"Kamu mau ke mana?" tanya Ibu Desi ketika melihat cucunya menuruni tangga dengan tas gendong dibelakangnya. "Nginep lagi di rumah Anjani?"
"Iya Oma, Soalnya ada tugas yang harus dikerjain." Soraya mendekat kemudian mencium tangan Oma.
"Bawa mobil sendiri kan?"
"Iya, besok juga langsung berangkat ke kampus kok. Nggak ke sini dulu."
"Hati-hati, Jangan begadang sama temen-temen kamu."
"Cuma berdua kok sama Anjani, ikut. Berangkat dulu ya." Soraya memberikan kecupan di pipi Oma nya sebelum keluar dari rumah itu.
Membuat Ibu Desi menghela nafasnya dalam, kasihan pada cucunya yang tidak diperhatikan oleh sang anak. Dan itu semua gara-gara menantunya yang baru.
"Gak bisa dibiarin nih, nanti Soraya Kehilangan kasih sayang dari ayahnya. Masih untung kalau Ibu barunya peduli sama dia. Lah ini masih bocah, mana mata duitan lagi."
Sementara di sisi lain, Soraya mematikan ponselnya dengan sengaja. Dia malas terus mendapatkan telepon dari ayahnya untuk datang ke rumah baru sang ayah. Soraya masih belum bisa menerima kalau ayahnya menikah dengan Amira. Dan itu tanpa seizin dirinya.
Karena Anjani tinggal seorang diri di apartemen, Soraya masuk karena dia sudah mengetahui kode apartemen tersebut.
"Anjir lu ngagetin aja! Kenapa bad mood? Masih tentang Ayah lu?"
"Gue ngerasa beda kalau pulang ke rumah, nggak ada lagi Ayah gue. Oma gue juga jadi banyak pikiran gara-gara si Amira. Menurut lu gua sih gimana ya? Gue juga mau beli apartemen, Tapi kasihan sama Oma gue kalau ditinggal sendirian."
"Jangan ditinggal atuh." Anjani membawakan satu botol soda untuk Soraya, dan memberikannya pada sang sahabat. "Tapi kalau itu adik lu, kan kasihan juga."
"Gue nggak bisa nerima bener. Kalau ini emang Karma dari Tuhan, Kenapa harus bokap gue? Gak rela sumpah."
"Lu bilang aja baik-baik kalau lu mau beli apartemen. Lagian kebahagiaan tuh bukan dari ayah lu doang, Suatu saat lo pasti bakal nemu orang yang nemenin lu sampai tua. Mungkin itu juga berlaku buat Ayah lu, sama Amira."
"Jadi lu mau gue nerima aja gitu?"
"Pelan aja sih, Emangnya lu bisa apa?"
"Kalau gue sakit terus gue minta bokap gue buat cerain Amira. Dia setuju nggak ya?"
***
Amira bergerak dari tidurnya, merasakan tubuhnya begitu pegal. Dan yang membuatnya terkejut lagi, Amira merasakan sesuatu masih berada di dalam miliknya. Dharma belum mencabut kejantanannya dari dalam Amira.
Dan posisi pria itu memeluknya dari belakang, membuat Amira mengingat ini adalah posisi terakhir yang mereka lakukan. Semuanya benar-benar gila, Amira bahkan merasa malu dengan dirinya sendiri karena mengatakan hal-hal seperti;
"Lagi Mas, yang kenceng...... Enak...., geli..... Jangan digigit."
Membuatnya menampilkan wajah pada bantal yang sedang dipeluknya. Bagaimana bisa dia menjadi binal seperti itu?
"Adek jangan banyak gerak, punya mas-mas yang dijepit kamu."
Dan Amira kembali disuguhkan fakta kalau suaminya ini seringkali mengeluarkan kalimat frontal.
"Mas..." Amira mencoba menarik pantatnya supaya mengeluarkan milik Dharma.
Tapi pria itu malah menahan pinggangnya hingga miliknya kembali tenggelam dalam lubang Amira.
"Anget enak."
"Mas ih! Lepasin dulu! Aku nggak nyaman!" Pinta Amira meronta. Dia sadar kalau membentak suaminya bukanlah hal yang benar, tapi dia tidak ingin kelelahan lagi. Sudah cukup semalaman digempur.
"Masa nggak enak ditusuk kayak gini, kan tadi kamu suka."
"Mas!" bahkan sekarang Amira sudah mulai berani dengan suaminya.
Bukan karena dia tidak sopan, tapi karena dia harus melakukannya.
"Tarik gak, nanti gede lagi,"
"Ya nanti tinggal gerak aja lagi biar lemas."
"Mas aku lapar ih, kamunya lepasin dulu."
Mendengar itu akhirnya Dharma membuka mata, kemudian menarik miliknya.
"Lihat, Dek keluar banyak," ucapnya ketika melihat lelehan s****a yang keluar dari lubang sang istri.
"Omongannya dijaga ya." Amira bergegas menyelimuti tubuhnya dengan selimut yang lebih tipis dari dalam laci.
Sebelum akhirnya berdiri dari atas ranjang.
"Ahh!" Amira merasakan kakinya lemas hingga dia terduduk kembali.
"Kenapa, Dek?" tanya Darma dengan santainya, pria itu melangkah mengambil pakaian tanpa sehelai benangpun yang menutupi tubuhnya.
Membuat Amira berpaling.
"Pakai baju ini aja ya, biar nggak ke gesek-gesek," ucap Dharma memakai pakaiannya sendiri sebelum melangkah mendekati Amira dengan mengambilkan sebuah gaun tidur, dan celana dalam milik istrinya.
"Aku mau mandi mas, badanku rasanya lengket banget."
"Besok aja."
"Besok?"
"Lihat tuh jam," ucap Dharma sambil melangkah mendekat.
Dan Amira dibuat kaget ketika melihat jam yang masih menunjukkan pukul 11 malam. Ini masih hari yang sama, pantas saja dirinya lapar karena merupakan makan malam.
Berjongkok di depan istrinya dan memakaikan pakaian itu. "Kamu berantakan banget Dek, seksi-seksi gimana gitu."
"Mas m***m ih," ucap Amira dengan suara yang pelan. "Emang gini ya?"
"Orang sama istri sendiri kenapa harus jaim?"
Amira mengerucutkan bibirnya. "Tau nggak gimana kesan pertama aku pas lihat kamu?"
"Dingin? Arogan? Ambisius?"
Amira mengangguk mendengar itu, begitu antusias. "Gitu banget."
"Aku kenyataannya emang gitu, punya sifat-sifat yang kayak gitu. Coba kalau sama istri faedah nya apa? Mending mesra-mesra kayak gini, bisa puas batin."
"Tapi sama orang lain nggak pernah gini kan."
"Sinting aja," ucap Dharma kemudian menggendong Amira di depannya dengan begitu mudah.
"Turunin, Mas, aku bisa jalan sendiri." Amira takut dia akan diapa-apakan lagi.
"Berdiri aja tadi langsung teriak sakit," ucap Dharma mengejek sambil memberikan kecupan pada pipi istrinya.
"Lengket, tubuh aku nggak nyaman."
"Nanti dibasuh pakai lap hangat. Sekarang makan dulu, kasian bayi kita."
Dan saat itulah Amira sadar, kalau dirinya sedang hamil. Membuatnya seketika memegang perutnya sendiri.
"Mas, janin aku nanti nggak papa kan?"
"Emang kenapa?" tanya Dharma yang menurunkan Amira di atas kursi.
"Tapi kamu keras banget nusuk-nusuknya tau."
"Ya enggaklah, malah mereka seneng ketemu sama Ayahnya."
"Tapi kayaknya kamu kekerasan deh tadi," ucap Amira sambil menatap perutnya penuh dengan rasa kasihan. "Mana makanan yang tadi aku siapin udah dingin lagi."
"Nggak papa, Mas yang masak buat kamu. Kamu mau apa?"
"Emang mas bisa masak?"
Darma mengangguk dengan percaya diri; dirinya membereskan makanan yang sudah dingin yang ada di meja. "Bisa, Bilang aja kamu mau apa?"
"Mau dibikinin gado-gado mentah, bisa?"
Seketika Dharma menghentikan langkahnya. Kemudian berkata, "Tapi mas bisanya cuma bikin bubur sama roti panggang doang."
"Ya udah deh bikin roti aja," ucap Amira pada akhirnya.