Part 7

1460 Kata
Lia sedang duduk di sofa dalam ruang kerja Advaya. Advaya sedang sibuk dengan laporan yang di periksanya, ini memang hari minggu, tapi kewajibannya sebagai dokter harus menuntutnya bekerja maksimal untuk menyelamatkan banyak nyawa. Lia sedang memainkan vas bunga, jari telunjukknya ia masukkan ke dalam vas bunga mungil itu, sesekali ia akan tersenyum dan menghirup wangi bunga plastik itu. Advaya melirik ke arah Lia yang sedang asik tersenyum di depan bunga itu, sudut bibirnya terangkat membuat senyuman. "Sangat mungil," batin Advaya. "Wahai tuan baik hati, kenapa bunga ini jika kupetik tak bisa? Susah sekali memetiknya," tanya Lia teduh. Advaya tersenyum. "Bunga itu memang tidak bisa di petik Lia, karena itu bunga plasik." Jawab Advaya tenang. Lia manggut-manggut. "Oh, jadi semua bunga yang ada di dalam rumahku adalah bunga plastik, yah." Gumam Lia sambil manggut-manggut. Advaya hanya menggeleng-gelengkan kepalanya saja. Advaya berpikir mungkin saja Lia memungut bunga di tempat sampah lalu di bawanya ke rumah. Setelah puas bermain dengan bunga plastik tersebut, Lia mulai menguap. Mungkin ia sudah bosan, ia bersandar di sofa dan perlahan kantuk menyerangnya. Meisa dan Arya ada di luar ruang kerja Advaya. "Apa yang mereka lakukan didalam sana?" tanya Arya tak sabar. Ia takut jika dokter muda itu berbuat yang aneh-aneh pada adiknya. Pikirannya mulai melayang ke arah negatif-negatif. Seandainya Advaya menyuruh Lia untuk membuka bajunya, lalu beralih ke arah rok panjang lebar yang dipakai adiknya, lalu seluruh pakaian dalam adiknya, dan Advaya menyuruh Lia mendekat ke arahnya tanpa pakaian, lalu.... "Tidak!" teriak Arya kencang. "Astaga...!" Meisa terkaget. "Apa yang kau lakukan? Kita bisa ketahuan bodoh." Cibir Meisa kesal ke arah adiknya. "Kak, ayo masuk! Jangan sampai Lia di apa-apakan oleh lelaki itu, kau dengar sendiri kan tidak terdengar suara Lia lagi!" ucap Arya panik. Meisa juga ikut-ikutan panik. Ceklek Bunyi pintu ruangan Advaya di buka, muncul sang empunya. Meisa dan Arya berjinggat kaget dan kelagapan. "Maaf, ada apa?" tanya Advaya. Meisa dan Arya menunduk lalu Meisa mencuri-curi pandang ke dalam ruangan Advaya yang didalamnya ada Lia sedang tertidur, matanya melotot maksimal. "Astaga, benar kata Arya, lelaki ini bahkan sudah bertindak duluan, ia sudah menidurkan adikku," batin Meisa menyimpulkan. "Ah, dokter aaduuhhhh...." Meisa pura-pura meringis kesakitan. Advaya terkecoh. "Nona, ada apa? Apakah ada yang sakit?" tanya Advaya siaga. "Aduhh! perutku sakit...." Jawab Meisa pura-pura sakit. Advaya percaya-percaya saja. "Mari ikut saya ke ruang pemeriksaan," ucap Advaya. Lalu Meisa dan Advaya pergi ke ruang pemeriksaan. Sementara Arya diam-diam masuk ke dalam ruang kerja Advaya. "Itu kan, aku bilang apa, si lelaki itu ingin berbuat yang aneh-aneh pada adikku," cibir Arya. Arya menggendong adiknya keluar dari ruang kerja Advaya. Sampai di luar rumah sakit, sudah ada beberapa bodyguard yang menunggu mereka. Lia dimasukan ke dalam mobil itu. Sekarang keadaan aman menurut Arya. "Beres, kita pergi!" ucap Arya. Tono mengerutkan keningnya. "Tuan muda, bukankah nona besar masih ada di dalam?" tanya Tono. Arya baru ingat. "Iya, kita tunggu saja kakakku disini," ucap Arya. Para bodyguard mengangguk. Sedangkan di dalam ruang pemeriksaan, Meisa masih pura-pura sakit. Advaya mengambil steteskop dan alat kesehatan lainnya. "Saya akan memeriksa anda--" belum selesai ucapan Advaya, Meisa memotong. "Ah dokter, sepertinya saya sudah tidak apa-apa lagi," potong Meisa. Advaya dan sang suster mengerutkan kening mereka bingung. "Tapi tadi anda--" lagi-lagi ucapan Advaya terputus. "Ah, saya sudah baikan, terima kasih dokter, silahkan lanjutkan pekerjaan anda, maaf tadi penyakit saya kambuh." Sela Meisa cepat. Sang suster dan Advaya mengangguk dan terheran-heran. Meisa hendak keluar dari ruangan itu, ketika ia akan berdiri dan melangkahkan kakinya, tak sengaja bajunya tersangkut alhasil ia jatuh tiarap di lantai. Buk Suara Meisa terjatuh. "Aduh...!" ringisan kesakitan Meisa. "Ah, apakah anda tidak apa-apa?" tanya Advaya. Meisa berdiri dibantu sang suster dan mengangguk. "Saya tidak apa-apa, terima kasih." Jawab Meisa. Sang suster mengangguk lalu melongo melihat wajah Meisa. Meisa tak sadar bahwa kacamata dan topi yang ia kenakan terjatuh. "Hah?! Anda kan model terkenal itu," ucap sang suster sambil menunjuk wajah Meisa. Meisa melotot, ia meraba topi yang dikenakannya tapi tak ada, lalu kacamatanya juga hilang. "Bu--bukan, saya bukan model rerkenal itu," ucap Meisa kelagapan. Sang suster tidak percaya. "Iya benar, anda model terkenal itu, Meisa Farikin!" seru sang suster heboh. Advaya mengerutkan keningnya. "Maaf, kau salah orang permisi." Ucap Meisa lalu cepat-cepat ia pergi keluar dari ruang pemeriksaan tanpa mengambil topi dan kacamatanya. "Hei nona! aku ingin minta tanda tanganmu!" ucap sang suster sambil berlari mengejar Meisa. Meisa meleset jauh keluar dari rumah sakit dan masuk ke dalam mobil yang di supiri oleh salah satu bodyguardnya. Ia masuk dengan cepat-cepat. "Kak--" ucapan Arya terputus. "Cepat jalankan mobilnya!" seru Meisa. Ian menjalankan mobil lalu mereka berlalu dari rumah sakit itu. "Kakak, ada apa? Kenapa kau keringatan begitu?" tanya Arya penasaran. "Aku ketahuan, astaga! Kalau nanti berita tadi muncul di tv atau gosip lainnya bagaimana ini?!" ucap Meisa panik. Arya mengerutkan keningnya. "Kau ketahuan? Berita apa maksud kakak?" tanya Arya. Meisa melirik ke arah bodyguard-bodyguard Lia lalu menatap tajam ke arah mereka satu-satu yang artinya bahwa 'tak ada yang melihatku', seakan mengerti, mereka membalikkan pandangan mereka ke tempat lain. Arya masih menunggu jawaban dari kakaknya. "Tadi aku tak sengaja jatuh tiarap di lantai," bisik Meisa pelan. Arya mengedip-ngedipkan matanya. "Hahahahahahahahah!" tawa Arya pecah. "Kenapa bisa tiarap--akkhh!" ucapan Arya disertai teriakan kesakitan karena cubitan dari Meisa. Semua mata para bodyguard mengarah pada Meisa. "Kalian lihat apa? Perhatikan di depan!" sahut Meisa galak. Pandangan para bodyguard beralih ke arah depan. Lia masih tertidur pulas, entahlah apa yang terjadi padanya hingga ia tak bangun di saat Arya berteriak tertahan. Mungkin ia kelelahan atau yang lainnya. ......................... Advaya berjalan masuk ke arah ruang kerjanya, niatnya ingin membangunkan Lia. Ini sudah hampir tengah hari. Niatnya ia akan membawa Lia ke tempat lain. Berjalan masuk ke arah ruangannya dan melihat ke arah sofa yang tadi di tiduri oleh Lia. Keningnya berkerut karena tak melihat orang yang ia cari. "Lia!" panggil Advaya. Tapi tak ada sahutan dari sang empunya nama. Tak menyerah Advaya memanggil nama Lia lagi. "Lia!" panggil Advaya lagi. Masih sama tak ada sahutan. Advaya berpikir mungkin saja Lia masuk ke dalam kamar mandi. Dia duduk di atas kursi kerjanya sambil menunggu Lia keluar dari dalam kamar mandi. Beberapa menit kemudian Lia belum juga keluar. Advaya sudah tak sabar. Ia berdiri dari kursinya dan menuju arah kamar mandi. "Lia, kau ada di dalam?" tanya Advaya. Tak ada sahutan. Advaya membuka pintu kamar mandinya dan kosong tak ada orang. "Dimana dia?" gumam Advaya. Segera keluar dari ruang kerjanya, kebetulan ada cleaning service yang lewat. "Apa kau melihat seorang gadis yang memakai baju kaos robek di lengan atasnya dan rok hitam kebesaran? Tingginya sampai dadaku," tanya Advaya. Cleaning service itu mengerutkan keningnya. "Kalau tingginya saya kurang yakin, tapi...tadi ada seorang lelaki yang keluar dari ruangan ini sambil menggendong seseorang, kupikir dia sedang sakit," jawab cleaning service itu. Mata Advaya membulat. "Apa!" ......................... Agri melangkahkan kakinya di pinggir kolam renang, rumahnya sungguh besar, ada taman, kebun, dan masih ada banyak lagi bagian-bagian yang terbagi. Ia baru saja akan bersantai di pinggir kolam, duduk di kursi bersandar dan payung besar yang melindunginya dari terik matahari. Neneknya datang menghampiri Agri. "Agri, tak bisakah kau menelpon para cucu-cucuku untuk datang kemari? Disini sepi sekali." Pinta sang nenek. Agri menoleh ke arah neneknya dan menarik napas dan menghembuskannya. "Baiklah, Nek." Sahut Agri. Ia merogoh sakunya dan mengambil ponsel mahalnya. Lalu mendial salah satu kontak. Terdengar nada tersambung. "Hallo, ada apa?" tanya si penerima. "Kheisa, nenek ingin kalian datang di rumah, tadi malam beliau baru saja datang, nanti malam datanglah makan malam bersama om dan tante, bawa juga kedua adikmu," jawab Agri. "Nenek datang? Kenapa tidak bilang dari tadi sih? Ok baiklah, aku akan sampaikan ke papa," ucap Nakheisa. Agri hanya menyahut lalu memutuskan panggilannya. Dewi Sulastri masih mengawasi cucunya ini. "Nek, sudah." Ucap Agri. Sulastri hanya mengangguk lalu berbalik berjalan ke arah dalam rumah. ............................. Jarum jam menunjukan angka satu di siang hari. Lia bangun dari tidurnya. Ia mengerjab-ngerjabkan matanya bingung. "Ini dimana?" tanya Lia bingung. Pasalnya ia sekarang sedang berada di dalam sebuah mobil. Pintu mobil terbuka dan menampakan kakak lelakinya. "Abang!?" seru Lia. "Ah, kau sudah bangun?" tanya Arya. Lia mengangguk. Entahlah apa yang terjadi dengan mata Arya, ia melihat Lia sudah bangun dari tidurnya tapi masih tanya ke arah Lia. Lia hendak bertanya ke arah kakaknya tapi Arya duluan membuka suara. "Lia, kau pasti lapar. Ini abang belikan makan siang untukmu, kita makan sama-sama, yah?" tanya Arya. Lia memandangi bungkusan makanan yang ada di genggaman kakaknya, Lia mengangguk tanda setuju. "Sini aku bukakan bungkusnya, kau duduknya dekat dengan abang," pinta Arya. Lia menuruti, ia menggeser tubuhnya agar lebih dekat dengan kakaknya. "Abang, aku akan makan makanan ini lalu setelah itu akan minum air ini, apakah boleh?" tanya Lia ke arah Arya. Arya mengangguk. "Boleh adikku, ayo!" jawab Arya. Mereka makan siang di dalam mobil itu. Meisa masih ada di restoran, Arya duluan keluar dari restoran setelah pelayan membungkus makanannya, para bodyguard yang menjaga Lia ada di luar mobil. Mereka juga di berikan kesempatan oleh Arya untuk mengisi perut mereka. ......................... Di rumah sakit, Advaya panik karena mengetahui bahwa Lia, gadis yang dibawanya tadi pagi di bawa orang tak di kenal. Ia bahkan keluar masuk ruang keamanan dan CCTV hanya untuk memeriksa siapa orang itu. "Bagaimana?" tanya Advaya ke arah orang yang menjaga CCTV rumah sakit. "Sebelum nona itu di bawa pergi, ada seorang wanita juga yang berbicara dengan lelaki itu," jawab penjaga CCTV. Advaya mengerutkan keningnya bingung. "Wanita?" ulang Advaya. Sang penjaga CCTV mengangguk. "Bolehkah aku lihat?" tanya Advaya. Sang penjaga CCTV mengangguk. "Boleh dokter, ini." Sahut penjaga CCTV . Advaya melihat rekaman yang terjadi beberapa jam yang lalu. Dilihatnya rekaman itu dengan teliti. Dua orang sedang berjalan mengendap-ngendap ke arah ruang kerjanya, Advaya menyipitkan matanya, matanya membulat seketika. "Wanita itu!" ............................
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN