Kebon Tembang

1193 Kata
Mobil yang kami naiki akhirnya berhenti di depan halaman rumah yang memiliki desain kuno. Terlihat berbeda dengan rumahku, tempat ini terasa lebih begitu mendesa. Lalu, Nyai mempersilakan aku masuk ke rumahnya. Pintu dari kayu itu bahkan masih menggunakan selot sebagai pengunci. Tidak seperti rumahku yang memakai kunci di bawah pintu. Di balik jendela, gorden berwarna merah maroon menjadi penutup, menghalangi jaring-jaring yang melapisi jendela kaca berbingkai kayu. Wanita itu menyuruh Nia untuk mengajakku ke kamar. Merapikan semua pakaian yang kubawa dalam tas besar. Kamar kami, begitu aku menyebutnya karena Nia berbagi kamarnya denganku, terletak di paling depan. Dekat dengan pintu utama yang masih diselot kayu itu. Ranjang dari besi, diselimuti kelambu di atas sisian ranjangnya terlihat benar-benar seperti cerita jaman dahulu. Aku tidak berpikir bahwa tempat ini tidak berubah sama sekali, setelah beberapa tahun yang lalu aku mengunjunginya dengan bapak dan ibu. Nyai benar-benar antik. Lemari yang kupikir ada di kamar rupanya tidak. Kamar itu hanya menyimpan sebuah ranjang dan meja rias. Tidak ada lemari di sana. Lemari baju kami letaknya di belakang, bersebelahan dengan kamar Nyai yang juga memiliki ranjang berkelambu. Biasanya Nyai akan tidur di sana bersama Abah. Namun, entah kenapa sejak aku menangisi kematian kedua orang tua, sampai aku tiba di sini, sosok lelaki tua itu tak terlihat sama sekali. Abah adalah suami Nyai. Meskipun jarak usia mereka sangat jauh, tapi sepertinya mereka tampak seperti cinta sejati. Lagipula, meskipun Abah sangat berumur, ia masih segar bugar dan gagah. Hanya rambut-rambut di kepalanya lah yang memutih. Setelah memasukkan semua baju ke dalam lemari, aku merebahkan tubuh di ranjang. Menatap langit-langit kamar yang tidak menggunakan tralit atau apapun itu yang menutupi antara atap dan kamar. Jadi, rangka-rangka dari kayu itu bisa kulihat dengan jelas. Tiba-tiba, Nia menghampiriku dengan sepiring kecil kue ali. Makanan khas Sunda yang sangat aku sukai. Berbentuk bulat seperti cincin yang manis. “Terima kasih, Nia.” Meskipun umurnya lebih tua dariku dua tahun, gadis itu tidak ingin dipanggil teteh. “Cukup nama saja, ameh ngerasa muda,” katanya. Kami banyak mengobrol. Ia bercerita tentang teman-temannya di sekolah yang mungkin nanti akan menjadi sekolahku juga. Ia juga bercerita tentang bagaimana pusingnya ia menerima banyak tugas karena sudah kelas tiga SMA. Sebentar lagi, Nia akan lulus dari sekolahnya. Sementara aku masih di kelas satu. Itupun, kalau Nyai berniat buru-buru mendaftarkanku sekolah lagi. “Oh, iya. Perasaan aku enggak liat Abah dari tadi. Ke mana ya?” Nia mengambil satu kue cincin di piring dan menggigitnya. Sama sepertiku, ia juga sangat menyukainya. “Oh, Abah di makam Bagja udah tiga hari ini.” Makam Bagja? “Ngapain?” Nia tertawa melihat perubahan ekspresi di wajahku yang begitu kaget. Siapa juga yang enggak bakal kaget? Untuk apa Abah pergi ke tempat pemakaman berhari-hari? “Kenapa atuh meuni kaget gitu kamu, Gis?” Gadis di depanku ini tertawa seolah-olah hal itu adalah hal yang wajar. Tapi tidak bagiku. “Abah teh lagi ke rumah kerabatnya. Kebetulan kerabatnya itu Kuncen Makam Bagja. Jadi weh Abah teh ke sana.” Aku mengangguk-angguk. Merasa paham atas penjelasan Nia. Lalu, perempuan yang lebih tua dariku itu tiba-tiba mendekatkan diri. “Kamu tadi teh beneran lihat sesuatu di Kebon Tembang?” Aku menaikkan alis. Kebon Tembang itu mana? “Kebon Tembang?” “Iya, hutan yang tadi kita lewatin itu lho, Gis. Itu teh hutan penelitian dulu. Di tengah hutan juga ada laboraturium tempat para peneliti. Suka ada monyet gede yang kabur dari sana.” Oh, hutan penelitian rupanya. “Terus sekarang masih ada para penelitinya?” Perempuan itu menggelengkan kepala. “Teu apal. Ceunah sih masih ada. Tapi da warga sini jarang ada yang kebetulan lihat. Apalagi sejak Kebon Tembang jadi tempat favorit.” “Tempat favorit anak-anak muda, Nia? Buat photoshoot ya?” Dengan cepat Nia menggelengkan kepalanya. “Bukan, Gis. Tempat favorite buat pembunuhan sama bunuh diri.” Enteng sekali gadis itu berkata demikian. Seolah hal itu sudah biasa terjadi di sana. Di hutan yang menurutku memang terlihat seram. Tak terbayang kalau malam hari, tidak ada satu pun lampu jalan yang menerangi tempat itu. Kalau pun ada, hanya remang-remang dan kata Nia kadang tidak berfungsi sama sekali. Maka dari itu, tidak ada satu pun orang yang berani ke sana kalau malam sudah tiba. “Jadi, di sana beneran pernah ada yang mati?” Gadis di depanku ini menganggukan kepala. Sekali lagi, ia mencomot kue yang ada di piring. “Belum lama ini.” Mendengar jawaban dari mulutnya, aku makin mendekatkan diri. Sepertinya ini adalah sebuah cerita yang harus aku ketahui. Apakah perempuan yang kulihat tadi benar-benar seseorang yang telah tewas beberapa hari lalu? Jadi, sosok itu sedang menampakan diri padaku? “Sekitar jam seginian da perasaan teh.  Si Nanang teh pake sepeda, berenti di depan rumah. Kebetulan lagi pada ngumpul, ngararujak. Seger pisan. Terus si Nanang teh bilang, ‘Nyai, Teteh, Emak sadaya, aya mayat di Kebon Tembang!’ Begitu. Nya atuh rame jadinya pada tanya-tanya.” “Terus?” “Katanya teh mayatnya perempuan. b***l alias talanjang! Di talian ka tangkal yang paling besar. Yang nemuin teh Mang Warso, beliau teh biasanya jalan ke kebun mede jam segitu. Suka ngambilin kacang. “ “Berati perempuan itu dibunuh?” Nia mengangguk-angguk kan kepalanya. “Kayanya sih, diperkosa dulu sebelum dibunuh. Soalna bajunya juga ada di situ, warna merah. Cuma, warga sini mah engga ada yang kenal. Katanya sih warga luar.” Tiba-tiba perempuan itu mendekat ke wajahku. Ia berbisik di telinga, “Katanya mah PSK, tau kan? Itu yang kerjanya ngelayanin lalaki teu bener!” “Neng!” Seketika kami berdua kaget. Aku yang sedang serius mendengarkan Nia tentang pembunuhan di Kebon Tembang itu dikejutkan oleh kedatangan Nyai yang sangat tiba-tiba. Wanita tua itu sudah berdiri di ambang pintu. Wajahnya datar seperti biasa. Rasa deg-degan masih memenuhi dadaaku. “Mandi. Sudah sore. Nanti keburu gelap.” Aku menoleh ke arah Nia, seakan melempar pertanyaan pada gadis itu tanpa perlu ber kata-kata lagi. Kenapa kita tidak boleh mandi setelah gelap? Takut rematik? Nia mungkin paham maksud tatapanku, tapi gadis itu malah menatap Nyai dan melakukan percakapan tanpa suara seperti yang sedang kucoba lakukan dengannya. Gadis itu tidak menjawab pertanyaanku dan hanya mengangguk begitu melihat Nyai menggerakkan kepalanya sedikit, seolah menyuruhnya untuk cepat-cepat mengikuti suruhan wanita tua itu. Nia bangkit dari kasur. Meletakkan piring yang kini sudah kosong karena kue cincin itu sudah kami habiskan. Lalu, menarik tanganku untuk ikut dengannya. Ia mengambil baju di lemari dan handuk yang menggantung di kawat, dekat lemari jati tua yang sangat besar itu. Akhirnya, tanpa mendapatkan jawaban dari Nia, aku hanya bisa mengikutinya. Perempuan itu membawaku ke lorong kecil di sebelah rumah. Beberapa tahun yang lalu, aku memang sempat bermain di sini. Hanya saja, aku tak pernah ke kamar mandi. Kami hanya sebentar, sejenak singgah dari perjalanan. Aku mengedar pandang begitu sampai di tempat yang kata Nia adalah dapur dan kamar mandi. Sebuah ruangan setengah terbuka yang di tengah-tengah nya ada sumur tua. Di sudut kanan, ada tungku api dari tanah liat beserta tumpukan kayu bakar. Dan di sisi lain, terdengar suara sapi dan kambing. Kupikir di sana ada kandang hewan ternak. Benar-benar luar biasa tempat ini. Apakah aku sanggup tinggal di tempat yang sangat jauh berbeda dengan milikku dulu? 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN