Chapter : 4

1848 Kata
Niko berlari menjauh dari toko, sesekali memukul mutan yang menghalangi langkahnya. Tiba di depan swalayan, ia berlari masuk sekedar membeli air minum namun ternyata tak ada orang selain darah berceceran dan beberapa barang berantakan. Dadanya jadi deg-deg an dengan kemungkinan-kemungkinan di dalam sini, ingin keluar pun sudah terlambat melihat para mutan memenuhi pintu. Ia bersembunyi di samping sudut pendingin setelah tangan nya menyambar beberapa bungkus cemilan dan juga air yang masih dingin. Ada perasaan bersalah terbesit pada Tiger namun segera masa bodohkan dan mulai membuka cemilan tersebut. Terlalu buru-buru sampai tersedak, Niko menepuk dadanya keras. Bukan sakit karena tersedak namun sakit mengingat kepergian orang tuanya yang begitu mengenaskan sampai air matanya jatuh tanpa permisi. Menggigit punggung tangan untuk meredakan isakannya, jantungnya seakan copot saat mendengar suara langkah menyusuri rak-rak cemilan disana. Tak ingin mati sia-sia Niko meraih besi yang ia bawa dari toko tadi lalu bersiap memukul siapa saja mendekatinya. Krek!! “Hyakk!!” Niko memejamkan mata melayangkan besi tersebut namun terhenti ketika mendengar suara bertanya. “Lo masih hidup?!” Deg!! Nika terduduk bersandar memegang dadanya menatap beberapa orang di depannya. “Ah astaga jantung gue!” cicitnya. “intinya kamu manusia kan?” tanya Jasmin. Jasmin? Bukankah dia salah satu petugas di kepolisian Mitra, mengapa disini? Bersama Andi dan juga Duta bersama pria berjas dokter Dafa. “Kayaknya manusia deh? Mana ada mutan nyari makan selain makan manusia hidup?” tutur Dafa. “S-saya Niko dokter anak di rumah sakit Jaksel.” Ujar Niko mengenalkan dirinya agar mereka percaya. Terlihat mereka mengangguk. “Saya Andi, dia Duta dan gadis yang nanya tadi Jasmin, terakhir Dafa. Kami dari kepolisian Mitra selain Dafa dia dari tim forensik.” Ujar Andi mengulurkan tangan agar Niko berdiri, melihat itu Niko pun dengan senang hati menerima uluran tersebut lalu berdiri. “Sendirian doang?” tanya Jasmin membuka tas kemudian memasukkan beberapa roti sementara Duta mengambil minum. “Kalian gak bayar?” bukannya menjawab Niko malah bertanya balik. Pertanyaan Niko membuat mereka terkekeh. “Kenapa? Perasaan pertanyaan saya gak ada yang lucu?” tanya Niko lagi. “Gini loh, toko ini gak ada penjaga selain darah, kita udah periksa semua tapi gak ada siapa-siapa mungkin udah jadi salah satu dari mereka.” Lontar Dafa membantu Duta. “Ah.. hanya kalian?” tanya Niko lagi. “Yes hanya kami yang berhasil selamat. Sebenarnya saat kita lagi nugas di tkp mereka malah nyerang tanpa tau semuanya datang darimana, tiba-tiba nyerang dan rekan-rekan saya gugur disana.” Jelas Dafa sementara Andi tengah sibuk menghubungi sahabatnya. “Ah sorry.” “It’s oke. Ah, mau gabung dengan kami?’ tawar Duta. “Eh? Emang gapapa?” “Gapapa asal berguna saja.” Celetuk Andi, terlihat pria itu mengacak rambutnya kesal. “Sial. tuh anak kemana sih?!” kesalnya meremas benda pipih di tangannya. “Sorry ya, dia emang gitu.” Ujar Dafa tak enak hati pada Niko. “Gapapa. Setelah ini kalian mau kemana?” “Ke kamp penyelamat, bandara seokarno hanya itu tempat yang mereka jadikan kamp. Semua jalanan dari luar kota di tutup agar hanya jakarta yang terkena.” Kata Duta mencoba tersenyum. “Gimana pak, pak Jaka udah bisa di hubungi?” tanya nya pada Andi. Yang di tanya menggeleng pelan, “Masuk tapi gak di angkat. Dia cuman ngirim pesan tadi mau jemput Ayu di sekolah, sampai sekarang gak ada kabar.” membuat Jasmin seketika lesu. “Apa jangan-jangan.. “ “Jasmin lebih baik kamu diam!” sentak Andi tak ingin mendengar perkataan gila gadis itu. Ia yakin Jaka baik-baik aja, sahabat gilanya itu pasti aman bersama adiknya. “Andi jangan gitu, Jasmin gak maksud.” Tegur Dafa. “Maaf senior.” Jasmin menunduk merasa takut dan bersalah secara bersamaan. “Saya juga minta maaf, lain kali jangan ngomong gitu saya gak suka.” Kata Andi menepuk pundak gadis itu kemudian berbalik melangkah mendekati rak coklat kesukaan Ayu adik Jaka. “Udah gapapa, dia lagi khawatir sama sahabatnya makanya sedikit sensitif jadi lebih baik ambil apa yang bisa kita ambil untuk perjalanan ke bandara yang bakal ngambil waktu banyak sekarang.” Kata Dafa menatap yang lain dan mendapat anggukan kecil dari mereka termasuk Niko. Melihat kebersamaan mereka Niko jadi teringat Tiger abangnya, entah pria berbahu lebar itu masih disana atau sudah pindah? Belum lagi ia pergi begitu saja tanpa mengatakan apa-apa, Hhhh... Niko jadi merasa bersalah sekarang. Niko merogoh saku mencari hp nya sekedar mengirim pesan untuk Tiger sayangnya hpnya mati total. Sial. dia lupa kalau listrik akan di matikan malam ini.. tek! “Ahh... “ desah mereka pelan setelah lampu mati total. Tak ada penerang selain dari pantulan cahaya bulan. “Saya rasa ini berguna.” Niko menyalakan senter kecil dari rak bawah. Segera ia matikan setelah mendengar erangan dan dobrakan dari luar toko. Mereka tersenyum dalam kegelapan satu persatu menerima senter kecil dari Niko begitu juga Andi. Sementara di tempat lain, Jaka tiba di sekolah dalam kegelapan yang sebelumnya sudah terjadi pertarungan disana. Terlihat jelas banyak yang tergeletak tak berdaya, Jaka menyenter tak lupa mengarahkan senjatanya ke arah depan. “Apa bala bantuan udah nyampe sini ya?” bisiknya melangkah pelan tak lupa mematikan senter tujuan hanya ruang guru. Baru melangkah memasuki gedung sekolah, ia sudah di suguhi pemandangan di mana beberapa anak terikat belum lagi wali kelas adiknya sudah tergeletak dengan kepala hancur. Jaka jadi kalang kabut mencari adiknya Ayu, “Sial!! Ayu kamu dimana dek?!” kaki panjangnya berlari ke ruang guru. Begitu banyak tangga yang harus ia lewati belum lagi para zombie kecil yang terikat, benar-benar menguji kesabaran seorang Jaka. Begitu sampai di rung guru, hanya ada ruangan acak-acakan dan juga penjaga sekolah bernasib sama seperti bu sindy. “Adek, kamu dimana?! Abang udah janji bakal j****t kamu, kenapa malah pergi. Kamu dimana Rahayu!?” terdengar putus asa ketika adiknya tak ketemu. Dengan langkah gusar Jaka mendatangi anak-anak yang terikat disana guna mencari Ayu. Satu hampir 30 menit Jaka mencari Ayu namun tak ada disana, kesimpulan yang bisa ia ambil hanya Ayu selamat dari sana. Ayu terbangun setelah lama pingsan, gadis itu menangis ketakutan memanggil Jaka sang abang. “Abang hiks.. tolongin Ayu hiks... ABANG!!” Ayu meringkuk ketakutan melihat orang-orang berbaju hitam. Esther membuka penutup kepala tersenyum tipis mendekati Ayu. Mereka tidak bisa membawa Ayu kembali ke kamp, terlalu berbahaya untuk keluar lagi karena setelah dari gedung sekolah mobil mereka kini jadi tempat kerumunan. Senyum tipis seorang Esther terlalu langka untuk mereka lihat, maka dari itu tidak ada yang menyia-nyiakannya dengan memandang gadis itu kagum seperti yang dilakukan Bara. Pria itu menatap Esther dalam, ikut tersenyum. “Saya Esther, nama kamu siapa?” tanya Esther duduk di depan Ayu. Tangannya terangkat mengusap lelehan air mata gadis itu. “Gapapa, kita petugas kok jadi kamu bakal aman disini.” Katanya lagi. “A-ayu m-mau a-abang.” Ujar Ayu terbata-bata meringkuk memeluk lututnya. “Abang nya sekarang dimana biar kita bisa nyari.” Tanya Esther lembut dan mendapat tatapan dari Ayu membuatnya mengangguk. “T-tadi abang bilang mau jemput Ayu tapi sampai senja abang gak datang-datang juga. Hiks.. kakak, abang baik-baik aja kan? Ayu bisa ketemu abang kan kak hiks.. “ Esther kembali mengusap pipi Ayu, menyeka air mata gadis itu kembali tersenyum hangat lalu berkata, “Ayu berdoa supaya abang bisa selamat biar bisa ketemu Ayu disini, ya?” Ayu mengangguk sesenggukan. Setelah itu Esther beralih pada sang kapten, seolah mengerti arti tatapan Esther sang kapten pun berucap. “Tiga menit lagi kita akan turun ke lapangan, tim lain berada tak jauh dari kita dan tidak ada yang bisa kita lakukan selain membawa anak ini.” Mereka melotot. “Kapten, bukankah ini terlalu bahaya untuknya? Kita juga tidak bisa menjaganya disana.” Ali bersuara, dia sangat tidak setuju jika Ayu dibawa-bawa ke jalan sementara mereka harus mencari warga yang masih bisa di selamatlkan. “Kami setuju kapten.” Sahut mereka. “Lalu bagaimana? Membiarkan dia sendirian disini. Itu lebih berbahaya lagi. Setidaknya kita akan mengawasi dia sambil mencari keluarganya. Tugas kita menjaga dan melindungi warga sipil apalagi anak sekecil dia, tak ada penolakan dia harus dibawa jadi bersiaplah.” Putus kapten Halim tak terbantahkan lagi. Bara mendekati Ayu memasangkan gadis kecil itu pakaian tebal tak lupa penutup kepala, Ali mengeratkan ikatan sepatu Ayu. “Ayu bakal ikut kita bantuin warga, jadi kita bakal banyak jalan sekalian nyari abang ayu. Ayu bisa jalan jauh kan?” tanya Ali tersenyum menepuk kaki Ayu pelan. “Ayu bisa kok, demi abang.” “Pintar. Pertama.. Ayu ikut bang Ali, bentar ya.. ini ikatannya jangan sampai lepas biar bang Ali bisa deket Ayu terus.” Ujar Ali mengikat pinggang Ayu untuk tetap berada di sampingnya. “Baik.” “Jangan lupa helmnya.” Lontar Esther memberikan helm pada Bara dan pria itu pun menerimanya dengan senang hati setelah itu mereka pun bersiap-siap untuk turun tak peduli bahaya berada di depan mata mereka. “Helm sama kacamata nya jangan di lepas ya, biar bisa ngeliat jalanan.” Bisik Ali. “Baik bang Ali.” Ali mengangguk mengusap pundak gadis kecil di sampingnya, tak lama perintah untuk turun terdengar dari atasan. “Satu.. dua.. tiga.. go!!” kapten Halim memimpin setelah pintu terbuka, mereka langsung membordir tembakan setelah kerumunan mendekati mereka. Ali berada di tengah samping kanan kiri ada Bara dan Esther yang menjaga agar bisa menurunkan Ayu dari mobil. Suara tembakan terdengar jelas di telinga seseorang, sementara di tempat seorang paruh baya tersenyum miris kala pesannya sampai sekarang belum mendpat balasan hanya di baca membuatnya menghela nafas gusar. “Sebenci itukah kamu sama ayah? Seharusnya kamu mengerti kenapa ayah berani melakukan semua ini.” Ia menoleh melihat istri nya terbaring pucat. “Bianca.. Esther saat ini tengah berjuang akibat kekacauan yang telah kuperbuat, maafkan aku sayang telah membahayakan putri kita. Apakah aku harus menyerah?” Tok.. tok.. tok.. “Prof, saya kembali.” Ternyata salah satu orang suruhannya datang, entah dia membawa pesanannya atau tidak ia hanya bisa berjalan keluar tangannya meraih samurai yang tersimpan meninggalkan istrinya. Begitu pintu terbuka, tanpa peduli orang itu berubah atau tidak ia menebas leher pria itu hingga lepas dari tubuhnya. Tash!! Kantong plastik berisikan ubur-ubur terlepas dari pegangan pria itu, di susul kepalanya. Robert meraih ubur-ubur itu dan menaruhnya di wadah kaca kemudian membereskan tubuh anak buahnya. Tak ada yang boleh terlewatkan agar penelitiannya tetap aman di ruang lap, maka dari itu ia menyingkirkan orang-orang yang tau kelakuannya ini. Tapi bukankah mereka berdua? Dimana yang lain? Mungkin sudah bergabung dengan manusia menjijikkan di luar sana. Robert memandang mahluk kecil di hadapannya dengan seksama, jelas terlihat berbeda dari ubur-ubur biasanya. Sebelum kembali meneliti, ia menaruh sesuatu dalam wadah untuk melihat reaksi ubur-ubur dan seperti yang diperkirakan ubur-ubur itu tidak berenang normal seakan mencari mangsa untuk di sengat. Senyum tipis tercetak jelas di sudut bibir paruh baya itu seolah telah menemukan apa yang di carinya selama ini. “Lihat Esther, ibu mu akan segera bangun dan kita bisa kembali seperti dulu lagi.” Gumam nya seperti bisikan, setelahnya berjalan ke arah pujaan hatinya dan mengecup kening wanita pucat tersebut lalu berbaring di samping dengan perasaan gembira merasa yakin jika kali ini ia akan berhasil membangunkan istrinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN