Soraya tidak bisa menahan kekesalannya, bagaimana bisa sang ayah tiba-tiba menikahi sosok perempuan yang sangat dibenci olehnya. Terlebih lagi, Soraya khawatir jika Amira mengatakan sesuatu tentang sikapnya jika di kampus.
"Kamu jangan khawatir, Oma pasti akan cari cara supaya perempuan murahan itu keluar dari keluarga kita. Bikin malu aja, Oma juga nggak mau punya menantu kayak dia. Apa yang bisa dibanggakan?"
Begitulah janji Ibu Desi pada cucunya yang hendak berangkat ke kampus.
Di kampus pun Soraya lebih banyak terdiam, dia tidak menanggapi ketika teman-temannya berkata;
"Si Amira berhenti kuliah, gue penasaran kenapa."
"Bagus tuh, Soraya jadi nggak ada saingan. Lu juga bisa deketin Kak Indra, gak usah mikirin lagi itu cewek." Anjani menambahkan.
Di mana Niken mengangguk dengan kuat. "Gue yakin 100 persen kalau dia itu udah keluar dari kampus ini, gue bahkan nanya sama dekan. Dan mereka bilang kalau Amira keluar karena ada kebutuhan khusus."
"Lu pernah kepikiran dia Open B.O nggak sih? Sekarang jadi montok gitu? Apa dia hamil?"
"Gue juga mikirnya gitu. Lu kenapa diam aja? Bukannya lu harusnya bahagia?" Niken bertanya pada Soraya.
Bahkan sampai dirinya harus mengguncang tubuh sahabatnya itu. "Lu kenapa sih? Kalau ada masalah ya cerita sama kita kita. Tapi lu mah nggak mungkin ada masalah, Bapak lu aja bisa jentik jari."
"Bisa diam nggak sih lo pada," ucap Soraya dengan kesal.
Saat itulah sahabat-sahabatnya yakin kalau saya sedang ada di ambang masalah, mereka hanya harus menunggu kapan Soraya siap mengatakannya.
Apalagi wajah kesal Soraya terbaca ketika dia membaca pesan.
"Dari siapa sih? Nyampe bikin lu badmood?"
Soraya tidak menjawab, dia menatap ponselnya yang menerima pesan dari sang ayah, dengan isi;
*Nanti pulang dari kampus langsung ke kantor ayah. Ayah mau ngomong sama kamu.*
Mampu membuat jantung Soraya berdetak lebih kencang. Dimana sisa jam pembelajaran, dirinya hanya diam dengan tangan yang saling bertautan menahan kegelisahan.
"Lu kalau ada apa-apa cerita sama kita, jangan dipendam sendirian," ucap Niken mengingatkan karena mereka menaiki mobil yang terpisah.
Soraya yang membawa mobil sendiri itu gelisah, apalagi ketika dirinya semakin dekat menuju kantor sang ayah.
Gedung yang menjulang tinggi memiliki 75 lantai dan seluruh gedung itu adalah milik ayahnya.
Soraya masuk, di mana orang-orang yang sudah mengenalnya itu menyapa dengan sangat ramah. Namun tidak mendapat jawaban satupun dari Soraya, dia bergegas menuju ruangan sang ayah, yang berada di paling atas.
"Selamat sore, Nona Soraya," sapa sang sekretaris.
Yang kembali diabaikan oleh Soraya, dia membuka pintu ruangan sang ayah, kemudian memanggil, "Ayah," ucapnya.
Membuat Dharma yang sedang fokus pada MacBook itu menoleh.
"Duduklah."
Seraya melakukannya, dia duduk di sofa. Semakin menegangkan ketika Dharma membuka kacamata kemudian duduk di sofa yang sama dengan dirinya.
Tangannya meraih jemari Soraya, menggenggam nya dengan erat. "Kamu tahu kalau di atas langit ada langit lagi bukan?"
Soraya mengangguk.
"Begitu pula dengan semua hal di dunia ini," lanjut Dharma. "Jika kamu merasa cantik, maka ada yang lebih cantik dari kamu. Begitupun dengan kekayaan, dan juga kepintaran seseorang. Jika kamu merasa pintar, maka masih ada yang lebih pintar dari kamu. Kamu harus menerimanya, bukan membenci keadaan dan menyalahkan seseorang untuk itu."
Soraya menundukkan kepala, dia tahu kemana arah bicara sang ayah.
"Ayah bangga kamu bisa menjadi anak yang mandiri, yang berbakti, dan juga yang mendapatkan banyak prestasi. Tapi percayalah, Ayah lebih bangga jika kamu memiliki hati nurani, memiliki attitude tentang cara bagaimana memperlakukan manusia dengan memanusiakan mereka."
Air mata Soraya turun, ayahnya sudah mendapatinya menjadi seseorang yang lain. Bukan Soraya yang manis dan juga penurut.
"Maaf," ucap Soraya dengan bibir yang bergetar.
"Minta maaf sama Amira ya. Ikut pulang sama ayah."
Soraya mengangguk sebagai jawaban. Memangnya apa lagi yang bisa dia lakukan?
****
Dalam perjalanan itu, hanya ada keheningan. Sampai akhirnya Dharma berbicara, "Ayah tahu kalau Ayah bukanlah sosok orang tua yang baik. Ayah tahu pasti kamu juga kecewa tentang apa yang Ayah lakukan sama Amira."
Soraya hanya dia mendengarkan.
"Ayah juga ingin memperbaiki semuanya, yang Ayah lakukan pada Amira juga salah. Sangat salah. Itu sebabnya ayah menikahinya dan mengajaknya pindah, kamu sendiri tahu bagaimana sifat Oma kamu. Ayah nggak mau Amira malah lebih menderita setelah menikah dengan ayah."
"Ayah percaya? Kalau itu adalah anak ayah?" Soraya bertanya dengan hati-hati dan suara yang pelan.
"Tentu saja Ayah percaya. Memberikannya uang malam itu adalah sebuah kesalahan, apalagi jika ayah berfikir kalau itu bukanlah anak kandung ayah, itu sangat mengerikan. Ayah bukan manusia jika melakukannya."
Soraya kembali terdiam karena kalimat itu.
"Ayah harap kamu bisa menerima keputusan ayah. Bukan berarti Ayah akan meninggalkan kamu, tapi mungkin ini pertanda dari Tuhan kalau kita memang harus memperbaiki hubungan dengan Amira?"
Tidak ada jawaban dari Soraya, perempuan itu terdiam dengan egonya yang masih tinggi. Pikirannya malah bertanya-tanya dan membayangkan Bagaimana Amira mengadukan semua itu pada sang ayah.
Begitu sampai di rumah baru ayahnya, Amira mengerutkan kening. "Cuma satu lantai? Di Kompleks juga?"
"Amira mungkin nyaman di tempat yang kayak gini, enggak terasingkan. Ayo keluar," ucap Dharma memimpin jalan, diikuti oleh sang anak dari belakang yang melangkah tidak nyaman.
Begitu membuka pintu, aroma masakan langsung tercium.
"Masak apa, Dek?" tanya Dharma yang membuat Amira terkelonjak kaget.
Dia membalikkan badannya. "Mas sudah pu....," ucapan yang menggantung ketika melihat Soraya yang ada di balik tubuh suaminya.
"Udah beres masaknya?"
"Udah." Amira mematikan kompor.
"Soraya mau ngomong sama kamu."
Amira mengangguk kemudian melangkah mengikuti sama suami yang sudah duduk di sofa, bersama dengan Soraya.
"Ngomong apa?" tanya Amira dengan suara yang pelan.
"Aku..... Mau minta maaf atas semua perlakuan aku. Itu semua murni karena aku merasa iri dengan kemampuan kamu yang melebihi aku," ucap Soraya sambil menunduk dan menggenggam tangannya sendiri.
Hatinya terasa panas, dia benar-benar tidak ingin melakukan ini. Kesal dan juga marah, dan demi Tuhan, Soraya tidak akan menunduk lagi didepan Amira. Soraya akan memberikan jarak, bahkan Soraya sudah tidak percaya lagi pada sang Ayah yang telah mempermalukannya seperti ini.
Ayahnya tega memihak Amira daripada dirinya, bukankah tugas orangtua itu melindungi anaknya?