Dia Tidak Sepertimu

1258 Kata
Satya berjalan tergesa-gesa keluar dari sebuah restoran. Ia melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangan kiri. Lantas mengumpat saat jarum pendek penunjuk waktu itu mengarah diantara angka sembilan dan sepuluh. Kaki panjangnya terayun semakin cepat menuju mobil Kirana yang hari ini ia pinjam. Ingatkan Satya untuk mengirim pesan makian pada Raka saat dia sampai di rumah. Semua ini terjadi karena sahabatnya itu membatalkan pertemuan secara sepihak. Lalu, tanpa perasaan memaksanya datang ke tempat ini tepat saat ia sedang berada di perjalanan menuju rumah. Alih-alih membahas masalah pekerjaan seperti yang diucapkan Raka di telepon, ia dan Ganang lebih banyak mendengarkan curhatan Raka tentang sang istri yang tidak lagi cemburu saat ada wanita-wanita genit yang menghubunginya. Pria oriental itu beranggapan jika Meylani sudah tidak mencintainya. Namun, menurut mereka, Meylani hanya belajar dari pengalaman dan berusaha memahami sikap Raka yang ramah dan mudah bergaul dengan siapa saja, termasuk wanita. Dan karena hal inilah ia harus menerima amukan dari Belva karena terlambat pulang. Padahal, dia sudah berjanji akan pulang lebih awal untuk menjemput anak gadisnya yang hari ini ada jadwal latihan basket. Sebagai kompensasi, Satya harus menuruti kemauan sang putri. Ah, dia jadi ingat ejekan Ganang sewaktu ia sedang mencatat pesanan Belva pada sticky note—karena gadis itu menolak mengirimkan daftar permintaannya melalui aplikasi obrolan. "Sesuai aplikasi, ya, Kak," celetuk Ganang mengikuti kalimat yang biasa dikirimkan para driver ojek online pada customer-nya. Sontak saja hal itu membuat tawa Satya dan Raka meledak. Untung saja Raka memesan private room. "Raka bangke!" makinya saat menyadari jika mobilnya terparkir cukup jauh. Satya terus berjalan tanpa memedulikan sekitar. Ia bahkan mengabaikan tatapan licik seseorang yang baru saja ia lewati. Yang ada dalam pikirannya saat ini hanya ingin segera sampai di rumah agar gadisnya tidak semakin merajuk. Bip! Alarm mobil Kirana berbunyi saat Satya menekan tombol untuk membuka kunci pintu. Ia bergegas membuka baris kedua untuk meletakkan tas ransel dan jasnya. Barulah dia duduk di belakang kemudi Brak! Satya menutup pintu dengan sedikit kasar sebagai pelampiasan rasa kesalnya. "Kalau tau cuma dengerin dia curhat, nggak bakal aku ke sini," gerutunya seraya menekan tombol untuk menyalakan mesin. Perlahan dia mulai menjalankan mobilnya, memutar roda kemudi ke kanan. Namun, baru beberapa meter berjalan lurus, Satya terpaksa menginjak pedal rem karena ada seseorang yang menghadang jalannya. Kekesalan Satya semakin bertambah saat melihat siapa yang ada di depan mobilnya. Lekas ia membuka kaca, melongokkan kepala. "Tolong minggir! Saya sedang buru-buru," pintanya dengan bahasa formal. Wanita itu menyingkir, tetapi bukan memberi jalan melainkan mendekati Satya. "Aku boleh numpang nggak, Mas?" tanya Sinta dengan nada manja dan senyum menggoda. "Maaf, saya harus segera sampai rumah. Istri dan anak saya sudah menunggu." Perkataan tanpa nada yang membuat hati Sinta seperti di tikam belati. Sebisa mungkin wanita itu mempertahankan senyumnya. Sinta berpikir cepat, mencari alasan agar bisa semobil dengan mantan suaminya. "Em … sebenarnya aku sudah janji sama Selva mau nginap di rumah," dalihnya. Satya mengernyit. Seingatnya Selva tidak ada meminta izin mengenai hal ini. "Benarkah?" tanyanya ragu. "Iya. Mungkin Selva lupa." Satya terdiam dia tampak sedang berpikir, menimbang apakah dia harus memberikan tumpangan pada wanita ini. "Boleh, ya," ujarnya memohon. "Maaf, tapi saya nggak mau istri saya salah paham. Jadi, lebih baik kamu taksi online." Satya kembali menolak. Jari kanannya bergerak menekan tombol untuk menaikkan kaca. Baru setengah, Satya dikagetkan dengan sepasang tangan yang nekat menahan kaca mobil yang bergerak ke atas. "Mas, aku mohon. Ini sudah malam. Susah cari taksi." Sinta memelas. Satya terdiam. Dia tidak ingin membuat wanita tercintanya salah paham, tetapi sisi kemanusiaannya tidak tega membiarkan sang mantan istri pulang sendirian. "Oke." Dengan terpaksa ia mengizinkan Sinta masuk ke mobilnya. Sinte tersenyum puas tepat saat kaca mobil Satya tertutup sempurna. Ia segera mengayunkan kaki mengitari mobil, lalu membuka pintu penumpang. Tidak mau membuang waktu, Satya langsung menginjak pedal gas sesaat setelah wanita berpakaian sedikit terbuka itu duduk di sebelahnya. Bahkan, dia tidak memedulikan Sinta yang masih sibuk memasang sabuk pengaman. Memasuki kawasan jalan raya, putra tunggal Risma itu semakin memperdalam injakan pada pedal gas. Suasana jalanan yang cukup lengang membuat mobil yang ia kendarai melaju tanpa hambatan. Hening. Satua fokus pada kemudinya dan enggan terlibat pembicaraan apapun dengan Sinta. Sementara, Sinta sibuk memikirkan topik yang bisa membangun obrolan hangat dengan Satya. Sinta melirik ke kanan. Satya terlihat semakin memesona di usianya yang mendekati kepala empat. Rahang tegas, kulit wajah yang terlihat bersih. Dan yang paling membuat air liurnya ingin menetes adalah otot tangan yang terlihat kokoh. Dari situ, ia bisa membayangkan seberapa seksi d**a bidang Satya. Banyak perubahan yang terjadi.pada mantan suaminya itu. Bukan hanya penampilan, tetapi juga kemapanan hidup. Andai saja dulu ia mau bersabar menemani Satya merintis karier, mungkin saat ini dialah yang menikmati hasil jerih payah Satya. Dia tidak perlu ke sana ke mari mencari g***n untuk memenuhi gaya hidupnya. "Mobil baru, ya, Mas?" Sinta mencoba membuka obrolan. Matanya mengamati interior mobil yang terlihat mewah. "Setahu aku mobil kayak gini paling murah 700an." "Ini mobil istri saya," jelas Satya. "Oh. Sayang banget duit segitu dibuat beli mobil. Padahal kan bisa diinvestasikan untuk masa depan anak-anak," ujarnya berusaha merusak image Kirana. Selama ini yang ia tahu Kirana menggunakan mobil berwarna abu metalik keluaran Honda. Jadi, ia berpikir jika mobil ini dibeli menggunakan nuang Satya. "Itu urusan dia." "Harusnya kamu peringati dia, dong, Mas biar nggak terlalu boros. Gimanapun juga Selva dan Belva masih butuh—" "Dia beli sebelum menikah dengan saya," cela Satya cepat. Cengkraman Satya pada roda kemudi mengerat. Ia berusaha menahan ledakan emosi karena Sinta berusaha menjelek-jelekkan istrinya. Ia pun menyesali tindakan impulsifnya yang memberi tumpangan pada Sinta. "Oh. Wajar, sih. Namanya juga anak kesayangan. Jadi, minta apa-apa pasti keturutan." Sinta berkomentar dengan nada mengejek. "Semoga dia nggak nularin sifat manjanya anak-anak kita," lanjutnya lirih. Cukup! Satya mulai muak dengan ocehan Sinta. Ia mengurangi kecepatan mobilnya, menyalakan lampu sein kiri, lalu menepi. Sinta menatap Satya, heran saat mobil yang mereka tumpangi berhenti. Terlebih saat melihat wajah Satya yang mengeras dan terlihat menakutkan. Atmosfer di dalam mobil pun mulai memanas. "Mas. A–aku nggak bermak—" "Keluar!" Suara tegas Satya membuat mulut Sinta terkatup rapat. Untuk beberapa saat Sinta terdiam, menatap tak percaya pada pria yang pernah mencintainya. "M–Mas, di sini sepi, gimana caranya aku pulang?" Sinta bertanya dengan mata yang bergerak mengawasi suasana di luar mobil. Tidak terlalu sepi. Sebab, masih ada kendaraan yang berlalu-lalang. Kendaraan umum pun masih ada yang melintas di kawasan ini. Namun, dia merasa terhina jika diturunkan di tengah jalan seperti ini. "Itu ada pangkalan ojek." Satya menunjuk ke arah beberapa sepeda motor yang terparkir rapi di tepi jalan, tak jauh dari tempat mereka. Sinta melotot tak percaya. Bagaimana mungkin dengan pakaian seperti ini dia pulang naik ojek. Tidak! Itu akan menjatuhkan harga dirinya. "Mas, aku minta maaf kalau kamu tersinggung dengan kata-kata aku. Tapi, apa yang aku omongin nggak salah, kan? Harusnya Kirana nggak mencontohkan sikap manjanya sama anak-anak. Aku cuma takut anak-anak jadi orang yang ngg—" "Tutup mulutmu!" Rendahnya suara Satya membuat bulu kuduk Sinta berdiri. Pria yang semula menatap lurus ke depan kini menoleh ke kiri. Menatap wanita itu nyalang. "Dengar baik-baik, Istriku wanita mandiri, dia mampu membeli apapun dengan penghasilannya. Bukan sepertimu yang suka memanfaatkan harta lelaki," sarkasnya begitu menohok. Matanya mulai dilapisi cairan bening yang siap menetes. Perkataan Satya bagai pedang yang menghunjam jantungnya. Menimbulkan rasa nyeri yang luar biasa. "Keluar!" titah Satya dengan gerakan kepala menunjuk ke arah pintu. "Mm–Mas. Ini sudah malam. Aku nggak berani pulang sendiri." Sinta berharap Satya akan luluh melihat air matanya. Sayangnya, yang terjadi tak sesuai harapan. Satya semakin mengeraskan suaranya. "Keluar!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN