“Kenapa kamu menarikku Hasan?” tanya Dewi dengan wajah penuh tanya.
Setelah menarik Dewi masuk ke dalam rumah, Hasan menatap Dewi lekat. “Kenapa kamu memberitahukan pada Keysa jika telah menjadi seketertarsiku? Aku kan sudah bilang dari awal. Yang menerimamu bekerja dan menjadikanmu seketarisku itu bukan lah aku, tapi Adam ...!”
“Iya, aku tahu. Walau tidak usah dijelaskan olehmu pun aku sadar di mana posisiku. Kamu tidak akan memaafkanku. Apa lagi menerimaku bekerja di dalam perusahaanmu,” kata Dewi dengan wajah tanpa dosanya.
“Lalu, kenapa kamu masih menceritakan hal itu pada Keysa?” tanya Hasan dengan kedua mata mendelik.
“Aku menceritakannya sebelum kamu mengancamku agar tidak menceritakannya pada Keysa,” jawab Dewi. Ia memegangi lengan dan menatap manik mata Hasan lekat. “Kenapa kamu takut? Keysa tidak akan pernah tahu menengenai hubungan kita di masa lalu. Atau pun di masa sekarang ....”
Sejenak terjadi kebisuan. Mereka hanya saling menatap satu sama lainnya untuk sesaat, hingga Hasan tersenyum dan berbicara dengan nada sinis. “Kenapa aku takut, katamu? Tentu saja aku takut. Aku takut kehilangan Keysa ...!” pekik Hasan lirih sambil memegangi rambutnya.
“Bagaimana jika Keysa mengetahui jika anak yang dia rawat adalah anakmu? Bagaimana ...? Kenapa kamu datang setelah sekian lama kamu pergi meninggalkan aku? Saat itu kamu bahkan tidak ingin melihat bayi yang kamu lahirkan? Kamu terobsesei dengan cita-cita dan karier kamu menjadi seorang disainer! Kamu telah menyia-nyiakan Hawa. Kamu wanita yang mencampakkan bayimu. Sedangkan di lain sisi ada wanita yang hampir gila karena kematian bayi yang dilahirkannya. Wanita yang dengan sekuat tenaga mempertahankan anak yang dikandungnya walau semua orang mencelanya ...,” ucap Hasan dengan suara parau.
Dewi menelan ludah. Kedua matanya berkaca-kaca. Hatinya teriris pilu mendengar apa yang diucapakan Hasan. “Ya, memang ... aku wanita yang tidak punya hati. Meninggalkan bayi yang baru aku lahirkan demi cita-citaku. Tapi ternyata benar kan apa yang aku pilih. Lihatlah ... aku sudah menggapai impianku. Karya desainku terkenal hingga sampai ke luar negeri. Dan aku pun bisa membantu bisnismu. Bukankah kita sama ...? Sama-sama terobesesi dengan keinginan kita? Harapan kita ...?”
Hasan terdiam. Entahlah ... ia tidak bisa mengatakan apa-apa lagi. Langkah kakinya hanya bisa mendekati sofa panjang di ruang tamu itu. Hasan duduk di sana karan lututnya terasa lemas. Pikirannya bercampur-campur menjadi satu. Entah kenapa bisa begini, setelah mengenal Adam, justru semua kisah yang ingin dikuburnya kembali muncul. Mmebuatnya gelisah dan ketakutan.
“Hasan ...,” panggil Dewi sambil mendekat dan kemudian bersimpuh duduk di hadapan Hasan.
Hasan menatap Dewi yang memandanginya. Berlutut bak seakan memohon maaf yang paling terdalam.
“Saat itu kita menikah muda. Pernikahan kita pun hanya pernikahan siri. Jadi aku pikir tidak apa jika aku pergi sebentar untuk mengejar impianku. Lalu kembali ....,” kata Dewi melanjutkan kata-katanya.
Lagi-lagi Hasan tersenyum sinis. Senyuman tipis mengambang di wajahnya sekilas. “Semudah itu kamu mengatakan ‘kembali’? Bahkan Hawa menganggap Keysa adalah ibunya. Dan Keysa pun hampir lupa jika Hawa adalah anak orang lain.”
“Kita bisa memulai dari awal Hasan ... aku, kamu dan Hawa,” sahut Dewi dengan kedua mata berbinar penuh harap.
“Tidak.” Hasan menyahut dengan lugas. “Ini bukan sebuah permainan yang sesuka hati kamu mainkan. Aku bertanya dan jawab yang jujur. Aku tahu kamu ke mari di minta Adam kan? Apa yang dia janjikan padamu jika membantunya memisahkan aku dan Keysa?”
Dewi terdiam. Ia terkejut Hasan telah mengetahuinya. Buru-buru Dewi menggelengkan kepalanya. “Tidak ... Adam tidak menyuruhku apa-apa. Kami baru saja berkenalan di sini,” jawabnya berusaha menuntupi kebenarannya.
“Sudahlah, Dewi ... aku tahu. Aku tidak sebodoh itu. Aku bukanlah Hasan yang dulu. Terlalu naif. Aku ingatkan, jika kamu mengatakan pada Adam, aku telah mengetahui dia menyuruhmu menjadi komplotannya untuk memisahkan aku dan Keysa, aku pastikan kamu tidak akan pernah bisa melihat Hawa selamanya. Bahkan dari jarak sepuluh meter. Menjadi tetangga kami, untuk bisa melihat Hawa dari dekat? Tidak akan kubiarkan itu terjadi.”
Dewi menelan ludahnya. Ancaman Hasan membuat tenggorkannya mengering. “Jangan ...,” gumannya lirih.
“Jangan? Kamu takut kan?” tanya Hasan lagi. “Jadi beritahukan aku apa yang sebenarnya terjadi hingga kamu kembali datang ke mari dan meninggalkan kariermu di Kota besar yang telah melambungkan namamu itu?”
Sejenak mereka diam dan saling menatap satu sama lain. Dewi menggit bibirnya pelan. Wajah risaunya mengingatkan Hasan atas kebersamaan mereka yang telah lalu.
“Baiklah ... sebetulnya entah dari mana Adam mengetahui asal usulku dari sini dan aku pernah menjalin hubungan denganmu. Kebetulan memang aku berkerja di bawah naungan perusahaan ayahnya. Tuan Renaldi. Awalnya aku hanya mengikuti arahan dia. Tapi saat aku melihat Hawa, hatiku merasa sakit. Aku merasa bersalah telah meninggalkannya bersamamu,” jawab Dewi dengan sepasang mata berkaca-kaca dan air mata mengantri di ujung pelupuk matanya.
Hasan memejamkan kedua matanya sejenak. Apa yang ia duga ternyata benar.
Dewi merengkuh tangan Hasan dan menggenggamnya erat. Seakan ingin meminta perlindungan di dalam telapak tangan Hasan yang kekar dan nyaman.
“Apa Adam mengetahui jika Hawa adalah anakmu?” tanya Hasan lagi.
Dewi menggelengkan kepalanya. “Tidak. Adam tidak mengetahui apa-apa soal itu. Bahkan ia mengira jika Hawa adalah anaknya.”
“Apa? Jadi Adam mengira anaknya yang dilahirkan Keysa sudah meninggal itu adalah anaknya?” tanya Hasan terkejut.
Dewi menganggukkan kepalanya pelan. Ia ragu memberitahukan semua yang ia tahu pada Hasan.
Hasan menghela nafas panjang. “Baiklah, jika begitu biarkan saja. Jangan sampai Adam mengetahui Hawa adalah anak kita. Dia bisa menceritakan hal itu pada Keysa,” katanya dan kemudian beranjak dari duduk.
Dewi mengikuti gerakan Hasan. Ia pun langsung berdiri dari posisi bersimpuhnya. “Kamu mau ke mana?” tanyanya yang tetap mengikuti langkah Hasan menuju pintu rumah.
“Aku ingin pulang,” jawabnya singkat.
“Jadi kamu ke mari hanya ingin bertanya dan memastikan hal ini?” Dewi terlihat kecewa.
Hasan menganggukkan kepalanya. “Iya, memangnya apa?”
Dewi terdiam sebentar sebelum melanjutkan kata-katanya lagi. “Aku kira kamu sudah menyadari jika masih merindukan aku ....”
Hasan menatap Dewi tepat ke dalam manik matanya yang terasa hangat. Rasa nyaman yang pernah ia rasakan bertahun-tahun yang lalu.
Ya, memang benar. Hasan masih menyimpan rasa cinta yang mendalam dan tidak mungkin hilang dengan mudah pada Dewi. Wanita yang telah memberikannya seorang putri. Pernikahan di bawah tangan di masa-masa sulit.
Pernikahan gagal yang membuat Hasan berubah seratus delapan puluh derajat menjadi pria yang berbeda. Dari pria naif dan sederhana, kini terlalu mengejar ambisi dan kesuksesan. Semua itu ia lakukan agar dunia tidak memandangnya sebelah mata. Membalas dendam akan kehidupan pahitnya di masa lalu.
Dewi menatap Hasan. Ia masih menanti jawaban dari pria yang sebetulnya tidak pernah bisa terhapus dari hatinya. “Kita bisa memulai lagi semuanya dari awal? Bahkan aku rela untuk dijadikan yang kedua. Aku janji Keysa atau pun Adam tidak akan mengetahui hal ini ....”
Bersambung