Bab 32 : Salah Target

2229 Kata
Keadaan mansion seketika ricuh setelah salah satu maid atau pelayan kejang-kejang tidak sadarkan diri. Beberapa penjaga yang bertugas mengamankan mansion pun semakin memperketat pengawasan karena ini bisa saja sebagai bentuk ancaman yang datang. Adi berdiri tegak di pilar dapur menatap beberapa pelayan yang membantu pelayan itu dengan susah payah, tanpa merasa iba atau kasian Adi berlalu dari sana bahkan meninggal kan sebagian keluarga yang masih terlihat khawatir dengan kondisi pelayan itu. Sesampai nya di ruang tengah ia langsung disuguhi sebuah pemandangan diskusi yang mampu mengeluarkan sisi keji nya. Lihat saja, di saat salah seorang pelayan yang sudah mengabdi bertahun-tahun dengan mereka sedang berjuang mempertahankan nyawanya, di sini sang tuan dengan tidak tahu diri nya malah masih asyik memperbaiki nama keluarga kalau sampai pelayan itu meninggal. Tak ada rasa khawatir sedikit pun dengan pelayan itu yang membuat Adi langsung tersadar dari mana datang nya sifat yang satu ini, sungguh benci harus mengakui nya tapi memang ini berasal dari gen pamungkas. "Gimana? Kalau sempat dia gak ada bisa-bisa nya keluarga ini bakal jelek." "Gak akan, lagian gak ada bukti." Semua orang di sana tampak mengangguk, ia sedikit heran lantaran tidak menemukan pria paruh baya yang menjadi pemimpin keluarga ini. Ke mana pergi kakek nya itu? Sebenarnya sebelum semua ini terjadi, Adi sudah mengetahui rencana itu. Rencana di mana dengan keji om dan tante nya berniat melenyapkan ia dari muka bumi ini. Minuman jus yang tadi dibawakan oleh pelayan khusus ke kamar nya, Adi awalnya ingin meminum itu sebelum melihat ada tekstur lain saat ia menggoyangkan. Bila biasanya jus apel hanya memiliki ampas sedikit kini tampak serbuk putih yang mengambang dan jatuh ke dasar gelas. Mencoba meyakinkan dugaannya. Adi menghampiri pelayan yang tadi membawakan jus ini dan memerintahkan wanita itu untuk meminumnya. Dan Gotcha! Jus itu sudah diberi campuran. Beruntung dirinya tidak sebodoh itu untuk tidak menyadari apa yang terjadi, lagian tidak mungkin ada yang seperhatian itu memberinya jus bahkan tanpa diminta. Sudah tentu itu memiliki niat terselubung. Kevin menatap ke arah kepergian Adi, apa sepupunya itu tahu masalah ini? Dan karena itu tidak mau meminum jus apel yang tadi di berikan? "Di, adi! Tunggu!" Adi menghentikan langkah nya tanpa melihat ke arah Kevin. "Lu tahu masalah ini?" Tanya Kevin dengan serius. Percaya lah, kevin yang biasanya slengekan saat ini menjadi Kevin mode serius. Adi tidak menjawab, melainkan hanya diam dan melanjutkan langkah menuju kamar nya. Meninggalkan Kevin yang sudah mendesah frustrasi menyesali takdir nya yang harus memiliki sepupu seperti Adi ini orang nya . Di bawah keadaan masih tetap sama seperti tadi. Meski pelayan yang kejang itu sudah dibawa ke rumah sakit, tetap saja keadaan mansion tidak bisa stabil seperti biasanya. Bahkan para Tante kakek dan om nya melakukan rapat dadakan di ruang kerja sang kakek.. Dari pada ia bingung sendiri di sini, Kevin pada akhirnya memutuskan untuk keluar dari mansion mencari udara segar. Berbeda dengan Kevin, Adi sendiri memilih untuk mengistirahatkan tubuhnya tanpa memperdulikan apa yang baru saja terjadi. Ia sudah mengantisipasi hal ini sejak sebelum memutuskan untuk tinggal bersama di mansion. Tapi tentu saja tak urung membuat dirinya terkejut setengah mati karena ini lebih cepat dari dugaannya. Dan siapa yang telah berusaha melenyapkan nya itu? Tok! Tok! Tok! Adi membuka pintu kamar nya dengan ogah-ogahan. Ia bisa melihat seorang pelayan yang menunduk tidak berani menatapnya. Dengan alis terangkat satu ia bertanya ada apa gerangan sampai pelayan ini mengetuk pintu kamar nya? "Permisi, Tuan. Anda dipanggil ke ruang kerja, Tuan." Adi mengangguk tanpa menjawab sama sekali, ia mendahului pelayan itu dan turun menuju ruang kerja sang kakek yang berada di lantai dasar. Tanpa mengetuk pintu sama sekali, Adi langsung nyelonong masuk dan melihat formasi lengkap keluarga pamungkas minus paman Rendy dan juga ayah nya. Tidak menunggu dipersilahkan ia duduk dengan tenang mengacuhkan tatapan tidak suka dari sebagian orang di sana. "Adi, kamu pasti tahu kenapa kakek panggil ke sini?" Tanya pamungkas. "Gak." "Gak mungkin kamu tidak tahu, ini semua menyangkut kamu!" Adi melirik orang yang baru saja berteriak ke arah nya. Tapi peduli setan, ia hanya ingin keluar dari ruangan terkutuk ini. "Adi, kejadian tadi tentunya ada sangkut paut ke kamu. Karena kamu yang memaksa pelayan itu untuk minum Jus nya." "Terus kalau gue yang maksa?" "Secara gak langsung kamu terlibat dalam hal ini." "Hahahaha... Serius? Ini pemikiran seorang pamungkas yang terkenal cerdik?" Tanya adi dengan smrik andalannya. Ia menatap remeh sang kakek lalu matanya melirik para manusia biadab yang menatapnya dengan intens seolah menunggu pengakuan dari nya. "Gue gak terlibat!" Tekan Adi dengan tegas. Ia berdiri tapi langsung dicegah kakeknya. "Duduk! Masalah ini gak akan selesai kalau kamu emosi." "Dan gue gak peduli." Adi masih tetap berdiri. "Harusnya yang diperiksa itu siapa yang ngasih jus apel ke gue. Secara gak langsung itu jus sengaja dibuat untuk gue kan? Tapi karena bodoh jadi gak tepat sasaran." Sambungnya. "Lantas kenapa kamu tahu kalau jus itu mengandung zat berbahaya? Padahal seharusnya sudah larut bersama dengan jus apel." Gocha! Tikus masuk perangkap. Sekarang Adi sudah tahu siapa sebenarnya dalang di balik kejadian ini. Terlihat dari wajah itu sudah mengkerut dengan bola mata yang tidak tenang. Persis seperti orang yang panik dan tengah menyembunyikan sesuatu. "Jangan bodoh! Orang buta juga bisa lihat itu jus sudah diberi tambahan bumbu." Sinisnya. "Halah pasti itu hanya akal-akalan kamu aja." "Terserah! Itu bukan urusan gue masalah kepercayaan orang." "Adi, jawab dengan serius!" Tekan pamungkas yang merasakan jika situasi mulai memanas antara cucu dan anaknya. Di umur yang sudah tua renta ini ia bahkan harus mengurusi masalah yang tak kunjung selesai, jika boleh memilih ia ingin hidup biasa saja seperti anaknya Rendy dari pada hidup serba ada tapi merasa tak tenang sama sekali. "Gue tekan kan sekali lagi! Siapa pun yang mau menjebak gue, gak semudah itu. Dan inget, gue satu-satunya pewaris kerajaan ini, kalian semua gak ada hak!" Adi keluar dari ruang kerja setelah mengucapkan kalimat tersebut, baginya tak ada lagi yang mau ia ucapkan. Semua sudah cukup jelas. Orang yang ingin ia cari tahu juga sudah ia dapatkan. Tinggal menyusun rencana untuk membalas dendam saja. "Mau bermain ternyata. Boleh, ayo bermain." Gumam nya menatap ke arah foto keluarga pamungkas yang ada di ruang tengah. *** Keesokan paginya, Adi terbangun saat keadaan masih gelap gulita, sepertinya ini masih pukul 5 pagi, Pikirnya. Meregangkan kedua tangannya sejenak lalu bangkit menuju kamar mandi membersihkan badan. Hari ini ia akan berangkat sekolah lebih cepat dari biasanya. Sengaja hanya untuk memancing keluarga pamungkas itu berpikir yang buruk tentang nya. "Tuan muda, mau sarapan sekarang?" Tanya seorang pelayan begitu melihatnya turun menuju meja makan. Adi sedikit mengangguk. Di bahu nya sudah ada tas dan dasi yang ia sampirkan. Lalu duduk dengan tenang menunggu para maid mengurus sarapannya yang kecepatan. "Ini tuan muda, ada lagi tuan?" Adi menggeleng. Ia menatap piring di depannya yang berisi nasi goreng" Jika tuan muda membutuhkan sesuatu panggil aja salah satu dari kami." "Tunggu!" Pelayan itu yang awalnya sudah berjalan menjauh kembali menghampiri Adi dengan tergopoh-gopoh. Adi menyodorkan sendok ke arah pelayan. "Makan!" Titah nya begitu melihat raut wajah kebingungan wanita itu. Dengan wajah yang takut dan segan, wanita itu memakan sesendok nasi goreng yang tadi dibuatnya. Adi melihat pelayan itu dengan seksama memantau beberapa menit reaksi setelah memakan nya. Setelah di rasa aman dan tidak menunjukkan adanya kejanggalan. Adi mengibaskan tangan mengusir pelayan itu dengan cepat. Ia makan dengan khidmat tanpa merasa terganggu dengan para pelayan yang hilir mudik dengan segala kesibukannya. Setelah sepiring nasi goreng habis. Adi segera menandaskan air minum miliknya dan berlalu meninggalkan mansion untuk menuju ke rumah nya terlebih dahulu baru akan ke sekolah jika waktunya sudah mepet. Tanpa Adi ketahui, pamungkas menatap segala aktivitas cucu nya dari lantai dua dan mengikuti Adi dari balkon sampai Adi berangkat menggunakan motor kesayangannya. Ia tersenyum pelan kala ingatannya memutar kembali moment di mana Widyo ngambek dan memutuskan untuk pergi sekolah lebih awal, sama seperti anaknya. "Like father, like daughter." Gumamnya pelan. Di jalanan Adi memacu motornya dengan kecepatan penuh, kebetulan jalanan sedang lenggang sehingga tidak menyulitkan nya ketika seperti ini. Tak sampai satu jam ia sudah sampai di halaman rumah nya yang tampak bersih meski telah ia tinggal beberapa hari. Sengaja ia tidak memberhentikan art dan juga tukang kebun kepercayaan kedua orang tuanya sehingga rumah ini tetap terawat meskipun tidak ditinggali dalam waktu yang lama. "Den, pulang?" Tanya pak Didit tukang kebun sekaligus satpam yang bertugas menjaga rumah . Adi mengangguk lalu tersenyum dan menyalam tangan keriput Didit. Tangah itulah yang banyak membantunya selama ini. "Saya masuk dulu," ucap nya singkat. Sesampai nya di dalam ia tidak menemukan keberadaan asisten rumah tangga nya di mana pun, apa karena ia pulang tidak memberitahu sama sekali sehingga Bibik yang sudah ia anggap sebagai ibu itu tidak terlihat di mana pun. Adi membuka pintu kamar milik art nya dan menemukan perempuan paruh baya yang sangat dekat dengannya itu masih tertidur dengan lelap,.merasa tidak tega jika membangunkan beliau, adi memilih membiarkan dan berjalan menjauhi kamar tersebut menuju kamar miliknya. Sesampainya di kamar, melepas seragam yang tadi ia pakai. Adi merebahkan diri di atas ranjang besar miliknya. Hari ini ia akan membolos sekolah lantaran ada yang harus ia urus bersama geng motornya. Akh! Ia baru ingat belum menghubungi aksara. "Ak, kumpulin anak-anak segera." Titah Adi begitu sambungan telpon nya terhubung dengan aksara. "Anjing emang lu! Liat jam dong akh!" "Gak mau tau!" "b*****t! Adi Taik." Tut... Adi malas mendengarkan ocehan tidak bermutu milik aksara. Lagian masa bodo dengan jam tidur teman nya, siapa suruh belum bangun. Itulah Adi, dengan segala keegoisannya dan juga titah yang tidak bisa dibantah. "Den, den Adi." Panggil seseorang dari luar kamar nya. Menyadari jika itu adalah bibi nya Adi segera bangkit menuju pintu kamar. "Ada apa bi?" "Kirain si mamang bohong kalau Aden pulang. Aden jam berapa sampe? Udah sarapan?" Adi mengangguk dengan senyuman yang tidak luntur dari wajahnya. "Udah sarapan tadi di mansion. Bibik gimana? Sehat kan?" "Alhamdulillah sehat, Den. Yaudah, Aden mau dibuatin apa? Biar Bibik buatin." "Adi cuma mau dipeluk sama Bibik." Dengan lembutnya Bibik yang sudah ia anggap sebagai orang tua nya itu memeluk nya dengan erat dan sarat akan kasih sayang. "Den Adi sehat terus yah, jangan sakit. Di mansion harus tetep tahan emosi dan sabar. Gimana pun mereka itu keluarga Aden." "Gak bisa, Bik. Setiap ke mansion itu Adi selalu merasa di neraka dan tidak suka sama sekali. Adi benci mereka yang buat ayah bunda pergi." "Den, kepergian tuan sama nyonya itu udah takdir, mau gimana pun cara kepergiannya tetap saja itu takdir yang gak bisa Aden ubah. Tugas Aden sekarang itu ikhlaskan walaupun berat, jangan mendendam yang ada nanti Aden yang merugi." Adi hanya diam dengan menyurukkan wajahnya ke bahu wanita paruh baya yang sudah bersama dengannya sejak dulu kala. "Aden siap-siap mau sekolah kan?" Adi menggeleng pelan "Enggak, Adi mau ada urusan sama anak-anak motor." "Ya udah gak papa, Yang penting jangan sampai bahayain diri sendiri. Denger?" "Siap bos!" Keduanya terkekeh geli melihat interaksi dan obrolan yang baru saja terjadi, sangat absurd tapi Adi menyukai nya. Hanya kepada Bibik lah ia bisa bertingkah layaknya seorang anak dengan ibu nya. Bahkan dengan ibu Kevin yang notabennya adalah orang yang merawat nya dulu tidak bisa selepas ini. Mungkin karena ada Kevin yang membuat Adi membatasi diri agar tidak mengambil kasih sayang ibu dari anak yang lain. "Ya udah, Bibik ke belakang dulu. Mau beres-beres sama masak sarapan. Si Manang belum makan nanti ngamuk." "Hahaha... Ada-ada aja, Bik. Adi bilang sama mamang nih yah." Bibik hanya terkekeh lalu pergi ke ara dapur dengan wajah yang berubah menjadi sendu. Ia tahu anak majikannya itu sangat kesepian sekaki meskipun masih memiliki keluarga besar. Secara materi mungkin ia tidak kekurangan, tapi kasih sayang? Adi tidak mendapatkan itu sepenuhnya. Entahlah, kenapa takdir begitu kejam kepada anak seperti Adi dan mengubah remaja itu menjadi bengal dan penuh dendam. Ia bukan tidak tahu jika Aden nya yang sudah seperti anak sendiri merencanakan sesuatu untuk membalas dendam atas kematian kedua orang tuanya. Ia akui memang jika dirinya berada di posisi Adi akan melakukan hal yang sama. Tapi jujur dari dalam hati ia tidak yakin jika kecelakaan itu adalah konspirasi seperti yang Adi katakan beberapa waktu yang lalu. "Den Adi mana Bu?" Tanya si Mamang yang tak lain adalah suami dari Bibik. Kedua nya sudah mengabdi pada keluarga Adi sejak tuan dan nyonya ya menikah dan pada saat kecelakaan itu rasanya Bibik seperti kehilangan lentera di rumah ini, seketika suasana rumah yang hangat berubah seiring waktu menjadi lebih dingin dan penuh dengan ketegangan. Terlebih ketika tuan besar pamungkas ikut campur dan membuat Adi meradang. "Kasian Aden, Pak. Tinggal di rumah sebesar ini juga pasti rasanya sangat sepi." "Tapi kan Aden udah di mansion tuan besar, jadi di sana pasti ramai." Bibik menghela nafas lalu melihat air yang sudah mendidih dan menyeduh teh untuk suaminya. "Bapak tahu sendiri gimana keluarga yang di sana, bukan bahagia yang ada malah sakit terus anak nya. Ibu jadi khawatir banget sama den adi, gimana kalau dia di sana di macem-macemin." "Adi baik-baik aja, Bik. Gak usah khawatir. Adi bisa jaga diri dari gangguan setan-setan di mansion." Celetuk Adi yang baru saja muncul dari pintu penghubung dapur dan ruang makan, kemungkinan Adi mendengar ucapannya tadi. Dengan pelan Adi menghampiri Bibik lalu memeluk nya dan mencium kening wanita paruh baya itu dengan sayang. "Adi sayang sama Bibik sama mamang. Jangan tinggalin Adi, Yah?" Keduanya mengangguk dalam posisi pelukan bersama Adi. Hangat dan nyaman itu lah yang Adi rasakan. Mereka ada tempatnya pulang, mereka adalah rumah nya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN