Jalan yang Kupilih

1217 Kata
Mereka berdua baru saja tiba satu jam setelah kepulangan Bi Lilis. Setidaknya, rumah kembali bersuara. Suara yang sebenarnya tidak ingin kudengar sama sekali. Lelaki itu, yang berperawakan besar dan kekar berhamburan memeluk tubuh Nyai begitu ia sampai. Sementara, perempuan yang datang bersamanya berhambur memelukku yang juga ikutan menangis karena melihat mereka berdua melakukan hal itu. Wak Ending baru tiba dari Kalimantan tanpa sempat melihat wajah kedua orang tuaku untuk terakhir kalinya. Perjalanan jauh membuat waktunya terkuras dan lama sampai ke tempat tujuan. Itu yang ia sesali. Tapi mau bagaimana lagi? Aku yang tidak ikut bersama mereka pun menyesal dengan apa yang terjadi. Lelaki itu berkata pada Nyai bahwa ia hanya dapat bermalam selama tiga hari. Di rumah yang cukup besar ini, tidak lagi begitu sepi karena kami berempat berkumpul untuk melepas kepergian Ibu dan Bapak. Setidaknya ada luka yang kami rasakan bersama, meskipun patah hati yang aku alami jauh lebih hebat. Aku banyak melamun. Rasanya seperti jiwaku hilang separuh, turut terkubur di dalam tanah seperti jasad mereka yang mungkin sekarang sudah jadi makanan cacing. Kenapa mereka harus pergi dengan tiba-tiba? Aku bahkan belum mengucapkan salam perpisahan yang layak. Nyai berkata bahwa itu adalah takdir. Mau tidak mau, aku harus merelakannya meski hatiku berat melakukan hal tersebut. Aku tidak sekuat batu karang yang terhantam ombak di pantai. Meskipun pada akhirnya, air mataku tidak lagi membanjiri pipi karena sudah lelah menangis, sorot mata tidak pernah berbohong untuk mengatakan bahwa aku tidak baik-baik saja. “Sudah waktunya mereka untuk kembali. Suka tidak suka, semua yang ada padamu sekarang adalah apa yang Tuhan pinjamkan untukmu, yang sewaktu-waktu boleh Tuhan ambil dan kita tak berhak marah atas hal tersebut.” Begitulah yang dikatakan istri dari Wak Ending di esok harinya, saat ia membungkus besek untuk acara tahlil tadi malam. Tuhan memang lebih berhak. Aku tidak marah pada Tuhan. Tapi, mengapa Ia mengambil mereka saat aku masih membutuhkannya? Aku tidak mengerti mengapa Tuhan berlaku demikian. Apakah aku telah melukai hati Tuhan, hingga ia tega membuatku terluka balik? “Ia tidak akan memberikan kesulitan di atas kemampuan. Itu karena Ia tahu, kau bisa melaluinya.” Lagi-lagi, perempuan itu berkata. Aku seperti mendengar seorang motivator berbicara di depan banyak orang. Benar memang yang ia katakan, tapi saat ini, aku benar-benar tidak ingin mendengar kata-kata bahwa aku akan baik-baik saja sementara kenyataannya aku tidak demikian. Hari kembali gelap. Setelah seharian menghabiskan waktu untuk memikirkan tentang Tuhan yang aku pikir tak adil karena telah mengambil mereka, aku kini duduk di lawang pintu dengan kerudung yang aku lilit kan di kepala. Mendengar suara mengaji yang memenuhi seisi ruang, yang nantinya akan kudengar setiap malam selama tujuh hari. Katanya, ini untuk meringankan mereka di alam sana. Lalu, bagaimana untuk meringankan bebanku? Setengah jam berlalu. Setelah pembacaan tiga surah penutup, akhirnya kami mengestafetkan besek yang tadi siang sudah kami siapkan. Aku tidak sengaja mendengar dua anak kecil berbincang setelah mereka memegang besek di tangan mereka. Saat hendak memakai sendal, mereka berbisik satu sama lain. “Katanya nih, kalau mati tabrakan, bakal jadi setan.” “Ih, serem.” Ya Tuhan. Begitu yang mereka katakan tentang orang tuaku yang bahkan telah kembali padaMu. Mengapa kau ambil mereka dengan cara demikian hingga anak-anak itu berkata yang tidak-tidak. Segera, ku tutup pintu dengan keras. Tak peduli jika mereka akhirnya kaget dengan apa yang kulakukan, lalu bergegas pulang. Tujuh hari telah berlalu dengan cepat. Wak Ending dan istrinya yang harus kembali karena tuntutan pekerjaan, telah meninggalkan kami tiga hari yang lalu. Ia memberiku beberapa lembar uang seratus ribu, katanya untuk bekal selama di sini. Ia juga mengajakku untuk ikut bersamanya, tinggal di Kalimantan. Ia bahkan siap memesan tiket pesawat, agar aku bisa menyusul mereka ke sana. Namun, Nyai terlihat tidak suka. Ia yang akan membawa pulang anak yatim piatu ini ke rumahnya. Aku mengemasi barang-barang yang akan kubawa seperlunya. Tidak sanggup rasanya jika harus hidup dengan bayang-bayang ibu dan bapak setiap hari. Benar kata Bi Lilis bahwa aku harus mengobati luka dengan berpergian ke tempat baru. Jadi, ku terima tawaran Nyai untuk tinggal bersamanya di desa. Terakhir kali, aku mengunci pintu. Rumah ini akan sempurna kosong begitu aku pergi. Lama, aku terdiam memandang untuk mengulang sedikit demi sedikit kenangan yang ada di tiap sudut. Aku melihat bagaimana ibu dan bapak tertawa di kursi tua itu saat kami berbincang bersama di suatu sore. Sementara, Nyai dengan sabar menungguku di belakang. Dua jam sudah, akhirnya kami turun di stasiun yang kami tuju. Setelah sekian lama tidak lagi menaiki kereta, hari ini aku melakukannya bersama Nyai. Tiba-tiba rasa haus menggerogoti tenggorokan ku. Aku berkata pada Nyai untuk menungguku sebentar di kursi panjang yang juga dipenuhi para penumpang. Lalu, berlari ke toko kecil di sekitar stasiun untuk membeli air mineral. Begitu aku kembali, ada yang menarik perhatian. Seorang anak lelaki tengah bermain di dekat peron. Tubuhnya yang tambun membuatnya terlihat menarik. Ia memegang sebuah bola di tangannya. Kemudian, bola itu menggelinding ke rel kereta. Dengan cepat, tanpa pengawasan orang tuanya, ia berlari mengambil bola tersebut. Seketika aku berteriak. Naas, anak lelaki itu sudah tertabrak. Semua orang berkerumun begitu hal tersebut terjadi. Begitu pun Nyai yang bangkit dari tempat duduknya, menghampiri aku yang hampir terduduk lemas. Mengapa kematian demi kematian harus ku saksikan? Tubuhku lemas. Seketika ambruk bagai tulang kakiku diambil keduanya. Tidak sanggup lagi untuk berdiri karena melihat hal itu terjadi. Sementara Nyai dengan cepat berlari ke arahku. Nyai melambai-lambaikan tangan. Ia memegang pundakku. Semua mata terlihat mengarah ke arah kami. Seketika aku merasa ada yang janggal. Setelah memberanikan diri untuk mendongak, demi melihat anak tambun yang tertabrak kereta tadi, akhirnya aku bisa menegakkan kepala. Namun apa yang terjadi? Seolah tidak terjadi apapun di sana. Yang ada hanya mata mereka yang memandangi kami dengan aneh. Setelah kami terdiam beberapa waktu yang menjemput kami telah tiba dan menunggu kami di depan stasiun. *** “Maaf ya, Gis. Nia kemarin teh tidak ikut ke rumah. Turut berduka atas kepergian Mamang dan Bibi.” Itu adalah Nia. Seorang gadis yang usianya di atasku dua tahun. Anak bungsu dari Nyai yang ikut menjemput kami bersama A Entis di stasiun. Aku hanya terdiam. Menjawab pertanyaannya dengan anggukan. Masih merasa kaget atas apa yang kulihat baru saja. Meskipun kenyataannya tidak terjadi apapun di sana. Bagaimana mungkin aku bisa berhalusinasi yang tidak-tidak? Apakah karena kesedihan yang berlebihan? Mobil tua itu melaju menuju jalan kecil yang mungkin hanya cukup untuk satu mobil saja. Di kiri kanan jalan, hanya terlihat pohon-pohon rimbun seperti hutan yang biasa aku dan teman-teman gunakan untuk berkemah. Suasana di sini memang begitu asri. Masih banyak pepohonan, tidak banyak lahan industri dan rumah-rumah kaca seperti di tempat tinggal ku. Aku menghabiskan waktu untuk menatap ke luar jendela. Membukanya sedikit agar udara segar itu masuk dan menerpa wajah lelahku. Tapi, A Entis yang melihat aku melakukan hal demikian tiba-tiba menatap tajam dari spion tengah. “Jangan dibuka kacanya, Gis!” katanya. Meskipun aku tak tahu apa alasannya berkata demikian, akhirnya aku turuti saja. Lagi pula, ini memang mobilnya. Namun, begitu kunaikkan kaca jendela hingga tertutup rapat kembali, aku melihat sesuatu yang menggantung di antara pepohonan. Seorang wanita dengan rambut yang tertutup. Dengan gemetar aku menyikut tubuh Nia yang duduk di sebelahku sambil menolehkan kepala ke belakang. “Nia, kamu liat gak tadi ada perempuan yang ngegantung di sana?” Ia turut menoleh kan kepala ke belakang. Namun, perempuan itu telah lenyap entah ke mana. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN