Anindya Athaya Zahran. (Ning Anin)
Ning Anin tidak mengetahui mengapa laki-laki menyebalkan yang bernama Faiz itu bisa datang menghampirinya, karena dia memang awalnya sudah memastikan kalau di tempat dia membaca n****+ itu tidak ada orang. Sehingga dia berani berada di sana.
Ning Anin kini bolak balik di depan kamarnya, bagaimana bisa hal ini terjadi kepadanya, hal yang paling ditakutkannya adalah n****+ itu akan jatuh ke tangan abahnya. Kalau sampai itu terjadi, dia tentu akan mempermalukan abahnya.
Bagaimana tidak? Abah membuat peraturan yang tidak boleh membaca n****+ selama di pesantren, justru anaknya sendiri yang membacanya.
“Duih, aku harus gimana?” tanya Ning Anin sambil memijit pelipisnya.
“Loh, Ning. Kamu kok masih di rumah, bukannya ada acara ke podok sebelah?” tanya Farha yang datang ke rumah Ning Anin.
Farha adalah salah satu abdi ndalem rumah abah kyai sehingga dia sering kali keluar masuk rumah kyai untuk keperluan dapur. Farha suka memasak, hal itu membuat Farha tidak keberatan sama sekali ketika dia diminta untuk memasak untuk keluarga kyainya.
Bagi Farha, bisa berbakti dan membuatkan sesuatu untuk keluarga kyainya adalah bentuk pegabdiannya dan bentuk penghormatannya, dan dia menyukai hal tersebut, pun sama santri-santri yang merupoakan abdi ndalem yang lainnya, mereka juga berpikiran hal yang sama dnegan Farha.
“Duh, Farha, ini gawat.” kata Ning Anin.
Farha yang melihat bagaimana raut wajah Ning Anin terdiam sebentar, mencoba berpikir mengenai apa yang terjadi, “Apa yang terjadi?” tanya Farha.
Ning anin hendak mengatakan sesuatu namun tiba-tiba ucapannya dipotong oleh seseorang.
“Ning, maaf, disuruh makan sama Umi. Katanya Ning belum makan siang.” kata seorang snatri yang juga badi ndalem juga.
Ning Anin pun tersenyum dan menganggukkan kepalanya begitu saja, “Oh, iya, terima kasih ya. Aku anti malakan.” kata Ning Anin.
“Kalau begitu permisi, Ning.” kata perempuan itu.
Kemudian, Ning Anin pun langsung mengusap wajahnya, hampir saja dia mengatakan apa yang terjadi, dia takut ada santri yang mendengar mengenai n****+ itu.
“Ikut aku, Farha.” kata Ning Anin.
“Ning, kan Ning diminta untuk makan sama Umi jadi mending Ning makan dulu.” kata Farha.
Ning Anin kembali menghela napas, benar juga, dia sudah diminta untuk makan, dia memang lupa makan siang karena keasyikan membaca n****+ tadi.
“Yaudah, tapi kamu ikut makan ya?” kata Ning Anin.
“Eh, nggak usah, Ning. Aku udah makan jatah santri di pondok.” kata Farga.
“Udah, kamu harus makan lagi.” kata Ning Anin.
Farha pun menganggukkan kepalanya begitu saja, sebetulnya bagi Farha, dia memang suka ekali lapar, dan dia juga tahu kalau makanan yang akan terjhidang di atas meja makan milik Ning Anin sangatlah membuatnya lapar, dia tidak tahu mengapa itu sangat menyelerakan. Namun, ya … mau bagaimana lagi, dia jadi tertarik juga.
Ning Anin duduk di atas tempet duduk di atas meja makan, lalu dia pu langsung mengambil nasi lalu menyerahkannya kepada Farha, “Eh, nggak usah, Ning. Biar aku ambil sendiri aja, lagian aku nggak enak.” kata Farha yang langsung menolaknya, dia tentulah tahu batasan kalau Ning Anin adalah anak kyainya yang sangat harus dia hormati juga. Dia tidak bisa membiarkan Ning Anin Melayaninya.
Ning Anin menggelengkan kepalanya, dia tahu kalau sebenanrya FArha masih menginginkan makanan yang aa di harapannya, dan dia juga tahu kalau dia membiarkan Farha mengambil nasi sendiri, Farha akan emngambil nasi yang sangat sedikirt.
“Sudah tidak apa-apa, Farha. Makan saja.” kata Ning Anin.
Ning Anin kemudian mengambilkan nasi untuk diirnya sendiri. Kemudian, mereka berdua berdoa dan langsung makan makanan yang ada di depannya.
Seuai makan siang dan membereskan peralatan makan, Ning Anin mengajak Farha untuk keluar, dia akan mengatakan kepad aFarha mengenai apa yang terjadi.
“Sebenernay ada apa, Ning?” tanya Farha yang lama-lama pennasaran juga.
“Begini, Farha. Aku mau minta maaf sama kamu sebelumnya.” kata Ning Anin.
“Minta maaf untuk apa?” tanya Farha.
“Iya, aku minta maaf karena n****+ punya kamu ada di laki-laki itu.”kata Ning Anin dengan perasaan penuh dengan penyesalan.
Dia memang mengutuki laki-laki itu karena harus datang menghampirinya.
“Laki-laki itu?” tanya Farha.
“Iya, laki-laki yang mengajakku berkenalan.” kata Ning Anin.
“Ah, santri baru?” tanya Farha.
Ning Anin pun langsung menganggukkan kepalanya begitu saja, memang snatri baru itu yang kini memgang n****+ itu.
“Kenapa bisa?” tanya Farha yang bingung dnegan apa yang terjadi. Maksudnya, pondok putri dengan putra itu dipisah, Ning Anin tentu tidak akan mungkin berada di pondok pesantren putra, karena Ning Anin tidak akan melakukannya.
“Iya, jadi kemarin aku membaca nobel itu di belakang rumah lalu dia datang, aku tidak tahu kenapa dia bisa tiba-tiba dtang begitu saja.” kata Ning Anin.
Farha terdiam sebentar, “Trus dia merebut n****+ itu dari kamu?” tanya Farha.
Ning Anin langsung menggelengkan kepalanya begitu sjaa, “Lalu?” tanya Farha.
Ning Anin sedikit rgau menceirtaka kalau dirinya lah yang meninggalkan laki-laki itu dan tak sengaja mennggalkan n****+ itu, “Aku kemarin panik, jadi aku langsung lari masuk ke dlaam meninggalkannya yang begitu menyeramkan, dan aku lupa membawa n****+ itu. Aku benar-beanar minta maaf, nanti, aku akan meminta n****+ itu lagi.” kata Ning Anin menyesal.
Farha pun tersneyum kepada Ning Anin, “Yaudah, Ning, tidak apa-apa. Biarkan saja, tidak perlu dipikirkan lagi, biarkan saja.” kata Farha.
“Bagaimana tidak akau pikirkna, Farha, di dalam nvel itu ada namamu, nama panjang, kalau ada pemeriksaan pondok, kamu tentu akan kena.” kata Ning Anin.
“Astaghfirullah al-adzim!” pekik Farha, dia baru ingat, “Aku baru ingat itu, Ning! Aduh, bagaimana ini? Lalu apa yang harus kita lakukan?” tanya Farha. Kali ini Farha terlihat begitu panik, bagaimaa tidak? Tamatlah riwayatnya kalau sampai n****+ itu diketahui banyak orang.
“Mau tidak mau aku harus memintanya kembali.” kata Ning Anin lesu.
Memabayangkan bertemu dengan FAiz saja membuat dirinya tidak selera, apa lagi harus mengajaknya mengobrol. Sungguh, Ning Anin sangat tidak ingin membayangkannya.
Farha menganggukkan kepalanya setuju, “Baik, Ning. Aku akan menemani Ning.” kata Farha.
“TApi aku malas sekali bertemu dnegan laki-laki aneh itu. Wajahnya menunjukkan kalau dia bukan laki-laki baik. Dia bahkan …” kata Ning Anin. Dia tidak langsung menjelaskan mengenai apa yang terjadi.
“Bahkan?” tanya Farha.
Ning Anin mulai ragu menceritakan hal ini, jadi dia pun langsung menggelangkan kepalanya begitu saja.
“Gimana kalau kita minta tolong sama Mas Akbar?” kata Farha memberikan usul.
“Kok Mas Akbar?” tanya Ning Anin.
“Mas Akbar kan suka sama Ning, dia juga baik, aku yakin kalau dia pasti mau bantu.” kata Farha.
Ning Anin terdiam sebentar, “Apa kamu yakin?”