Part 5

1921 Kata
"Ini semua karenamu!" seru Meisa kesal ke arah Arsyad. Arsyad hanya balas dengan cengiran lebarnya. Lia bangun dari tidurnya dan sekarang ia beserta ke-tiga kakaknya ada di meja makan, mereka akan makan siang. "Lia ingin makan apa, hm?" tanya Meisa lembut. "Kakak, apakah ada gado-gado di sini?" tanya Lia ke arah Meisa. "Ah jadi ternyata Lia ingin makan itu," batin Meisa menyimpulkan. Meisa tersenyum manis ke arah adiknya. "Bi inem, Lia ingin makan gado-gado, tolong buatkan, yah?" ucap Meisa dengan volume suara tinggi ke arah dapur. Terdengar sahutan dari sang empunya nama. Arya dan Arsyad sibuk memandangi wajah imut Lia. "Dia sangat manis," bisik Arya. "Dan imut," timpal Arsyad. "Owh, pipinya tembem sekali," sambung Arya. "Juga mungil," timpal Arsyad. "Jangan terlalu memandangi adikku seperti itu nanti mata kalian akan jatuh dari tempatnya!" seru Meisa. Arya dan Arsyad kelagapan. "Hei, Lia juga adik kami," sahut Arya jengkel. Meisa hanya menaikan kedua bahunya. Ukuran tubuh Lia memang kecil, tingginya saja hanya 155 cm, postur tubuhnya juga sesuai dengan tinggi badannya, kulitnya putih, rambutnya lurus sampai pinggang, apalagi hidung mancungnya jika dipadukan dengan mata coklat terangnya. Sungguh manis sekali Lia. Berbeda dengan kakak perempuannya yang memiliki tinggi badan ideal seperti model-model yang terkenal lainnya. Tak berapa lama kemudian Inem, si tukang masak datang membawa nampan berisi makanan yang akan di makan oleh nona-nya. "Ini non gado-gadonya," ucap Inem. "Terima kasih, bi Inem." Ucap Lia. "Sama-sama, Non." Sahut Inem sambil tersenyum. Kembali berjalan ke dapur dan melanjutkan tugasnya. Mereka asik makan makanan siang mereka tanpa menyadari bahwa Attala sedang memperhatikan mereka bersama Vania. "Lia, punya abang enak, mau coba?" tawar Arya. Lia menggeleng. Arya cemberut, Arsyad tersenyum mengejek. "Lia, kalau makanan ini lezat, coba yah?" tawar Arsyad. Lia menggeleng lagi. Kini giliran Arsyad yang cemberut dan Arya tersenyum mengejek. "Nanti kalau Lia makan makanannya abang, nanti abang makan apa?" tanya Lia polos menatap teduh ke arah kakak-kakaknya. Seketika semangat mereka kembali, sepertinya Lia bukan tidak ingin mencoba makanan mereka, tapi takut jika mereka tak makan, sekarang mereka mengerti maksud Lia. "Oh, tentu saja kita makan bersama, mau kan?" usul Arya. Lia berpikir sebentar lalu ia menggangguk. Arya dan kedua saudaranya berseru senang. "Yes!" seru mereka bertiga. "Yang ini enak," ucap Arsyad sambil menyuapi Lia makanannya. "Punya kakak lebih enak aaaa...." Arya tak mau kalah, ia bahkan menyerobot suapan dari Arsyad. Untung saja suapan Arsyad sudah masuk ke mulut adiknya, kalau tidak bisa dipastikan mereka pasti akan saling mencibir. Meisa tak mau kalah, ia juga menawarkan makanannya pada adiknya. "Wah, makan bagi-bagi dong!" seru Pasha tiba-tiba. Semua mata menoleh ke arah datang Pasha. "Ayo!" sahut Lia. Mereka makan siang bersama Lia dalam suka dan bahagia. Pasha dan Attala memutuskan untuk makan siang di rumah saja, karena ada Lia di sana, sangat jarang Lia ada di rumah, biasanya jam-jam seperti ini Lia akan mencakar tempat sampah yang di singgahinya dan makan di pinggir tempat sampah itu. Meskipun hari libur mereka susah sekali menemui Lia di siang-siang hari. Lia dan keluarganya sudah selesai makan, sekarang Lia sedang melanjutkan acara tidur siangnya, Pasha dan Attala juga sudah kembali ke kantor. Arya dan kedua saudaranya sedang asik berbaring di atas tempat tidur Lia sambil memandangi wajah damai Lia yang sedang tertidur. Meisa di sisi kiri Lia, Arya di sisi kanan Lia, sedangkan Arsyad mengambil posisi di bawah kaki Lia, sedari tadi ia hanya mengelus-ngelus betis dan kaki adiknya itu sambil mencium bekas parfum yang tercium dari lotion Lia. "Seperti bayi, sangat harum," gumam Asryad. Meisa baru saja menutup matanya dan tertidur, tangannya memeluk lengan adiknya. Sedangkan Arya mengusap-ngusap ubun-ubun adiknya. ................................ Ini hari sabtu, akhir pekan dan tidak ada aktivitas kantor. Waktu makan siang bersama Lia sudah berlalu dua hari yang lalu. Ini siang hari, seperti biasa Lia pergi mengelilingi kota Jakarta dan menjarah setiap tempat sampah yang dilaluinya. Agri mengendarai mobil mahalnya, hari ini ia akan pergi makan siang bersama salah satu kolega bisnisnya. Beberapa menit kemudian Agri sampai di tempat tujuan. "Ah, Tuan Nabhan anda sudah datang rupanya, mari duduk!" seru rekan bisnis Agri. Agri duduk berhadapan dengan rekan bisnisnya ini. Edwin Calin adalah lelaki paruh baya yang berusia 58 tahun, ia merupakan seorang pengusaha yang bergerak di bidang perhotelan, Edwin sendiri mempunya seorang putra yang berusia sama dengan Agri, Odwin Kyros Calin putranya itu juga merupakan teman baik Agri dari mereka SMA. Di samping tuan Calin senior, duduk manis seorang gadis yang berusia 24 tahun, Calista Calin, putri bungsu Edwin Calin. Di samping kiri Calista duduk seorang lelaki sebaya dengan Agri, Odwin. "Lama tak bertemu sob!" seru Odwin. Agri hanya manarik salah satu sudut bibirnya membentuk senyum datar. "Masih sama, dingin." Batin Odwin. "Baiklah mari kita mulai makan siangnya," ucap Edwin lalu di angguki oleh Agri dan yang lainnya. Mereka larut dalam makan siang mereka, sesekali tuan Edwin akan bercakap-cakap tentang bisnis dan di timpali oleh Agri dan Odwin seadanya. Sedari tadi juga, pandangan Calista tak beralih dari wajah tampan Agri. Sesekali ia akan tersenyum manis mencoba menarik perhatian lelaki itu. Agri tak mengubris ia hanya menikmati makan siangnya saja. "Ehm...tuan Nabhan ini putri saya, namanya Calista, Calista ini salah satu kolega bisnis ayah, ia juga teman kakakmu," ucap Edwin memperkenalkan putrinya pada Agri. Agri hanya mengangguk sekilas lalu kembali melanjutkan makannya, sedangkan Calista senyum-senyum manis. Tak mendapat respon dari sang target Calista hanya tersenyum menahan kesalnya. "Sial." Umpat Calista. Odwin tahu maksud dari ekspresi adiknya, dalam hati ia hanya bisa pasrah. ............................... Setelah makan siang yang cukup hening itu, Agri pulang ke kediamannya. Menelurusi jalan raya yang agak lenggang, Agri hendak membelokkan mobilnya di persimpangan jalan, keningnya berkerut melihat seorang gadis sedang duduk berteduh di pinggir tempat sampah yang ada pohonnya. Dipelankan laju mobilnya, berhenti di tepi jalan tepat di depan tempat sampah yang dilihatnya tadi. Lia sedang duduk sambil memeluk lututnya sambil sesekali menguap lebar. Pandangannya tak lepas dari Lia, dilihatnya di sekeliling tempat itu, orang-orang berlalu lalang dan tak peduli dengan Lia yang menurut mereka hanya seorang pengemis atau orang jalanan. Lalu ada beberapa pemulung dan pengemis berjarak beberapa meter darinya. Agri tak menyadari jika pengmis dan pemulung itu adalah pengemis dan pemulung gadungan, mereka adalah bodyguard Lia yang menyamar. Keluar dari mobil mewahnya dan menghampiri gadis yang hampir tertidur itu. Para pengemis dan pemulung gadungan tersebut waspada, pasalnya yang mereka lihat sekarang ini adalah orang yang berbahaya. Masing-masing dari mereka pasang pendengaran, siaga dan kesiapan tubuh mereka, pikir mereka jika ada apa-apa dengan nona mereka, mereka langsung bertindak. Agri mendekat ke arah Lia yang sedang terkantuk-kantuk di pinggir tempat sampah, tangannya menyumbat penciumannya karena terganggu dengan bau sampah yang menusuk indera penciuman. Agri menoel-noel kaki Lia menggunakan sepatu yang ia pakai. Para bodyguard Lia yang menyamar melotot maksimal, Agri menoleh ke arah seorang pemulung yang berpakaian sobek-sobek yang memandanginya dengan melototkan matanya, pandangan tajam dan dingin Agri bertemu dengannya, cepat-cepat bodyguard itu mengalihkan tatapannya ke arah tempat sampah yang kini di sampingnya. Agri menaikan bahunya acuh, ia kembali menendang-nendang pelan kaki Lia. Tak ada respon, si gadis itu sudah tertidur pulas bersandar di pinggir tempat sampah. "Apa dia tidur disini setiap hari?" batin Agri penasaran. "Ah apa peduliku? Dia hanya gadis jalanan, yah benar," batin Agri. Agri melangkahkan kakinya masuk ke dalam mobilnya lalu mengendarainya kembali pulang. ................................ Ini sore hari Agri baru saja mendapat kabar bahwa neneknya dari Semarang akan berkunjung ke Jakarta. Agri tak memiliki kedua orang tua lagi sejak dia SMP, ayah dan ibunya meninggal saat bersamaan, diduga karena diracuni oleh salah satu rekan bisnis mereka yang ternyata iri dengan keberhasilan ayahnya, saat ayah dan ibu Agri pergi melakukan perjalanan bisnis. Agri sendiri anak tunggal, ia hanya memiliki beberapa sepupu dari ibu dan ayahnya. Salah satu sepupu dari ibunya yang sebaya dengannya adalah Farrell Jovian, dan saudara sepupu perempuannya yang sebaya dari ayahnya adalah Nakheisa Sabina Nabhan, yang saat ini bekerja juga di perusahaannya. "Jery, nanti malam jam delapan pesawat nenekku akan mendarat, kau jemput nenekku, aku akan beristirahat," pinta Agri. Jery menyahut lalu membungkukkan kepalanya. Agri masuk ke dalam kamarnya, lalu berbaring. Dilihatnya acara gosip yang di tayankan di tv, memperlihatkan seorang model terkenal yang sedang panas-panasnya menjadi topik pembicaraan. "Visti Anita Moreina model cantik yang selalu tampil seksi itu kini sangat terkenal, berita baru menyebar bahwa ia baru saja putus dari kekasihnya yang seorang pengusaha terkenal, sekarang ia menyatakan bahwa dirinya single," ucap seorang presenter di tv. Agri tersenyum sinis. Visti adalah salah satu mantan pacarnya dulu, ia menerima ajakan pacaran dari Visti karena tak enak hati pada sahabatnya Advaya karena Visti merupakan sepupu Advaya, Visti selalu mengejar-ngejarnya. Setelah dua bulan mereka pacaran, Agri yang memutuskan hubungan mereka, karena Visti sibuk dengan dunia permodelannya, Agri juga pernah menyuruh salah satu bawahannya agar membakar gedung pemotretan yang akan di pakai Visti dan Meisa untuk acara pemotretan itu. Tentu saja tak ada yang mengetahuinya kecuali hanya segelintir orang yang punya kuasa dan koneksi yang kuat, salah satunya Pasha, Pasha melakukan penyelidikan diam-diam karena saat kejadian, adiknya juga ada di tempat. Tak ada bukti memang, tapi tentu saja meski tak ada bukti nyata, Pasha tahu itu. Visti saat itu ketahuan tidur dengan salah satu pengusaha terkenal yang mensponsorinya, dan pada saat itu Visti masih berhubungan dengan Agri. Visti memiliki kepribadian yang elegan, sinis, dan mudah menganggap remeh orang lain. Ia bosan berhubungan dengan Agri, karena Agri selalu datar dan dingin padanya. Agri menganggap bahwa Visti tak ada. "Dasar jalang," gumam Agri. Lalu ia mematikan siaran tv dan beristirahat. ............................... Hari sudah malam, ini sudah hampir jam sembilan malam, sebuah taksi berhenti di tepi trotoar. Rupanya ban taksi itu bocor, jadi mau tak mau penumpang yang berada di di dalam taksi itu turun. Tampak seorang nenek yang berusia akhir tujuh puluhan turun dari taksi itu. "Kenapa bannya bisa bocor? Apakah kau tidak memeriksanya dulu?" tanya nenek yang berusia hampir delapan puluh tahun itu. "Maaf nek, saya tadi kurang teliti, nanti saya akan menghentikan taksi yang lain lalu nenek naik saja," ucap sopir taksi. Sang nenek hanya mengangguk. Lama mereka menunggu tapi taksi yang selalu mereka dapatkan penuh dan ada penumpangnya. Kryukk Kryukk Suara bunyi yang berasal perut sang nenek. "Rupanya aku sudah lapar," gumam nenek itu. Lama mereka menunggu taksi yang lain, tapi masih sama hasilnya, sang nenek itu sudah lapar, ini sudah jam sembilan malam dan sang nenek itu belum makan, terakhir ia makan tadi siang. Lia melewati jalan trotoar yang di singgahi oleh nenek itu. Dilihatnya nenek tersebut memegang perutnya karena kelaparan, sesekali suara-suara sahutan cacing berbunyi dan bernyanyi minta makanan. Kening Lia berkerut memperhatikan nenek yang disampingnya ini. "Permisi, wahai nenek kenapa kau memegang perutmu seperti itu? Apakah perutmu sakit?" tanya Lia teduh. Sang nenek berbalik dan melihat Lia, Lia sedang membawa sebuah bungkusan kecil di tangannya. "Ah, sebenarnya aku lapar dari tadi, aku hanya makan siang, dan ini sudah lewat jam makan malam," jawab sang nenek. Lia hanya manggut-manggut. Kemudian ia seperti berpikir keras, terlihat dari keningnya yang menyerupai gelombang. Setelah selesai berpikir, Lia menyodorkan bingkisan yang ia pagang ke arah sang nenek. "Apa ini, cucu?" tanya nenek itu. "Makanlah wahai nenek, kau pasti lapar!" pinta Lia mengabaikan pertanyaan sang nenek. Sang nenek berpikir sebentar, tak apalah pikirnya, ini kan sudah lewat jam makan malam, dan ia juga sangat lapar, jadi pada akhirnya nenek tersebut mengambil makanan yang di berikan Lia. Sesaat sang nenek bingung entah mau duduk dimana. "Ada apa nenek?" tanya Lia teduh. "Ah, aku sedang mencari tempat duduk," jawab sang nenek. "Ayo duduk disini saja!" ajak Lia. Ia dan sang nenek duduk di pinggir trotoar jalan, sang nenek mulai membuka bungkusan makanan itu. Matanya berbinar-binar lalu tanpa hitungan sang nenek langsung memakan makanan itu. Beberapa saat setelah sang nenek selesai makan makanan yang di berikan Lia. "Terima kasih cucu kau sudah berbaik hati memberikanku makanan," ucap sang nenek. Lia mengangguk dan tersenyum lebar. "Sama-sama, nenek." Sahut Lia. "Dari mana kau mendapatkan makanan enak seperti itu?" tanya sang nenek. "Di tempat sampah belakang restoran yang sudah beberapa hari ini menjadi wilayah jarahanku, Nek." Jawab Lia polos. Sang nenek manggut-manggut tanda mengerti. "Oh rupanya tempat sam--APA?!" kaget sang nenek. Lia hanya memandangi sang nenek dengan ekspresi teduh. Sang nenek tersebut ingin sekali memuntahkan makanan yang beberapa menit lalu sudah di makannya habis. "Huek huek heuk!" usaha sang nenek untuk memuntahkan makanan tadi. "Nenek sedang apa?" tanya Lia polos. Sang nenek menoleh ke arah Lia dan kelagapan. "Sedang batuk, Cu." Jawab sang nenek. "Oh...sekarang sudah ada gaya batuk baru yah?" tanya Lia sambil manggut-manggut. Sang nenek hanya tersenyum masam. .........................
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN