Bab 19. Selingkuh

1088 Kata
Rose terkejut saat mendapati hasil test kesuburan yang dia lakukan bersama Alexander. Sudah lama sekali, dan akhirnya Rose mengetahui bahwa ada masalah pada s****a sang suami hingga akan sulit memberikan bibit yang bagus. "Tapi gimana mungkin? Dapat Ruby kemarin juga cepat, kok! Apa ada alasan tertentu?" Rose mengangkat gagang telepon di kamar untuk menghubungi rumah sakit tempat mereka periksa. Dokter ginekologi itu menyambut dan Rose bertanya maksud hasil test tersebut. "Semua itu bisa saja ada faktor pemicunya, Bu. Mungkin stres atau yang lain. Tapi untuk kasus Pak Alexander, mungkin beliau terlalu banyak mengkonsumsi kafein dan berkurangnya jadwal tidur juga bisa jadi salah satunya." Tangan Rose gemetar. Dia sudah membayangkan sang suami begitu menginginkan keturunan. Bulan ini dia menanti lagi hingga sengaja membelikan test pack pada sang istri. "Untuk lebih jelasnya, Pak Alex bisa datang lagi ke rumah sakit untuk menjalani pengobatan." Panggilan itu diakhiri. Rose sangat takut Alexander menjadi lebih tempramental dari ini. Apalagi setelah kejadian Ruby kemarin. Rose pun memutuskan untuk menyembunyikan hasil tes itu di lipatan terbawah dari pakaian di lemari. 'Semoga nggak terjadi apa-apa.' * Samantha baru pulang dari kantor, begitu lelah sambil menghempaskan punggungnya di sofa. Masih sore dan dia kembali tanpa Alexander dan Han. "Pusing banget," keluh Samantha. Sedikit menunduk sambil memegang kepalanya. Sebulan terakhir dia bekerja sangat gigih hanya untuk membuktikan dia bisa sehebat Alexander di depan Narendra yang selalu merendahkannya. Di atas lantai dua, Rose memperhatikan wajah pucat sang mantan. Pria itu beranjak menuju kamarnya di lantai satu, berjalan sempoyongan sambil menggigit bibirnya. Samantha memang sangat gigih, tapi kesehatannya menjadi taruhan. Rose segera berlari saat Samantha bisa saja jatuh dan membahayakan dirinya. "Rose." Samantha menatap kekasih hatinya yang menyanggah sisi pinggangnya. Rose mengalihkan pandangan, berusaha sekuat tenaga untuk menjadi tumpuan pria ini. "Aku anterin kamu ke kamar," ujar Rose. Jantung keduanya terus berdesir saat takdir mempertemukan mereka semakin dekat. Rose membaringkan Samantha di kasur, membantu melepas sepatu dan kaos kakinya. "Kamu istirahat dulu, biar aku-" Rose terkejut saat melihat darah segar mengalir dari hidung pria itu. Segera dia mendekat untuk memberi pertolongan pertama. Saat Samantha hendak mendongak, Rose segera mengetuk kepalanya untuk menahan pria itu mengangkat kepalanya. "Kenapa digetok, sih?!" geram Samantha. "Kalau mimisan itu nggak boleh dongak, Sam. Itu nanti darahnya malah masuk ke saluran pernapasan," ujar Rose. Rose memaksa Samantha untuk duduk dan condong ke depan agar darah tak masuk ke tenggorokan dan bisa menyebabkan muntah dan tersedak. Saat Samantha merasa risih dan ingin menutup hidungnya, Rose kembali menepis. "Biarin aja, ih!" dumelnya, sambil menampung darah yang terus jatuh dengan beberapa lembar tissue yang dia tarik dari atas meja Samantha. Menit berlalu, membiarkan darah itu berhenti mengalir agar Rose bisa membersihkannya dengan kain basah. Setelah selesai, Samantha duduk bersandar dengan kaki selonjor. Kepalanya terasa sakit hingga wajahnya memucat. "Kamu udah makan?" tanya Rose, khawatir. "Belum. Ntaran aja. Aku mau istirahat." Rose tak tega meninggalkan mantan kekasihnya itu. Teh yang sempat dia ambil ke bawah pun belum disentuh Samantha. Menatap sendu pria itu, lalu berkata, "Kerjanya jangan diforsir, Sam. Santai aja. Sampe nggak ada istirahat gitu, buat apa, sih?" Samantha membuka mata. Baru dia ingat, untuk apa lagi dia berjuang segigih ini? Apakah untuk Narendra semata? "Andai dulu aku udah segigih ini, pasti sekarang kamu bukan iparku, Rose." Rose terkejut. Menunduk sesaat, mengeratkan jemarinya jika mengingat kisah mereka lima tahun lalu. Semuanya hancur dan terpisah oleh sebuah pengkhianatan. "Siapa yang mau kamu salahkan? Waktu itu semua masih mungkin andai aja kamu nggak khianati aku demi kebahagiaan Alex!" Rose tak ingin semakin tenggelam dalam cinta lamanya. Ya, dia masih mencintai Samantha. Tersisa ruang rindu di hati yang dia ciptakan untuk mantan kekasihnya itu. Saat hendak beranjak, Samantha menarik tangan Rose hingga wanita itu jatuh tepat di pelukannya. Binar keduanya tertaut, senyum Samantha meninggi. "Aku masih cinta sama kamu, Rose." Rose tak menyahut, enggan menatap cinta di mata Samantha yang hanya seperti jurang dalam untuk menjerumuskannya. Dia telah menjadi miliki Alexander selama lima tahun terakhir. "Nggak ada yang tersisa untuk kita, Sam." "Ada," kata Samantha sambil mengusap sisi kepala Rose. "Jadikan aku ipar kesayangan kamu. Atau selingkuhan kamu." Rose terkejut saat Samantha mengatakan hal serendah itu. Bukannya marah, wanita itu justru berdetak kencang untuk perasaan Samantha yang tak pernah hilang. "Demi menjadi seorang pria yang pantas untuk meminangmu, aku jadi begitu bodoh dan terkhianati oleh keluargaku sendiri. Dan sekarang, aku nggak peduli apa pun lagi. Apa pun statusku, serendah apa pun, aku cuma mau jadi milikmu. Itu aja." Binar Samantha penuh harap. Sedikit dia mendongak untuk mencuri kecupan di bibir Rose. Sempat terhipnotis, Rose akhirnya menyambut ciuman manis Samantha. Dia yang semakin mendekat untuk memperdalam kecupannya. Hasrat Rose seakan bergelora. Dia merindukan saat pria itu mengusap sisi tengkuknya, bermain dengan sentuhan di tiap helai rambut di kepala Rose. Samantha justru semakin terlena. Dia hanya ingin menciptakan kisah mereka yang tak pernah ditulis takdir. Napasnya yang berat semakin memacu adrenalin Rose. Menggigit tipis lower lip pria itu, membuatnya sedikit berjingkat, membalas ciuman lebih posesif. Kecupan berakhir dengan napas yang terengah. Wanita itu hampir menyerah sepenuhnya saat Samantha menyusup masuk ke ceruk bahu wanita itu, lehernya yang terasa manis walau berkeringat. Aroma yang sangat dia rindukan. Rose hanya memejamkan mata, menikmati tangan Samantha yang sudah menyelip masuk dari sisi pinggang rampingnya. Saat masih sepasang kekasih, Samantha bahkan tak berani menyentuh lebih jauh walau status playboy masih melekat di dirinya. Rose selalu membuatnya gila. "Sam," desis Rose saat Samantha menyusupkan tangannya untuk lebih naik ke bagian atas badannya. Rose akhirnya tersadar dan segera menjauh. "Nggak, Sam. Aku nggak bisa mengkhianati Alex." Keputusan yang menyakiti Samantha untuk kedua kalinya. Dia yang hanya ingin menciptakan kebahagiaan yang sama, akhirnya pupus harapan. Rose takkan pernah berbalik padanya. * "Kamu datang bulan?!" Baru saja Alexander keluar dari toilet dan menemui Rose di kamar. Pasalnya, dia menemukan plastik pembalut di tong sampah, memupuskan harapan untuk mendapatkan momongan. Rose hanya mengangguk, tak ingin mendapatkan keluhan dan amarah sang suami. Dia beranjak naik ke kasur, tidur memunggungi sang suami. "Aku ngantuk. Tidur duluan, ya!" Hubungan keduanya pun semakin dingin. Alexander juga tak ingin memberi tekanan pada sang istri. Rose hanya masih bingung perihal hasil tes Alexander. Haruskah dia jujur dan membuat Alexander semakin frustasi, atau membiarkannya saja terus menanti kabar baik dari Rose. "Weekend ini mau ikut aku ke Bandung, nggak? Ada pengerjaan project selama seminggu. Sekalian ajak Ruby," sahut Alexander. "Maaf, Mas. Aku mau di rumah aja." Tak ada lagi kata yang membingkai. Keduanya tidur dengan saling memunggungi. Rose hanya masih berdebar dengan ajakan Samantha di kala senja tadi. Pria yang dicintainya sejak dulu itu sudah membuka jalan. Haruskah dia menyambutnya?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN