“Keyna, kau baik-baik saja?”
Keyna menoleh begitu Calvert menghampiri. Mati-matian wanita itu memasang ekspresi santai, kemudian tersenyum. Ah, dia tidak yakin wajahnya tersenyum saat ini. Mungkin saja itu lebih terlihat seperti menyeringai?
“Ya. Tentu saja, aku baik-baik saja. Hanya saja, sepertinya aku kelaparan.” Ini bukan kebohongan, melainkan pengalihan isu. Keyna tidak berdusta mengenai dia yang merasa amat lapar.
“Astaga.” Calvert terkekeh kecil. Amat merdu, dan … amat manis. “Baiklah. Apa yang akan kita lakukan seraya menunggu makanan datang?”
Keyna seketika menelan ludah mendengar pertanyaan Calvert. Apa yang akan mereka lakukan? Apa? Keyna tidak tahu.
“Keyna?” Keyna tersentak saat Calvert meletakkan tangan di pundaknya. Nyaris saja wanita itu menyingkirkan tangan Calvert dengan refleks. Namun warasnya lebih dulu datang, sehingga dia bisa mengatasi keterkejutannya tersebut. “Kau benar-benar tidak apa? Sepertinya sejak tadi kau banyak melamun.”
“Ah, tidak. Aku hanya merasa terlalu senang, Cal. Aku tidak menyangka, setelah banyak hal yang kita berdua lewati, akhirnya kita menikah.” Keyna tersenyum amat hangat, mendalami kembali perannya sebagai orang yang begitu mencintai Calvert.
Calvert menghela napas. Diraihnya wanita cantik itu ke dalam dekapan, yang jelas membuat Keyna merasa semakin gugup. Namun perasaan itu berangsur tenang begitu kepalanya bersandar di tubuh Calvert. Mendengarkan dengan saksama irama jantung lelaki tersebut yang berdegub secara konstan. Sesaat, Keyna merasa … pulang.
“Maaf, karena aku melewatkan banyak hal. Aku akan berusaha semampuku untuk mengingat semuanya lagi, Key.” Lelaki itu mengecup singkat puncak kepala Keyna. Sedangkan Keyna hanya berdiri diam, dalam hati berdo’a dengan kalimat sebaliknya dari apa yang Calvert katakan. Keyna berharap, ingatan Calvert tidak pulih secepatnya. Keyna harap, dia memiliki lebih banyak waktu untuk bisa menyelesaikan satu per satu masalahnya, sebelum berhadapan dengan Calvert—lelaki itu—dan menjelaskan segala sesuatunya. Keyna akui dia amat jahat. Tapi nasi sudah menjadi bubur. Dia sudah terlanjur berbohong, dan tidak bisa lagi mundur.
Calvert melerai pelukan tak berapa lama setelahnya. Berdiri sambil menundukkan pandangan, menatap Keyna dengan tatapan intens. “Kau cantik,” puji lelaki tersebut seraya sebelah tangan menangkup wajah mungil Keyna.
Gugup, Keyna tersenyum kaku. “Aku—” Keyna hendak melepaskan diri dari kungkungan lelaki itu. Namun Calvert malah mengeratkan dekapannya sehingga membuat Keyna terkejut. Lebih terkejut karena raut wajah Calvert berubah menjadi menakutkan.
Bukan. Bukan karena lelaki itu menatapnya tajam atau dia terlihat akan menggigitnya. Namun menakutkan karena sorot matanya tampak mendamba. Tampak menginginkan dirinya lebih. Tampak ingin mencumbunya dengan gairah yang membara. Keyna tahu tatapan tersebut sama persis dengan serial dewasa yang pernah dia tonton.
Astaga! Apakah dia akan dieksekusi secepat ini? Keyna panik seketika. Bahkan lari pun tidak bisa. Akan sangat aneh jika dia melarikan diri ketika suami yang dia cintai hendak menyentuhnya, bukan? Seharusnya, sebagai pasangan suami istri baru, dia justru menyambut lelaki itu dengan suka cita. Sama bahagianya, sama bergairahnya.
Tapi, Tuhan, Keyna tidak pernah sedekat ini dengan laki-laki selama lebih dari satu dekade terakhir hidupnya! Bagaimana dia memulai kembali semuanya?
Wanita itu hanya bisa mematung dengan gugup. Lantas perlahan memejamkan mata saat Calvert mulai mendekatkan wajah padanya. Dia pasrah kali ini. Sampai kemudian … ting tong! Baru saja bibir Calvert menyentuh bibir Keyna, suara bel menyelamatkan wanita itu. Buru-buru Keyna hendak berlalu membuka pintu, tetapi tangan Calvert lekas menahan.
“Makanan kita sudah datang,” gumam Keyna dengan senyuman lebar untuk menyembunyikan kegugupannya. Dia merasa amat bersyukur karena kurir mengantar makanan tepat waktu. Tiba tepat di saat yang seharusnya. Namun,
“Aku tahu,” pungkas Calvert dengan suaranya yang dalam. “Tapi bisakah kita makan nanti? Ada hal yang ingin kulakukan lebih dulu bersamamu.”
Jantung Keyna nyaris saja berhenti mendengar kalimat itu. Rasa panas menjalar ke wajah. Dia tahu betul apa yang Calvert maksudkan, dan itu membuatnya semakin cemas! Bukankah ini terlalu cepat? Atau mungkin … tidak?
Tapi saat bibir Calvert kembali menemukan bibirnya, Keyna tidak bisa berkutik. Benaknya seakan menjadi tumpul seketika. Wanita itu hanya memejamkan mata. Insting alami tubuhnya yang kini mengambil alih. Menyampirkan tangannya di pundak Calvert secara perlahan, membalas pagutan bibir lelaki itu, dan melenguh pelan ketika Calvert semakin memperdalam ciuman. Keyna benar-benar kehilangan kendali atas tubuhnya sendiri. Wanita itu bahkan seolah tidak sadar ketika tubuhnya mulai terbaring perlahan di atas ranjang, sementara tubuh besar Calvert menindihnya.
Mungkin Keyna gila, atau Calvert terlalu lihai menyentuhnya. Yang pasti, Keyna benar-benar melayang di setiap detiknya, di setiap sentuhan yang Calvert berikan di tubuhnya. Wanita itu tanpa sadar mendesah, bahkan sesekali menjerit mendapatkan sentuhan Calvert di berbagai inti tubuhnya, seolah lelaki itu benar-benar sudah khatam titik-titik sensitive yang dimilikinya.
Semburat merah di pipi Keyna amat kentara, seiring dengan pelepasan yang berhasil dia dapatkan, padahal permainan belum benar-benar dimulai. Ketika Calvert bertanya perihal kesiapannya menuju tahap berikutnya, Keyna hanya mengangguk kecil. Deru napasnya masih memburu, sisa-sisa kenikmatan yang dia dapatkan sebelumnya.
Sejenak, Keyna menahan napas begitu benda tumpul menerobos masuk ke inti tubuhnya. Meski Calvert berusaha bermain sehalus mungkin, tetap saja rasa sakit itu tak terelakkan. Namun, seiring gerakkan Calvert dan ciuman lembutnya, rasa sakit itu berangsur hilang. Bergantikan dengan kenikmatan yang tak bisa Keyna jelaskan. Wanita itu mulai terbiasa dengan benda pusaka Calvert di dalam dirinya. Semakin terbiasa dengan penyatuan diri mereka yang sempurna. Sampai pada titik, Keyna tidak bisa menahan jeritan ketika kenikmatan itu bergumul semakin hebat di perut. Ribuan kupu-kupu seakan menggelitik ingin terbang.
Keyna menjerit. Tubuhnya melengkung. Sesuatu yang hangat keluar dari bawah tubuh, peluh bercucuran dengan suhu tubuh yang meningkat cepat. Untuk sesaat, kepalanya terasa sangat kosong. Semua hanya berpusat pada kenikmatan yang terasa begitu intens. Tapi Calvert tidak membiarkan Keyna mendapatkan kenikmatan yang singkat. Lelaki itu lekas menunggangi Keyna untuk kedua dan ketiga kalinya. Memberikan kenikmatan bertubi-tubi. Sampai jeritan mau pun lenguhan dan erangan Keyna tak terhitung lagi. Desah keduanya saling bersahut-sahutan di dalam kamar berdinding tembok tersebut. Sampai kemudian, Calvert hampir mencapai puncak.
Lelaki itu mempercepat gerakan, sementara Keyna mencengkram kuat bahunya. Erangan Keyna membuatnya semakin bersemangat memompa. Lalu pada detik berikutnya, badai itu menerjang. Kuat-kuat menyembur di dalam tubuh Keyna. Matanya terpejam, merasai Keyna mencengkram kuat ‘miliknya’ di bawah sana, menambah rasa nikmat itu berkali-kali lipat.
“Rosaline!” pekik Calvert di akhir sesi percintaan mereka yang panas.
Calvert menggulingkan tubuh dengan lelah. Dihadang kenikmatan yang kuat, lelaki itu kelelahan sampai nyaris pingsan begitu saja. Sedangkan Keyna diam membisu. Setelah diajak melayang, nama yang disebut Calvert justru membuatnya jatuh sekaligus, sehingga kesadarannya bahkan kembali utuh.
Siapa Rosaline?
[]