8. Parangtritis

2614 Kata
Mas Fathan akhirnya tahu kalau aku dan Mas Al adalah mantan kekasih. Aku tidak bisa menyembunyikan itu lagi karena dia sudah terlanjur melihat air mataku keluar. Ini memang memalukan, tetapi aku benar-benar tidak punya pilihan lain selain meberitahunya. Berbohong pun percuma karena akan lebih aneh lagi kalau aku menangis hanya karena melihat rekan kerja bersama perempuan lain. Meski begitu, aku tidak memberi tahu Mas Fathan secara keseluruhan. Aku hanya memberi tahu kalau aku dan Mas Al pernah menjalin hubungan di masa lalu dan perasaanku padanya belum benar-benar hilang. Tidak masalah kalau Mas Fathan menilaiku sebagai perempuan gagal move on. Memang kenyataannya begitu. Dan ya, Mas Fathan hanya tahu sebatas itu karena semalam aku langsung pamit pulang setelah berterima kasih sekali lagi atas traktirannya. “An, minggu-minggu begini kamu diam aja di rumah?” tanya Mama ketika melihatku rebahan di ruang tengah sambil menonton TV. “Lagi males keluar, Ma.” “Oh, ya udah.” Mood-ku sudah telanjur hancur sejak semalam. Aku bahkan membatalkan niat jogging pagi tadi. Sejak pagi aku belum melakukan aktivitas khusus. Hanya rebahan, cek ponsel, makan, dan menonton TV. Aku bahkan belum mandi. Drrrt! Ponselku bergetar panjang. Ada telepon dari Bu Nur. “Hallo, Bu?” sapaku begitu panggilan terhubung. Tumben sekali Bu Nur meneleponku weekend begini. “Hallo, Bu An. Lagi di rumah?” “Iya, Bu. Ada apa?” “Mau enggak ya, kalau siang ini saya ajak keluar?” “He?” Bu Nur tertawa pelan di seberang sana. “Saya butuh teman ke butik. Saya mau pilih baju buat lamaran. Kapan itu saya lihat kebaya wisuda Bu Anna cantik-cantik. Selera njenengan pasti bagus.” “Wah, selamat, Bu. Itu lamarannya sebentar lagi? “Akhir minggu ini, Bu. Gimana, mau?” “Boleh-boleh. Di mana butiknya?” “Saya jemput Bu Anna saja, nanti ke butiknya bareng—“ “Enggak usah, Bu. Ketemu di butik aja. Saya bawa motor sendiri” “Oh, ya sudah. Habis ini saya sharelock lokasinya. Ini beneran enggak apa-apa, kan, saya ngerepotin?” “Santai, santai. Saya enggak ada kegiatan, kok, hari ini. Habis ini saya mandi lalu siap-siap.” “Oke, Bu. Saya tunggu, ya. Terimakasih banyak sebelumnya.” “Sama-sama, Bu Nur.” Setelah panggilan terputus, aku langsung berlari naik ke kamar. Sepertinya bukan ide yang buruk kalau aku keluar menemani Bu Nur. Siapa tahu mood-ku nanti membaik. Daripada terus begini, aku di rumah seperti orang linglung. Rasa-rasanya, Bu Nur memang terlihat ingin dekat denganku. Aku merasa dia jauh lebih peka dari yang kukira. Aku harap hubungan pertemanan kami bisa lebih dekat dan semakin dekat. “Lho, An? Mau ke mana?” Mama terlihat heran melihatku yang sudah rapi. Padahal, dua puluh menit yang lalu aku masih malas-malasan. “Nganter teman ke butik, Ma.” “Emangnya ada apa kok perlu dianter?” “Dia mau lamaran, aku diminta bantu milih baju. Katanya, seleraku bagus.” “Owalah. Ya semoga kamu ikut ketularan.” Mama tersenyum lebar. “Mama ini. Pasti ujungnya gitu.” “Ya diamini, to, An.” “Sulit, soalnya aku enggak ada bayangan.” “Ya siapa tahu—“ “Udah, ya, Ma. Aku pamit sekarang. Kasihan temenku kalau nunggu kelamaan.” “Dasar, kamu ini! Ya udah, hati-hati.” Aku harus motoran kurang lebih setengah jam sampai tiba di butik tempat Bu Nur akan membeli baju. Ternyata butik itu khusus menjual baju-baju mewah khas orang lamaran, kondangan, ataupun wisuda. “Bu An!” Bu Nur melambaikan tangan begitu melihatku. “Maaf, Bu. Nunggu lama, ya?” “Enggak, kok. Belum ada sepuluh menit saya datang. Ayo, masuk!” “Iya, Bu.” Begitu masuk butik, mataku seketika dimanjakan dengan aneka desain kebaya dan gaun. Belum lagi, lampunya yang putih terang sukses membuat ‘silau’ mata. “Bagus-bagus, Bu, desainnya. Ini rekomendasi dari siapa?” Bu Nur meringis. “Rekomendasi dari kakaknya Mas Galih.” “Pak Galih itu calonnya Bu Nur?” “Iya, Bu.” “Keren, ini. Sekali masuk aja saya langsung jatuh cinta sama koleksinya.” Selama beberapa waktu, aku ikut Bu Nur keliling melihat-lihat koleksi yang ada. Sesekali Bu Nur minta pendapat, sesekali juga dia mencoba baju yang kiranya cantik dan pas di badannya. “Kayaknya ini aja, ya, Bu An? Warnanya kalem, cocok juga sama batik buat bawahan.” “Iya, Bu. Saya juga prefer yang ini. Desainnya itu unik dan enggak norak.” “Oke-oke. Saya pilih ini saja.” “Enggak minta pendapat Pak Galih dulu, Bu?” tanyaku ketika kami hendak ke kasir. “Mas Galih sibuk, Bu. Dia pasrah saja saya mau yang mana. Dia tipe laki-laki yang enggak mau ribet. Lagi pula ini baru lamaran. Kalau fitting baju pengantin lha baru, dia harus ikut.” Aku tertawa. “Kayaknya rata-rata laki-laki emang enggak suka ribet sama urusan outfit.” “Bener banget.” Baru saja aku dan Bu Nur akan menuju kasir, tiba-tiba pundakku tak sengaja bersinggungan dengan pundak orang lain. Aku refleks menunduk untuk minta maaf. “Maaf, maaf. Saya enggak senga— Tante Shila?” mataku mendelik, langkahku pun otomatis mundur. Yang terkejut sepertinya bukan aku saja, tetapi Tante Shila pun sama. Namun, sedetik kemudian beliau tersenyum. “Lama enggak ketemu, Anna.” Jantungku seperti hendak melompat keluar. Aku segera mengulurkan tangan, menyambut Tante Shila yang kini mengajak bersalaman. “Iya, Tante.” Saat ini aku benar-benar kikuk, bingung harus bagaimana. Tante Shila adalah Bundanya Mas Al. Kami kenal baik, bahkan bisa dibilang sangat baik. Dulu, beliau sering memintaku datang hanya karena disuruh mencicipi masakan. Tante Shila kenal baik dengan kedua orang tuaku. Mereka bahkan sudah saling kenal sebelum aku dan Mas Al memutuskan untuk berpacaran. Seperti yang kita tahu, Mas Al bersahabat dengan almarhum kakakku. “Ada urusan apa ke sini?” “Saya antar teman, Tante.” Aku melirik Bu Nur, dan Bu Nur segera mengajak Tante Shila bersalaman. “Saya teman Anna, Bu.” Bu Nur tersenyum ramah. Ini pertama kalinya Bu Nur memanggilku dengan nama saja. Justru bagus, toh kami sedang di luar area kampus. “Oh, iya iya.” Bu Nur kini menatapku dengan mata setengah menyipit, seolah memintaku untuk menjelaskan siapa wanita cantik paruh baya di depan kami ini. Aku menggeleng pelan karena tidak bisa menjawabnya sekarang. Aku yakin dia pasti kaget kalau tahu yang sebenarnya. “Al bilang kamu S2 di Bandung, An. Udah selesai, kan?” Aduh! Tante Shila menyebut nama Mas Al. Tentu saja Bu Nur langsung menyenggol lenganku. “Udah dari tahun lalu, Tante.” “Udah kerja berarti?” Aku mengangguk. “Sudah.” “Di mana?” Aku menarik napas panjang. “Satu kampus sama Mas Al, Tante.” “Oh, ya? Kok Al diam aja?” Aku meringis ketika Bu Nur mencubit lenganku agak kuat. Setelah ini dia pasti akan mencecarku dengan banyak pertanyaan. “Mungkin Mas Al belum sempat ngasih tahu. Belum lama ini, kok, Tan. Belum ada satu semester.” Aku tersenyum, setengah meringis. Jujur, aku tidak tahu bagaimana mendeskripsikan perasaanku saat ini setelah bertemu Tante Shila. “Ngomong-ngomong, Tante sendirian ke sini? Tante sehat, kan?” aku bertanya sekaligus sengaja mengalihkan topik pembicaraan. “Alhamdulillah, Tante sehat. Tante harap kamu juga begitu.” “Alhamduillah saya juga sehat, Tan.” “Orang tuamu juga?” “Iya, Tante. Semuanya sehat.” “Syukurlah.” Tante Shila manggut-manggut. Hening sejenak. Tiba-tiba, sebelah tangan Tante Shila menyentuh pundakku. Beliau tersenyum agak aneh, “Ya sudah, kalau begitu Tante naik dulu, ya.” “Iya, Tante. Silakan ....” Begitu Tante Shila naik menuju lantai dua, pundakku yang sempat sangat tegang langsung terkulai lemas. Di saat yang sama, Bu Nur menatapku tajam. “Bu Anna, jangan bilang beliau ini Ibunya Pak Al?” Aku memejamkan mata sejenak, tidak langsung menjawab. Kalau Bu Nur sampai tahu yang sebenarnya, aku harus bisa membuatnya tutup mulut. “Bu An?” Aku mengangguk. “Iya, beliau Ibunya Pak Al.” Bu Nur tampak menganga tak percaya. Dia kini menarikku ke sudut butik. “Jadi apa hubungan Bu Anna sama Pak Al? Tolong jujur. Saya sudah mencium keanehan di antara kalian berdua sejak bulan lalu. Atau malah sejak bulan sebelumnya lagi.” “Bu, mending sekarang bayar dulu kebayanya. Habis ini saya ikut pulang ke rumah Bu Nur. Saya jawab jujur di sana.” Bu Nur mengangguk. “Oke.” *** “APA, BU? MANTAN?” Aku sampai berjengit kaget karena suara Bu Nur tiba-tiba melengking memenuhi kamarnya. Dia tampak sangat terkejut, jauh melebihi yang tadi. Dia bahkan sampai menutup mulutnya. “Jangan sampai bocor ke yang lain tapi, Bu. Please ... saya enggak enak.” “Bentar, bentar!” Bu Nur masih menatapku tak percaya. “Jujur, Bu An, tak kira kalian itu baru pdkt atau gimana. Tapi mantan? Wah! Lebih tak terduga lagi.” Bu Nur geleng-geleng kepala tak habis pikir. “Entahlah, Bu. Saya aja enggak tahu kalau Mas Al ngajar di kampus kita ini.” “Duh, manggilnya Mas.” Bu Nur malah meledekku. “Panggilan bukan hal penting lagi, Bu Nur. Kami udah selesai.” “Enggak percaya, saya.” Bu Nur menyahut cepat. “Kalau udah selesai, kalian enggak akan secanggung itu. Saya yakin kalian belum benar-benar selesai.” “Selesai, Bu. Pak Al lho udah punya calon.” “Selagi janur kuning belum melengkung, kesempatan itu selalu ada. Saya juga enggak yakin gosip dari Bu Nining itu benar. Soalnya Pak Al diam aja dan enggak pernah mau jawab kalau ditanya. Ya urusan pribadi juga, sih.” Aku diam, tidak tahu lagi harus membalas apa. “Bu An ...” kini Bu Nur mendekat dan duduk di sebelahku. “Sebelumnya maaf kalau saya lancang nanyanya. Ngomong-ngomong, kenapa kalian putus?” Aku segera menggeleng. “Saya enggak bisa cerita sekarang, Bu. Panjang pokoknya.” “Saya masih kaget lho ini.” “Pokoknya besok kalau ketemu Pak Al di kampus, sikapnya kaya biasanya aja, ya, Bu. Jangan sampai yang lain tahu. Tadi udah janji.” Bu Nur mengangguk. “Iya, Bu. Saya janji. Tenang aja.” Aku menghela napas lega. Melihat karakter Bu Nur beberapa bulan ini, sepertinya dia bisa dipercaya. Semoga saja. *** Setelah dari rumah Bu Nur, bukannya pulang aku malah menuju pantai Parangtritis. Kebetulan rumah Bu Nur ada di daerah Sewon, jadi Parangtritis jelas lebih dekat. Sepertinya banyak orang yang sudah tahu kalau Pantai Parangtritis adalah pantai paling dekat dari kota. Konon katanya, Pantai Parangtritis berada di satu garis lurus dengan Keraton Kesultanan Yogyakarta. Untuk lebih pastinya, silakan cari info yang lebih valid. Selain dekat, jalan menuju Pantai Parangtritis pun benar-benar mudah. Setelah keluar dari ring road selatan dan masuk Jalan Parangtritis, makan tingal mengikuti jalan saja tanpa belok sama sekali. Untuk orang yang mengaku asli Jogja, aku termasuk jarang ke pantai ini. Selain karena sebelumnya aku merantau ke luar kota, aku juga kurang suka pantai dengan pasir hitam. Aku lebih suka pantai dengan pasir putih. Dan di Yogyakarta, pantai pasir putih biasanya ada di Gunungkidul. Itu terlalu jauh untuk kujangkau kalau sudah sore begini Sesampainya di sana, aku segera parkir motor dan masuk area pantai. Padahal ini hari minggu, tetapi pengunjung yang datang tak sebanyak yang kukira. Kini aku duduk di pasir dengan sandal kujadikan alas. Aku ingin menikmati suara ombak. Kadang-kadang, suara ombak entah kenapa terdengar menenangkan. “Ternyata benar, itu kamu.” Aku refleks menoleh, dan aku sangat terkejut ketika melihat Mas Al kini sudah berdiri menjulang beberapa meter di sampingku. “P-pak Al?” Mas Al berjalan mendekat dan ikut duduk di sebelahku meski tetap menjaga jarak. Harusnya aku tidak terlalu kaget Mas Al ada di pantai ini karena dia pernah bilang kalau dia sering ke sini jika sedang merasa penat. “Sendirian, Pak?” tanyaku membuka percakapan. Rasanya aneh sekali karena kami hanya diam-diaman, padahal jarak kami duduk tidak ada dua meter. “Seperti yang kamu lihat.” “Enggak ngajak Mbak Kiran?” “Dia ada sift malam.” “Oh ...” Hening lagi, canggung lagi. “Bunda bilang, beliau ketemu kamu tadi siang.” Ah, Tante Shila laporan rupanya. “Iya.” Aku mengangguk. “Dan herannya beliau masih sangat baik. Beliau tahu, kan, apa yang sebenarnya terjadi?” “Tahu.” “Semuanya?” “Enggak.” “Lalu?” “Kenapa tiba-tiba kamu penasaran?” “Ya karena beliau masih begitu baik dengan perempuan yang sudah menyakiti hati anaknya.” Mas Al tertawa pelan. “Kamu sadar rupanya.” Air mataku seketika menggenang, tetapi aku buru-buru mengusapnya sebelum Mas Al menyadari. Dia tidak boleh melihatku menangis, bahkan setetes saja. “Bunda hanya tahu kalau hubungan kita berakhir, tapi tidak pernah tahu siapa yang mengakhiri dan karena alasan apa kita harus berakhir.” “Aku minta maaf, Mas ...” ujarku lirih, entah terdengar atau tidak karena suara ombak cukup kencang. “Kalau minta maafmu karena perlakuanmu malam itu, sudah kumaafkan sejak lama.” “Tapi?” “Kamu yang menghilang begitu saja, selalu menghindar ketika aku datang, bahkan memblokir semua akses komunikasi, aku hanya enggak habis pikir kenapa kamu bertindak sampai sejauh itu.” Itu demi segera melupakanmu, Mas. Hanya demi itu. “Hubungan kita berakhir, ya sudah. Tidak semua yang pacaran harus berjodoh. Tapi kamu membuatku terlihat sangat buruk di depan orang tuamu. Bagaimanapun, orang tuamu adalah orang tua Jo. Aku mengenal baik mereka jauh sebelum aku mengenalmu secara langsung.” “Aku benar-benar minta maaf ...” Mas Al diam, tidak menyahut lagi. Meski begitu, dia masih bergeming di tempatnya. Berselang beberapa saat, tiba-tiba aku merasakan rintik hujan turun membasahi kaki. Rintik itu langsung rapat, membuatku dan Mas Al reflek berdiri dan berlari. “Hujaaan!” Terdengar teriakan dari berbagai arah. Entah suara orang dewasa maupun anak-anak. Semua orang mulai berlari mencari tempat berteduh terdekat. Langit memang sudah mendung sejak tadi. Bahkan mungkin sejak aku masih di rumah Bu Nur. “Oh iya, sandalku!” Aku yang sebetulnya sudah berlari cukup jauh, harus kembali lagi karena melupakan sandal yang tadi kugunakan untuk alas duduk. Namun, baru saja aku berhasil mengambilnya, kakiku malah terkilir. Itu disebabkan gerak refleks yang terlalu cepat. “Aduuuh, kakiku!” Aku berusaha bangun dan berlari lagi, tetapi baru tiga langkah aku sudah jatuh karena tidak kuat. Hujan semakin rapat, membuat baju yang kupakai semakin basah. Samar-samar aku melihat orang berlari menghampiriku. Mataku melebar kaget karena itu Mas Al. “Kenapa malah duduk di sini?!” tanyanya dengan nada tinggi. “Kakiku keseleo.” “Ya ampun, kamu ini!” Mas Al tiba-tiba jongkok di depanku. “Cepat naik!” “Hah?” “Cepat naik, Anna! Hujan makin lebat! Enggak usah banyak mikir!” Aku segera memeluk tas selempangku dan naik di punggung Mas Al. Serius, aku tidak pernah membayangkan akan digendong Mas Al seperti ini. Dia berlari menerobos hujan, mencari warung terdekat yang bisa digunakan untuk berteduh. “Kamu ini memang ceroboh!” Mas Al langsung memarahiku begitu dia menurunkanku di salah satu warung yang masih cukup longgar untuk kami masuki. Banyak warung yang terlihat penuh karena banyak orang yang butuh berteduh. “Kenapa malah balik lagi, tadi?” “Sandalku ketinggalan. Kalau enggak diambil, nanti keseret ombak.” “Cuma karena sandal kamu rela balik? Di sini banyak warung yang jual sandal.” “Sandal ini bukan cuma. Ini hadiah dari Mas, lho!” Mas Al diam, dan aku pun sama. Aku langsung memalingkan wajah karena sadar sudah keceplosan. “Maksudnya, aku selalu jaga baik-baik pemberian orang. Apa apun itu,” lanjutku beberapa detik kemudian. Mas Al masih diam, dia menunduk menatap sandal yang kubawa di tangan kiri. Dia pasti tidak sadar dengan sandal ini karena tadi kududuki. Sandal ini adalah kado ulang tahun darinya. Meski kelihatannya sederhana, awetnya bukan main. “Kamu tunggu sini, aku cari sesuatu dulu.” ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN