Mau tidak mau Keysa terpengaruh atas apa yang dikatakan Dewi padanya. Mungkinkah benar Hasan telah menyembunyikan sesuatu darinya? Sejak pagi tadi, hal-hal yang tidak ingin dipikirkan terus merasuk ke dalam kepalanya. Bagaimana jika Hasan mulai berpaling darinya, karena saat menikah Keysa sudah tak gadis lagi? Ketakutan yang sejak awal sudah merasuk di dalam hati, kini tak dapat dihindari. Bahkan semakin mencekik dan membuatnya tak bisa bernafas.
Setelah mengangkat pakaian kering dari jemuran dan menaruhnya di salah satu kamar kosong yang dijadikan ruang laundry, kaki Keysa gontai masuk ke dalam ruang keluarga. Ia duduk di sofa panjang, samping jendela lebar dan besar. Tanaman bunga warna warni terlihat dari sisinya. Bermekaran nampak indah, hingga memikat beberapa kupu-kupu yang berterbangan di atasnya.
Derap kaki menuruni anak-anak tangga terdengar lirih. “Hei, kenapa wajahmu muram?” tanya Hasan membuyarkan lamunan Keysa.
Keysa menoleh dan menatap Hasan yang kini telah berdiri di sampingnya. “Aku hanya sedih,” jawabnya pelan.
“Sedih? Kenapa? Apa aku melakukan kesalahan yang membuatmu muram seperti itu?” tanya Hasan sambil ikut duduk di samping Keysa. Ia terlihat santai sambil mengambil sebuah remote tv dan mengganti chanelnya. “Baru saja aku pulang bekerja dan mandi, kamu udah merengut aja.”
“Aku masih memikirkan kenapa kamu mabuk semalam,” jawab Keysa singkat. Wajahnya tetap datar dan tak lagi ada aura keceriaan di sana.
Hasan menghela nafas panjang. Ia menyandarkan tubuhnya ke sandaran sofa dan menatap Keysa. “Ya ampun Key ... Udah tiga hari berlalu, tapi kamu masih mempermasalahkan soal aku yang mabuk. Maaf ... Aku kan sudah bilang beberapa kali maaf sama kamu. Tapi tetap aja di bahas,” kata Hasan yang mulai risih.
Keysa mengatupkan bibirnya dan menjadi diam. Ia tidak ingin rasa curiga tak berdasar ini membuat hubungannya dan Hasan merenggang.
Hasan mengambil cangkir berisikan kopi hitam yang telah disajikan Keysa padanya dari beberapa menit yang lalu. Menyesapnya perlahan dan merasakan campuran pahit dan manis. Seperti kehidupan yang ia jalani.
Sekilas mata Hasan melirik ke arah Keysa yang masih terlihat muram dan merenung. Tatapannya bahkan menerawang jauh entah ke mana. “Key, kenapa sih ...?” tanyanya lirih, mencoba memahami hati istrinya.
Keysa menoleh dan tersenyum simpul. “Tidak apa-apa. Aku hanya merasa takut akan kehilanganmu,” katanya lirih. “Entah apa jadinya aku tanpamu Hasan. Aku pasti seperti debu yang berterbangan. Tidak penting dan tak berarti.”
Hasan mengehela nafas panjang dan mengusap punggung Keysa. Lalu menariknya ke dalam pelukannya. “Kenapa ...?” tanyanya lirih.
Keysa menyadarkan kepalanya dalam dekapan di dadaa Hasan. Suara detak jantung Hasan terdengar menenangkan. Rasanya nyaman dan tentram.
“Key, apa pun yang terjadi. Kamu harus percaya akan pernikahan kita. Maaf, aku hilang beberapa hari yang lalu dengan mabuk. Aku lupa jika aku bukanlah pria single. Aku memilki istri dan anak. Aku harus menjadi contoh yang baik untuk Hawa,” kata Hasan dengan suara yang amat pelan dan penuh perasaan.
Keysa mendongakkan wajahnya ke atas. Menatap manik mata Hasan yang berwarna hitam pekat dan mengkilat. “Boleh aku bertanya?”
“Tanya apa?”
“Kenapa kamu tidak memberitahukan aku jika Dewi sekarang menjadi sekertaris mu?” tanya Keysa dengan tatapan bergetar. “Beberapa hari ini aku menunggumu bercerita. Tapi kamu tidak kunjung memberitahukannya.” Keysa terlihat bersemangat mempertanyakannya.
Hasan terdiam sebentar. Ia tidak langsung menjawab.
“Kenapa?” tanya Keysa lagi.
“Maaf, aku lupa. Sebetulnya aku ingin menceritakannya. Tapi karena kesibukan tentang barang yang akan dikirimkan ke Belanda membuatku sibuk dan lupa,” jawab Hasan sambil tertawa. “Aku kira apa. Ini hanya masalah sepele kan.”
Keysa menaikan kedua alisnya ke atas. Baginya hal ini bukanlah masalah sepele. Ia tidak suka ada sesuatu hal yang dirahasiakan. Apa lagi mengenai sekertaris pribadi yang akan selalu bekerja dekat dengan suaminya.
Hasan menghentikan tawa renyahnya, ketika melihat Keysa masih berwajah muram. Jantungnya pun berdegup lebih kencang. Sebetulnya Hasan memang menyembunyikan tentang Dewi yang kini telah menjadi sekertarisnya.
“Memang kenapa sih jika Dewi menjadi sekertarisku? Apa hal itu membuatmu tidak nyaman? Bukannya Dewi sahabatmu?”
“Bukannya aku tidak nyaman. Karena tidak diberitahu olehmu. Aku merasa tidak penting di sini.”
Hasan menatap Keysa. “Siapa yang memberitahu mu jika Dewi sekarang adalah sekretaris baruku? Apa Adam yang mengatakannya padamu?”
“Bukan,” sahut Keysa lantang. “Tapi Dewi. Dewi yang mengatakan padaku, jika dia sekarang berkerja denganmu.”
“Ya sudah kalo dia telah memberitahukanmu. Tidak usah membahas masalah ini lebih lanjut. Hanya masalah sekertaris. Aku lupa. Tapi membuatmu berhari-hari berwajah muram seperti itu,” kata Hasan mulai tidak nyaman.
“Sudah aku bilang, ini bukan sesederhana seperti yang kamu pikirkan Hasan. Ini sebuah kejujuran. Aku menunggumu berhari-hari untuk cerita, tapi kamu tak kunjung memberitahukan aku. Seperti kamu menganggap sepele orang asing tinggal di rumah kita.”
“Oke, oke maaf ...,” kata Hasan singkat. Ia langsung memeluk tubuh Keysa kembali agar istrinya itu tidak terus berbicara panjang lebar. Dan masalah menjadi ke mana-mana.
“Lain kali kamu harus memberitahukan ku apa pun itu. Aku tidak ingin orang lain yang lebih dulu memberitahukan aku,” kata Keysa dengan tatapan tajam dan penuh harap. “Aku pernah ditinggalkan. Dan aku tidak mau kejadian yang sama akan menimpaku lagi.”
Hasan menganggukkan kepalanya pelan. Menenangkan perasaan Keysa yang semakin gusar. “Aku tidak ingin kehilanganmu ataupun Hawa ...,” kata Keysa lirih.
***
Saat ini malam telah larut. Tapi Hasan sudah tidak sabar untuk bertemu dengan Dewi. Ia melihat ke samping, memastikan Keysa sudah terlelap nyenyak. Tanpa suara langkah kaki yang berarti, Hasan berjalan mengendap-endap. Membuka pintu kamar pelan dan berjalan keluar.
Tangannya yang memegang ponsel dengan cepat mengirimkan pesan chat pada Dewi jika ia akan bertamu malam ini juga.
Saat langkah kaki Hasan berjalan melewati pintu kamar Adam. Ia pun semakin memelankan langkah kakinya. Baginya Adam adalah orang kedua yang tidak boleh tau rahasia hidupnya selain Keysa.
Setelah berjalan sukses tanpa suara dengan mengendap-ngendap akhirnya Hasan keluar rumah tanpa ada yang mengetahuinya.
Baru saja jari telunjuk Hasan akan menekan bel rumah. Namun pintu rumah sudah terbuka lebih dahulu.
“Ada apa? Kenapa datang selarut ini?” tanya Dewi dengan kedua mata membulat. “Apa Keysa mengetahui kamu datang ke sini?”
Hasan tidak menjawab. Ia justru mencengkram lengan Dewi dan menariknya ke dalam rumah.
Dewi terkejut dengan perlakuan Hasan. “Ada apa?”
“Aku ingin bicara denganmu ...!” pekik Hasan lirih. “Kita harus membicarakan ini secara serius.”
Dewi diam. Ia hanya mampu mengikuti gerakan Hasan yang menarik lengannya.
Bersambung