. “Cih, ini nih kalo di rumah ngedrakor mulu jadinya sekarang otaknya kotor mulu.” Lontar Harum. “Kasian anak orang lo jadiin.. “ Plak!! Harum mendapat tepukan sayang dari istrinya. Ia hanya bisa mengusap bekas tepukan itu dengan melempar tatapan kesal. “Liat apa, hah?! Salahin mata sama mulut gue dong, ngapain jujur amat.” Ketus Karin berkacak pinggang melototi Harum. Kenapa jadi dia yang galak? pikir Harum membuang pandangan bergidik ngeri dengan pelototan istrinya. Satu hal yang lain tahu, jika seorang suami tidak akan kalah jika berdebat apalagi jika berhubungan dengan kesukaan mereka. “Maaf ya dek Julian, suami saya emang gitu gak jelas.” Ucap Karim menyadari Julian sejak tadi termangu mendengar kalimatnya yang sedikit ambigu. “Aah.. i-iya ga... “ “Loh kok gue sih!?” Harum melempar protestan namun segera menunduk kala Karin kembali melayangkan tatapan tajam belum lagi mulutnya terlihat komat-kamit seakan tengah menyumpah serapahi nya. Melihat Harum menunduk layaknya kucing penakut membuat yang di sana mau tak mau menahan tawa berpura-pura tetap fokus padahal mah perut sudah tak tahan untuk meledakkan suara tawa mereka. Suster hanya diam membantu Julian untuk menenangkan sang adik dan tak lama mungkin karena kulit mereka bersentuhan Aisyah si bayi mungil itu mulai terdiam. “S-suster, berhasil!” ucap Julian dengan mulut menganga melihat sang adik mulai mengemut mpeng di dadanya. Suster Diana tersenyum mengusap kepala pemuda itu, “Kamu melakukan yang terbaik, ibumu pasti bangga di sana.” Ucapnya tulus. Julian ikut tersenyum haru mendapat jempol dari semua di sana. “God job.” * * * Esther yang keluar dari toilet tersentak melihat Lukman bersandar dengan tangan di masukkan ke saku kepalanya menunduk seakan tengah menunggu seseorang. “Ngapain?” tanya Esther mengejutkan pemuda itu mengangkat kepala menatapnya penuh harap. “Apa kamu melakukan sesuatu lagi?” tanya Esther menaikkan satu alisnya. Mendengar hal itu Lukman buru-buru menggeleng keras dengan tangan di kibaskan jika itu tidak seperti yang Esther pikirkan. “N-nona sebenarnya.. tadinya kecurigaan saya udah hilang ta... “ “Jangan di dengerin kak, palingan dia mau ngomong yang gak jelas lagi sekarang.” Potong Jackson yang baru datang bersama shila. Dengan tatapan sinis Jackson berjalan melewati Lukman dengan sedikit menyenggol bahu Lukman. Lukman diam-diam mengepalkan tangan hendak berbalik pergi, Esther lebih dulu mengatakan sesuatu padanya. “Kalau ingin mereka percaya, berikan bukti agar lebih jelas.” Esther lebih dulu mendahului Lukman dengan memberikan tepukan di bahu pemuda itu. Lukman mengembangkan senyumnya ia menoleh tersenyum remeh pada Jackson kemudian pergi meninggalkan Jackson yang tak ambil pusing. “Udah?” tanya Jackson melihat shila keluar dari bilik toilet. Gadis cantik itu mengangguk melempar senyum ada sahabatnya. “Makasih ya, lo selalu bantuin gue.” Mengalungkan tangannya ke lengan Jackson. Pemuda itu hanya tersenyum mengacak rambut sahabatnya walau diam-diam menyembunyikan perasaannya. “Itu udah tugas gue kan jagain lo, belum lagi harusnya sekarang lo di bali sama tante tapi gara-gara ulang tahun sialan ini lo malah ikut kejebak disini. Tomi juga.. “ “Udah jangan di ungkit lagi. Gue sebenarnya ikut bukan alasan itu doang tapi pengen mutusin Tami di sana.” “Kok?” “Gue tau lagi dia ada main di belakang sama sahabatnya. Taukan kata teman itu paling nakutin selama gue sama dia pacaran.” Ujar Shila tersenyum miris. “Makanya kemarin-kemarin lo jaga jarak sama gue.” Lontar Jackson terkikik geli melihat lirikan sinis dari Shila. “Emang benerkan sampe gue rela hubungin om.. “ “Lo ngadu sama ayah!? Gila kali lo ya!” “Ya gimana sahabat gue satu-satunya dari orok malah menjauh, ya kagetlah. Dikira gue gak bayar utang kata om.” “Njir, bukannya emang belum ya?” “Sialan. Kapan gue ngutang sama situ.” “Oh gak ngakuin ceritanya nih.” “Emang gak kali.” “Lo tuh ngutang sama gue, ngutang perasaan.” “a***y dalem amat utang gue.” Walau tak di pungkiri kalau jantung Jackson dalam keadaan tidak baik-baik saja setelah mendengar ucapan sahabatnya. “Gak suka?” Shila memiringkan kepala guna melihat wajah Jackson yang kini memerah. Pemuda itu tampak membuang pandangan tak sanggup melihat mata teduh sahabatnya. “B-bukan gitu dan jangan natap gue kayak gitu dong hish!!” gugup apalagi selain itu yang Jackson rasakan sekarang ini. “Lo bukan oppa-oppa korea tapi kok imut sih?” Shila semakin menggoda sahabatnya itu, terlihat jelas Jackson menahan diri untuk tidak tersenyum. “Senyum aja kali jangan.. “ “Shila please~~~ jantung gue gak aman di tempat gara-gara lo tau gak.” “Pfttt... hahaha.” Jackson memutar bola mata kesal Shila begitu santai menertawakan dirinya. Sementara di tempat lain, Tiger berjalan mendekati gadis yang terlihat mencatat sesuatu di kertas. “Sedang apa?” Esther melipat kertas tersebut mendengar pertanyaan dari tiger, pria itu terkikik geli membuat Esther menengok kearahnya dengan alis terangkat bingung. “Gapapa.” Kata Tiger lalu duduk selonjoran di samping Esther. “Saya gak nanya.” “Iya sih tapi matanya yang nanya. Oyah soal senjata saya tau tempatnya tapi kayaknya kita gak bisa keluar dari sini.” lontar Tiger dan lagi-lagi mendapat tatapan bingung dari gadis itu. Ia melihat ketakutan dalam diri orang-orang di sana dan berkata, “Lihat orang-orang itu,” Esther mengikuti arah tatapan Tiger. “Mereka semakin di kejar oleh ketakutan dan saling egois, inilah yang diinginkan oleh monster itu. Semakin semua orang gemetar ketakutan, monster semakin tidak waras.” Lanjut Tiger dengan senyum miris. “Menurutmu monster apa yang menunggu di luar sana selain mutan?” “Dari aungan nya saja udah pasti lebih mengerikan dari mutan itu.” “Soal toko yang kamu sebutkan tadi... “ “Nona mau ke sana?” Esther mengangguk tanpa ragu, malah Tiger yang ragu melihat kilatan mata tegas dan tekat dari gadis di sampingnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN