Bab 10 A - Sapaan Laki-Laki Menyebalkan

1103 Kata
Anindya Athaya Zahran. (Ning Anin) Ning Anin berjalan menuju ke luar pondok, karena Ning Anin sudah berjanji pada Farha untuk menemaninya membeli mukena sebab salah satu mukenanya hilang saat berada di jemuran. Kehilangan mukena ini memang bukan hal yang luar biaya, karena ini adalah hal yang snagat biasa di kalangan santri. Bagaimana tidak? Hampir setiap hari santri mengalami hal serupa meski santri yang berbeda-beda. Hal tersebut biasanya dikarenakan rata-rata pakaian, mukena, dan barang-barang mereka yang sama karena mereka membeli di toko yang sama, toko yang ada di sekeliling pondok yang jumlahnya tidak sampai lima toko. Hanya ada tiga toko di dalam pondok dan ada dua toko di luar pondok. Dan, tentu saja, biasanya santri memilih untuk membeli yang berada di luar pondok karena selain mereka bisa berjalan-jalan, mereka juga bisa menghemat, sebab kedua toko yang di luar pondok itu harganya sedikit lebih murah dan pilihannya lebih banyak ketimbang ada di dalam pondok. “Duh, Ning, banyak santri putra.” ringis Farha. Meski mereka sudah berjalan sangat ke pinggir namun mereka tidak bisa menutupi fakta kalau mereka memang berjalan saat santri putri keluar dari Masjid setelah menyelesaikan salat subuh berjamaah. Ning Anin dan Farha sudah melaksanakannya di aula bersama santri putri yang lainnya. Dan memang seperti itu, santri putri selalu keluar lebih cepat ketimbang santri putra. “Kita jalannya sedikit lebih cepat aja, Far.” kata Ning Anin memberikan saran. Farha pun menganggukk kepalanya, di antara semua santri putra ntah mengapa ada salah satu santri putra yang tak sengaja dia lihat berjalan mendekat. Jantung Ning Anin langsung berdegup dengan sangat kencang, dia mempercepat langkahnya. “Hai!” sapa laki-laki itu kepada Ning Anin. Ning Anin melirik sekilas namun tidak bersedia untuk menyahut. Farha di samping Ning Anin hanya bisa menunduk karena bingung harus melakukan apa. Ning Anin dan Farha tetap berjalan. “Gak baik loh jutek-jutek sama cowok tampan kayak gue.” kata laki-laki itu. Laki-laki itu, tentu saja Faiz. Ning Anin merutuki dirinya sendirinya sendiri. Karena memaksa menemani Farha pagi itu juga padahal Farha bersedia diantarkan malam hari, jadi dia tidak perlu berpapasan dengan laki-laki seperti Faiz. Ning Anin menghentikan langkahnya dan dia dengan kesal menatap Faiz, “Kamu tidak tahu ya gerak-gerik perempuan yang tidak nyaman sama kamu ya?” tanya Ning Anin dengan kesal. “Oh ya, emang ada yang gak nyaman di deket gue?” tanya Faiz. Ning Anin geram sekali mendengar jawaban dari Fais, dia tentu merasa kesal karena Faiz begitu menyebalkan, “Ada! Saya, saya tidak nyaman di dekat kamu!” kata Ning Anin. Faiz tersenyum sambil menatap Ning Anin, Ning Anin langsung mengalihkan pandangannya ke arah Farha, “Ayo, Farha, kita tinggalkan dia.” kata Ning anin. Farha menganggukkan kepalanya begitu saja. “Eh, mau ke mana? Gue temenin ya?” kata Faiz yang masih tidak mau kalah, dia terus berjalan di sisi Ning Anin. Dari jauh, Minan yang melihat kelakuan Faiz langsung beristighfar, namun sebagai kawan yang baik, dia langsung berlari menghampiri Faiz, dia ingin memberitahukan Faiz kalau Faiz sudah menjadi pusat perhatian semua orang. Itu bukan hal yang bagus mengingat pengurus bisa saja datang dan memberi hukuman kepada Faiz. “Afwan, ukhti, Afwan!” kata Minan yang langsung menarik Faiz. “Apa-apaan lo?” tanya Faiz kesal setengah mati karena aksinya itu diganggu oleh Minan. “Iz, bisa kena takjir kalau kamu begini, itu anak kiyai, Is, anak kyaiii.” kata Minan sambil meringis saat memberitahukannya kepada Faiz. “Ya, emang kenapa? Namanya juga anak muda.” kata Faiz. “Ya, anak mudanya gak kayak gini juga, Iz. Ayolah, jangan bikin gara-gara.” kata Minan. “Udah lo balik aja ke pondok.” kata Faiz. Pada saat Minan dan Faiz sedang berdebat, Ning Anin langsung memberikan kode kepada Farha untuk berjalan lebih cepat. Farha yang menangkap sinyal itu langsung mengangguk. Dan pada akhirnya, Ning Anin dan Faiz langsung bisa menjauh dari Faiz, laki-laki yang menurut Ning Anin adalah orang yang laing menyebalkan sedunia, bahkan sejagat raya. “Hahahaha…” Ning Anin menutup mulutnya sendiri ketika mereka berhasil kabur dari Faiz. Farha di tempatnya pun ikut tertawa. “Coba kita liat, Ning.” kata Farha. Farha mengajak Ning Anin untuk mengintip sedikit, dan benar saja, di sana Faiz terlihat celigukan mencari keberadaannya, hal itu membuat Ning Anin terkekeh lagi. “Dasar laki-laki menyebalkan.” kata Ning Anin. “Tapi dia berani loh, Ning. Kayaknya, dibanding semua laki-laki, dia paling pemberani.” kata Farha. Ning Anin pun menggelengkan kepalanya, “Dia itu anak Jakarta, kehidupannya memang seperti ini kan? Bukannya itu yang kamu kasih tau ke aku?” tanya Ning Anin. Farha pun mengusap kepalanya yang tidak gatal, dia memang mengatakannya. “Yuk, kita lanjutkan.” kata Ning Anin. Kemudian mereka berdua pun langsung melanjutkan perjalanan menuju ke toko mukena yang mereka tuju, toko itu tidak hanya menjual mukena saja melainkan menjual pakaian juga dan juga peralatan santri. “Ning, gimana sama Mas Akbar? Kita jadi mau minta tolong Mas Akbar?” tanya Farha. Ning Anin pun langsung teringat kalau dia belum mengobrol dengan Akbar mengenai n****+ itu. “Gimana kalau kamu aja, Farha yang bilang?” tanya Ning Anin. Farha pun langsung menggelengkan kepala, “Ning, kalau aku yang bilang, Mas Akbar pasti laporin aku ke pengurus, Ning. Kalau Ning Anin yang bilangkan enggak, dia akan nurut, Ning.” kata Farha. “Kenapa seperti itu?” tanya Ning Anin. “Dia kan suka sama kamu, Ning.” kata Farha. “Hus, jangan fitnah kamu …” kata Ning Anin. “Itu kenyataan, Ning, dari bagaimana cara dia natap kamu dan baik banget sama kamu aja udah keliatan.” kata Farha. Ning Anin pun menggelengkan kepalanya, “Dia memang baik kepada semua orang.” kata Ning Anin. Farha yang mendengar apa yang diaktakan oleh Ning Anin pun langsung nyengir lebar, Ning Anin yang melihat Farha pun merasa anehdengan Farha, “Kenapa?” tanya Ning Anin. Farha pun langsung menatap Ning Anin dengan tatapan menggoda, “Jangan bilang kamu juga suka sama Mas Akbar, Ning.” kata Farha. “Husss… tidak, aku tidak suka dengan dia, seperti yang kamu pikirkan.” kata Ning Anin. “Ah, bohong …, oh apa kamu suka dengan Faiz, Ning?” tanya Farha. “Ah, kita harus panggil dia Mas Faiz juga ya karena sepertinya dia lebih tua dari pada kita.” sambungnya. “Farha, kamu jangan begituuu.” kata Ning Anin. Farha pun langsung terkekeh begitu saja. Kemudian mulai memilih mukena. Ning Anin pun langsung mengerucutkan bibirnya sebentar karena digoda oleh temannya itu. “Ini bagus nggak, Ning?” tanya Farha. Ning Anin melihat mukna yang dipegang Farha, “Bagus, tapi sepertinya untuk kamu lebih bagus yang ini.” saran Ning Anin.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN