Sekertaris baru

1271 Kata
                Hasan langsung menggelengkan kepalanya cepat. “Bukan. Adam tidak memaksaku untuk minum.” Keysa hanya diam. Ia nampak terlihat sangat kecewa. Memang pernikahannya dengan Hasan tidak melalui proses pacaran yang mendalami pribadi masing-masing. Karena patah hati membuat keduanya memutuskan menikah dalam perkenalan yang singkat. Hanya bertemu empat minggu dan mengetahui Keysa sedang hamil, membuat Hasan ingin menjadi suami Keysa secepatnya walau bayi yang dikandung bukanlah tanggung jawabnya. “Kapan sih bisnis kamu itu selesai? Aku sudah tidak tahan melihat Adam ada di rumahku,” kata Keysa mengeluh. “Masih lama Key. Ini proyek besar dan masa depan kita. Sudahlah, jangan terlalu dipikirkan.” Keysa masih memandangi Hasan dengan tajam. “Apa yang kamu katakan pada Adam semalam?” Hasan langsung mendongakkan wajahnya. “Memang apa yang aku katakan pada Adam?” Mereka saling pandang. “Memang apa? Bukankah kamu mengatakan sesuatu?” Hasan menggelengkan kepalanya. “Aku lupa. Tapi aku merasa tidak mengatakan apa-apa pada Adam,” jawabnya lirih. Keysa masih menatap Hasan tepat pada manik matanya yang berwarna hitam pekat. Mamastikan apakah yang dikatakan Hasan benar atau tidak. “Kenapa kamu melihatku seperti itu?” tanya Hasan merasa tidak nyaman. “Aku hanya ingin memastikan apa yang kamu katakan benar atau tidak,” jawab Keysa jujur. Hasan menganggukkan kepalanya pelan. “Oh ... jadi kamu mulai tidak percaya padaku sekarang ?” “Bukannya aku tidak percaya padamu. Hanya saja akhir-akhir ini memang perasaanku tidak nyaman. Aku merasa ada yang berbeda darimu, tapi entah itu apa,” jawab Keysa dengan tatapan menerawang. Hasan menghela nafas panjang. “Memang apa yang dikatakan Adam padamu, hingga kamu menjadi seperti ini? Seakan menuduhku begini?” Keysa menelan ludahnya.  Ia tidak ingin ucapan Adam mempengaruhinya. Tapi seberusaha apa pun, Keysa tetap memikirkan apa yang dikatakan Adam, tentang Hasan yang masih memikirkan mantan kekasih yang telah mencampakkannya. “Hm ... Apa? Ayo cepat katakan,” ucap Hasan sekali lagi. Keysa buru-buru menggelengkan kepalanya cepat. “Sudahlah jangan dipikirkan. Aku tidak ingin membahasnya.” “Aneh. Tadi kamu menghardikku. Sekarang giliran aku tanya apa yang dikatakan Adam padamu, kamu engga mau cerita.” Hasan menggerutu sambil turun dari ranjangnya. Ia ingin membasuh wajahnya agar terasa segar. “Hawa mana?” tanya Hasan kemudian. “Sekolah lah,” jawab Keysa singkat. “Jika dia tahu Papanya dalam kodisi seperti ini, entah apa yang akan ditanyakan Hawa.” Hasan menarik nafas panjang. “Iya, maaf. Semalam aku memang terlalu asik hingga lupa diri jika aku sudah menikah dan memiliki seorang putri,” kata Hasan dengan wajah menyesal dan sambil membuka pintu kamar. Keysa mengikuti Hasan keluar dari kamar. Berjalan membututinya. “Aku ingin sekalian mandi. Apa kamu mau ikut?” tanya Hasan sambil menoleh ke belakang. Keysa menggelengkan kepalanya cepat. “Ngapain aku ikut,” sahutnya cepat. “Lalu kenapa kamu masih ada di sini membututiku?” Keysa terdiam. Ia juga tidak sadar mengekor di belakang Hasan hingga menuju kamar mandi. Merasa fokusnya hilang memikirkan alasan apa Hasan sampai mabuk seperti itu, membuat Keysa memundurkan langkah kakinya dan kemudian membalikkan badan. “Aku menunggumu di bawah.” Hasan tidak menjawab dengan suara. Ia hanya menganggukkan kepalanya tanpa dilihat Keysa. Keysa melangkahkan kakinya menuruni anak-anak tangga. Meninggalkan Hasan di kamar mandi lantai atas. Sialnya saat langkah Keysa menapak di anak tangga terakhir ia harus berpapasan dengan Adam. Mereka terdiam. Berdiri saling berhadapan tanpa kata. “Aku mau lewat,” kata Keysa ketus. “Ya sudah lewat saja,” sahut Adam tidak kalah ketus. “Kamu minggir.” Adam mulai bergeser dan memberikan jalan pada Keysa. Tanpa kata-kata lagi Keysa langsung berjalan melewati Adam. “Apa Hasan sudah bangun?” tanya Adam. Keysa yang sudah berjalan dua langkah menoleh. “Iya, dia ada di kamar mandi. Memang kenapa? Apa kamu ingin mengajaknya ke bar lagi? Lalu membuatnya mabuk?” Adam tersenyum tipis mendengar pertanyaan Keysa. “Aku tidak membuatnya mabuk Key. Hasan memang ingin meminum bir. Ia memesan minuman beralkohol rendah dengan segala kesadarannya.” “Lalu, bila itu adalah minuman beralkohol rendah, kenapa Hasan bisa mabuk berat?” tanya Keysa tidak percaya dengan apa yang dikatakan Adam. Adam mengangkat kedua bahunya ke atas. “Entahlah. Kenapa kamu tidak tanya pada Hasan apa yang terjadi? Kenapa dia bisa mabuk berat seperti itu semalam?” Keysa menatap Adam dan kemudian membuang mukanya ke samping. Jika saja Adam bukanlah donatur modal usaha bisnis yang sedang dikembangkan Hasan, Keysa sudah mengusir Adam sejak kemarin. Keysa tidak ingin bertengkar. Ia melangkahkan kakinya kembali meninggalkan Adam yang berdiri di belakangnya. “Aku tahu kamu takut untuk bertanya pada Hasan.” Suara Adam memecah keheningan. Keysa menghentikan langkah kakinya lagi. Ia berdiri mematung sambil membelakangi Adam. “Aku tahu kamu takut untuk mendengar jawaban Hasan yang sejujurnya. Makanya kamu tidak berani bertanya kan?” tanya Adam lagi. Keysa tersenyum sinis mendengarnya. Ia membalikkan badan dan menatap tajam. “Kenapa aku harus takut?” tanyanya lirih. “Kamu takut mendengar kenyataan siapa yang sedang dipikirkan oleh Hasan.” “Sudah, cukup Adam. Apa kamu tidak puas telah menyakiti aku di masa lalu? Hingga kamu datang kembali sekarang untuk menyakiti aku lagi?” Adam mengantupkan bibirnya. Ia menatap manik mata Keysa yang berwarna cokelat gelap. Seakan tenggelam di dalamnya. “Aku tidak pernah berniat ingin menyakitimu Keysa. Aku selalu mencintaimu. Bahkan hingga sekarang,” katanya lugas. Kerongkongan Keysa tiba-tiba terasa kering mendengarnya. “Hentikan mengungkit tentang kita,” katanya dengan suara parau. “Selesaikan lah secepat mungkin bisnis kalian dan setelah itu ... tolong secepatnya pergi dari sini.” Keysa kembali membalikkan badan. Ia tidak ingin mendengar apa pun lagi tentangnya dan Adam. Sudah cukup. Tidak ada kata ‘Kita’ di antara mereka lagi. Adam menatap punggung Keysa yang berjalan menjauhinya, menuju ruang depan. Andai kamu tahu alasan aku meninggalkanmu bukan hanya karena perjodohanku dengan Desi,” ucapnya lirih. Mood Keysa di hari ini benar-benar rusak. Itu semua karena Adam, batinnya sangat kesal. Ia duduk di kursi teras depan. Berusaha agar lebih tenang dengan angin segar yang berhembus. Saat duduk-duduk di teras depan rumahnya, sekilas matanya melihat Dewi yang sudah berpakaian rapi dan berjalan menuju rumahnya. “Hai Key,” sapa Dewi sambil tersenyum dan kemudian ikut duduk di kursi teras samping Keysa. “Haduh, hari ini aku lelah sekali,” katanya sambil mengipas-ngipaskan telapak tangan ke wajahnya. “Untung saja udara di Kota ini sejuk.” “Kamu dari mana?” tanya Keysa. Merasa aneh pada Dewi yang berpakaian rapi dengan setelah blouse putih, rok hitam dan juga blezer berwarna maroon. “Aku habis kerja. Hari pertama kerja. Tapi bosnya engga ada,” katanya sambil tertawa renyah. “Kerja? Bukannya kamu udah engga kerja lagi, makanya kamu pulang kampung ke sini?” tanya Keysa lagi. Dewi semakin tertawa mendengar pertanyaan Keysa. “Kalo aku engga kerja, terus aku makan pake apa? Aku sudah engga punya orang tua. Aku harus mandiri. Kalo aku engga kerja siapa yang mau menanggung kehidupanku?” “Iya sih ya ...,” jawab Keysa sambil menggut-manggut. “Terus kamu kerja di mana sekarang?” “Aku jadi sekertaris,” jawab Dewi sambil tersenyum. “Di mana? Di Kota ini kan engga banyak perusahaan. Bisa dihitung pake jari. Kamu kerja di kantor apa?” Keysa menjadi sangat ingin tahu. “Kamu pasti kaget mendengar jawabanku,” Dewi menaikkan turunkan kedua alisnya ke atas dan ke bawah. Dahi Keysa berkerut. Ia semakin kepo. “Memang di mana?” “Aku menjadi sekertaris di perusahaan yang di bangun oleh Hasan dan Adam,” jawab Dewi lirih dan diakhiri senyuman simpul. “Apa ...?” Keysa tidak percaya jika lagi-lagi dirinya adalah orang terakhir yang mengetahui berita ini. “Memang Hasan tidak cerita padamu?”   Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN