Penyesalan terdalam bagi Rose. Dia yang hanya bisa mematung, membiarkan air matanya mengalir saat para pelayat mendatangi rumahnya di mana sang ayah sudah terbujur kaku di depan duduknya. Hari mulai gelap ketika jenazah ayahnya sampai di rumah duka.
Samantha dan Han-lah yang mengurusi jenazah hingga esok pagi akan dimakamkan. Sesaat, Samantha menjauh untuk menghubungi Alexander, menanti dari almarhum.
"Apa Lo nggak bisa datang lebih cepat?! Ini istri Lo lagi berduka dan Lo nggak ada empatinya sedikit pun?!" berang Samantha saat Alexander mengangkat panggilannya.
Han berusaha menenangkan Samantha. Sudah sejak dari rumah sakit tadi Han mengabari Alexander, tapi tak kunjung datang. Narendra saja sudah datang untuk menunggui dan menjaga sahabatnya untuk terakhir kali.
"Nanti aja gue nyusul ke kuburan."
Hanya itu kata yang diucapkan Alexander dari sana.
Samantha sampai membanting ponsel, mengundang perhatian orang-orang yang masih khusyuk melantunkan doa. Rose melihat kemarahan mantan pacarnya itu yang diseret paksa oleh Han untuk meninggalkan lokasi. Mereka bicara di ruang tengah dekat dapur.
"Ini anak, otaknya ke mana, sih? Mertuanya meninggal, bukannya datang, malah ngulur waktu terus," geram Samantha sambil meninju dinding.
"Tadi juga udah gue bujuk, Sam. Tapi itu Alex kayaknya nggak percaya buat ninggalin Ruby sendiri sama pelayan, bahkan walaupun ada baby sitter. Itu kalau nggak dia atau Rose sendiri yang megang Ruby, dianya was-was."
Alexander yang terlalu posesif dengan miliknya. Jika mencintai, kenapa membiarkan istrinya menangis sendiri tanpa ada bahu untuk dia bersandar?
Bahkan hingga berganti malam, esok harinya saat jenazah diangkat dengan tandu menuju mesjid, wajah Alexander belum muncul juga.
Pria itu benar datang ke pemakaman saja. Awalnya dia merasa tak enak hati pada Rose, sebab merasa tak punya pilihan lain karena menjaga sang anak.
"Pa!"
Jerit Rose terdengar saat para warga hendak menurunkan jenazah papanya ke liang lahat. Rose menangis histeris. Samantha menjadi tempat bersandarnya. Dia hanya butuh dilindungi, dipeluk saat hatinya rapuh. Alexander justru terbakar cemburu. Istrinya membenamkan wajahnya di bidang d**a Samantha, membuat baju putih mantan kekasihnya itu basah akan air mata.
Narendra menatap kejadian itu. Dia menarik napas panjang, menghela kekecewaan untuk tatapan marah Alexander. Putra sulungnya itu hanya menatap dari kejauhan, lalu pergi setelah pemakaman selesai.
"Alex."
Gumam tipis Narendra didengar oleh Han. Dia menyadari pria tua ini kecewa dengan sikap putranya.
"Hasil didikan Bapak, kan?"
Narendra terkejut mendengar tukas sinis Han. Tak membantah, dia hanya ingin mendengar teguran dari putra pelayannya ini.
"Betapa hebat dan suksesnya Mas Alex. Betapa cemerlang dan bersinarnya dia. Bapak berhasil menciptakan robot, Pak. Bukan manusia. Dia yang menuruti segala kemauan Anda, selalu bekerja dengan logika dan menipiskan perasaan. Itulah Alexander Anda, Pak."
Narendra bungkam. Pandangannya lantas beralih pada Samantha yang berada di sana. Sepulang dari pemakaman, Samantha terlihat menghibur Rose untuk menjadi sandarannya.
"Apa yang Bapak lihat di sana?" tanya Han, sambil menunjuk ke arah Samantha dan Rose.
"Sam berusaha menenangkan Rose."
"Tapi yang Alex liat, mereka sedang berselingkuh sampai dia cemburu."
Han kembali menatap Narendra, lalu membuang pandangannya ke langit. Tersenyum tipis dan berharap Tuhan mau membukakan mata pria tua ini.
"Sejak kecil, Alex sangat gigih dan selalu mendapatkan apa yang dia mau. Apa yang dia dapatkan itu akan selalu dia lindungi dan miliki mati-matian. Posesif. Alex nggak akan pernah bisa kehilangan miliknya."
Narendra masih menatap Han. Matanya mulai jenuh dengan air mata. Lima tahun menjauhkan Samantha darinya hanya karena memikirkan Alexander, bagaimana perasaan Samantha?
"Dari kecil, Samantha terbiasa kehilangan. Hatinya jadi lebih luas dan bersabar. Bukannya nggak kompetitif, dia hanya lebih berlapang d**a. Dia berharap suatu saat Bapak mengerti jalan ini bukanlah pilihannya. Tapi sampai akhir pun Bapak nggak pernah mengerti."
"Tapi kalau saya nggak keras dulu, Sam nggak akan sehebat ini," tukas Narendra, masih berusaha memberi pembelaan.
"Benar. Bapak membuatnya jadi sehebat ini. Tapi Bapak membunuh Samantha yang dulu bersinar di tengah lapangan basket. Yang tersenyum saat bermain gitar di depan ibunya yang bernyanyi. Dan juga membunuh hati Sam saat dia jatuh cinta untuk pertama kalinya."
Han pergi meninggalkan pria tua itu yang masih menatap sendu pada putranya di sana. Tak ingin melarang, Narendra pergi membiarkan Rose masih melepas sedih di pelukan Samantha.
*
Sudah dua hari berlalu sejak kematian ayahnya, Rose lebih banyak diam. Di kamarnya pun, wanita itu menangis penuh penyesalan.
Dia tak menyentuh Ruby, membiarkan putranya itu diasuh oleh seorang perawat profesional yang dibayar Alexander.
Suaminya itu menatap marah pada Rose yang masih berbaring di kasur. Wajahnya pucat, terlihat lemas dan matanya sembab.
Alexander berniat pergi ke kantor, memasang dasinya sambil terus menatap sang istri.
"Mau sampai kapan kamu gini terus?"
Alexander bertanya dengan nada dingin, berdiri di depan cermin dan memandang istrinya itu lewat pantulan benda datar itu.
"Rose!"
Alexander memekik keras. Rose tak tidur, hanya ingin hening saja. Akan tetapi, sikap dingin suaminya itu membuatnya berang. Tak ada nada simpati, pria ini terus saja menuntut ini-itu agar Rose menjalankan kewajibannya.
"Apa kamu pikir dengan nangis gitu, papa kamu bisa hidup lagi?!"
Rose membuka mata, segera beranjak dari duduknya untuk berdiri tepat di hadapan suaminya yang arogan ini. Terpancar kemarahan dan kesedihan di mata Rose.
Lantas, dia berkata, "Bahkan kamu nggak minta maaf untuk semua yang kamu lakukan selama ini padaku. Tega banget kamu ngomong gitu ke aku?!"
Alexander kesal karena Rose meninggikan suaranya. "Maaf? Maaf buat apa? Karena aku nggak ada di sana? Bukannya udah ada Sam yang gantiin aku untuk meluk kamu?!"
Rose kualahan menghadapi kemarahan Alexander. Ditinggalkannya saja pria itu, duduk di tepi kasur.
"Sekarang kita impas, kan? Kamu marah karena aku nyakitin Ruby. Apa aku juga nggak berhak marah karena kamu bunuh papaku?!"
Dituding sekasar itu, Alexander geram. Tak memiliki nyali untuk melampiaskan amarah pada Rose, seisi meja rias hancur saat dia menepisnya kasar.
"b******k! Jangan bikin aku marah, Rose! Atau-"
"Talak aja! Kenapa memangnya?" tantang Rose.
Tentu selama ini Alexander hanya menggertak. Saat ditantang istrinya itu, nyalinya mulai menciut. Amarahnya mereda, tatapannya meleburkan emosi tadi.
"Kamu mau pisah dariku dan selingkuh sama Sam?" tuding Alexander.
Rose hanya mengurai smirk, enggan menjawab suaminya lagi. Pria itu segera keluar sambil menarik jas dan tas dari atas sofa kamar. Langkahnya melambat saat mendapati Samantha keluar dari kamarnya dengan tampilan yang sangat rapi. Memakai kemeja biru muda dengan dasi warna senada cenderung gelap. Jas itu masih disampirkan di lengannya. Langkahnya diiringi Han menuju ruang tengah untuk menemui Narendra.
"Sudah siap?" tanya pria tua itu, tegas.
"Siap, Pak! Dan ini."
Samantha mengeluarkan secarik kertas dari dalam tasnya yang dipegang Samantha. Dibukanya lembaran itu dan menyerahkan ke atas meja. Surat Perjanjian Kontrak Kerja.
"Disitu tertulis bahwa Bapak Narendra Atmadja tidak berhak memberhentikan Samantha Narendra secara sepihak jika tak ditemukan pelanggaran yang dilakukan Samantha yang merugikan perusahaan."
Han tertawa geli melihat tindakan pertama sahabatnya ini. Alexander masih menatap di anak tangga ketiga. Papanya itu hanya tersenyum sambil memainkan bolpoin.
"Itu perusahaan papa, kamu juga akan mewarisinya. Jangan menganggap dirimu orang lain, nanti kerja kamu nggak sepenuh hati. Jadikan perusahaan itu bagian dari hidupmu sehingga kamu akan berusaha keras untuk melakukan yang terbaik," ulas Narendra sambil membubuhkan tandatangan di atas materai itu.
Samantha tertawa kecil, lalu menyimpan kembali kertas itu. "Ya kali aja papa nanti berubah pikiran. Dari dulu aku juga nggak berhak untuk sesuatu di keluarga ini, kan?" sindir Samantha. "Semuanya punya Alex."
Narendra tertegun, tak menanggapi. Lantas, Alexander turun dan ikut bergabung di ruang tengah. Dia memakai jas hitam itu dan memperbaiki dasinya.
"Jangan bicara gitu ke papa. Kayak selama ini papa beda-bedain kita," seru Alexander. "Dia juga sayang Lo, kok. Nggak kayak gue yang harus magang 4 tahun sebelum dapat jabatan direktur di perusahaan, Lo malah bisa jadi wakil direktur dan jadi pimpro cuma dalam waktu semalam. Kinerjanya aja belum keliatan."
Alexander berkata sangat sinis. Dulunya mereka sangat akrab. Mungkin kecemburuan dan perpisahan yang lama membuat hati mereka kian berjarak. Samantha tersenyum, menginjak kaki Han yang seakan kepalanya hampir meledak karena ucapan Alexander.
Samantha mendekati Alexander, sedikit menunduk di hadapan sang kakak.
"Iya. Saya belum punya banyak pengalaman. Mohon bantuannya, Pak Alex!"
Kehangatan sikap Samantha akhirnya melunakkan es di hati Alexander. Narendra tersenyum, menatap keduanya yang tampak gagah dan menjadi putra kebanggaannya.
*
Samantha menjadi buah bibir orang sekantor. Walau tak sesigap Alexander dalam menangani project, Samantha justru disenangi para relasi karena dia sangat pintar bernegosiasi.
Berbeda dengan Alex yang selalu menghabiskan waktu di balik meja, Samantha lebih senang berkeliling untuk memantau ketika tugasnya selesai.
"Pak Arya udah makan siang?" tanya Samantha ketika mendekati meja seorang akuntan itu.
"Belum, Pak!"
"Makan, Pak! Tinggalin dulu itu, udah jam makan siang!" perintahnya dengan sopan.
Hal yang paling mereka ingat ketika Samantha akan berpatroli pada jam makan siang dan sore untuk melarang pekerja melewati jam kerjanya di luar lembur.
"Siang, Pak Sam!"
Tegur para pekerja itu ketika Samantha turun ke lapangan. Tak ketinggalan helm proyek dan juga boots yang dia kenakan untuk keamanan. Dia sedang meninjau lokasi pembangunan sebuah projects yang mereka tangani. Atmadja group memiliki anak bisnis berupa perusahaan konstruksi dan ini adalah project raksasa untuk merampungkan sebuah bangunan mall di akhir tahun.
"Gimana, Pak? Ada kendala?" tanya Sam pada kepala mandor di lokasi itu.
Samantha menutup dahinya untuk melindungi dari sinar mentari.
"Tidak ada, Pak. Semua bahan baku sudah dibeli dengan kualitas terbaik dari supplier baru. Pak Samantha tau saja kalau ada manipulasi budget pembangunan yang dilakukan kepala mandor sebelumnya," kata kepala mandor berkumis tebal itu.
Samantha tersenyum tipis, menepuk sesaat bahu pria itu. "Kalau ada apa-apa, lapor segera ke saya, Pak Aden. Ini tahun terakhir penggarapan pembangunan ini."
Di kejauhan sana, Han tersenyum menatap pribadi Samantha yang cepat sekali mengambil alih project. Dia yang supel dan mudah beradaptasi, lebih sering memenangkan tender dengan relasi baru yang sempat menolak bergabung saat diajak Alexander.
"Bu Sarmila. Lihatlah putramu ini. Ibu benar! Samantha bisa sukses seperti Alex dengan jalan takdirnya sendiri."
Garis hidup Samantha yang dimulai dengan sangat cemerlang. Akankah kisah cintanya juga demikian?
*
Sudah seminggu lebih berlalu, hubungan Rose dan Alexander semakin dingin. Rose mulai beraktifitas seperti biasa : merawat Ruby, menyiapkan kebutuhan Alexander mulai dari pakaian dan isi perut, juga membereskan kamar dan dapur. Akan tetapi, tak ada kata manis yang menjembatani mereka.
"Mau sampai kapan kamu diemin aku gini, Rose?" tegur Alexander setelah mereka naik ke tempat tidur.
Tak ada sahutan. Sebenarnya Rose hanya ingin menuntut maaf Alexander akan keegoisannya. Akan tetapi, suaminya itu tak merasa bersalah hingga dia harus minta maaf.
"Rose," panggil Alex sambil mengusap paha Rose, lalu mencium bahunya.
Masih tak ada respon. Alexander pun bangkit, merangkak lebih dekat ke arah Rose hingga dia tepat berada di atas wanita itu. Kedua tangannya menyanggah di sisi lengan Rose. Dihapusnya segala kemarahan Rose dengan menciumnya mesra.
Tak ada balasan dari Rose saat tangan suaminya itu mulai melepas satu persatu kancing pijamanya. Alexander ingin sentuhan mesra. Tak peduli meski Rose menyambut dingin, malam itu Alexander menikmati senggama mereka. Dia yang begitu ingin punya keturunan lagi.
*
Hari-hari berlalu dengan cepat. Meski serumah, Sam dan Rose sangat jarang bertemu. Sam pergi saat Alex juga berangkat. Lalu kembali juga bersama sang kakak. Tak ada ruang di mana mereka bisa menghabiskan waktu bersama.
Sebulan telah berlalu. Mengurus Ruby dan keluarga kecilnya menjadi kegiatan sehari-hari Rose. Saat bangun pagi, dia melihat Alexander meletakkan sebungkus test pack di atas meja lampu. Berharap pagi ini, ada kabar baik datang dari Rose.
"Dia pasti suntuk kalau tau gini."
Bukan mendapatkan garis dua pada benda pipih panjang itu, pagi itu Rose menstruasi. Padahal dia sempat berharap karena menstruasinya sudah lewat seminggu. Ternyata siklusnya saja yang terlambat.
[Sayang, kutunggu kabar baiknya.]
Ada notes itu di sisi test pack. Rose membersihkan diri di toilet. Selang beberapa menit saat dia ingin mengambil sesuatu di dapur, bibi tua itu mendekati Rose sambil menyodorkan secarik amplop.
"Apa ini, Bi?" tanya Rose.
"Aduh, maaf, Nyonya. Bibi kelupaan. Kemarin itu ada surat. Cuma karena semua lagi sibuk-sibuknya, Bibi lupa ngasih ke Nyonya. Ini ada surat dari rumah sakit."
Rose mengambil benda itu, menatap logo pada amplop putih. Nama seorang dokter ginekologi itu ada di sudut atas amplop.
"Pemeriksaan waktu itu."
Rose pun ke kamar untuk membuka hasil test itu. Duduk di tepi kasur, tangannya gemetar menatap satu per satu deretan kata. Indikasi masalah reproduksi pada salah satu dari mereka itu terpampang jelas di sudut bawah laporan.
"Nggak, nggak mungkin."