Soraya pulang ke Mansion utama setelah makan malam bersama dengan Amira dan juga ayahnya. Padahal Dharma ingin membuat Amira dan juga Soraya akrab, tapi sepertinya sang anak belum siap untuk hal itu.
Namun satu hal yang dipastikan oleh Dharma pada Soraya, pria itu memeluk anaknya sambil berkata, "Tidak akan ada yang berubah, hanya kebahagiaan yang bertambah. Hanya saja dengan cara yang berbeda," ucap Dharma ketika mengantarkan anaknya sampai depan pintu.
Soraya mengendarai mobil dan keluar dari area Kompleks itu. Meninggalkan Amira yang menatap kepergiannya dengan sendu, dia tau kalau Soraya pasti tersakiti karenanya.
"Mau keluar nggak?" tanya Dharma begitu dia masuk kembali ke dalam rumah.
"Keluar ke mana?"
"Nyari bahan makanan, itu kan baru dikit."
Amira menyelesaikan kegiatannya dan mengeringkan tangan. "Boleh, Mas mau mandi dulu?"
"Iya deh, gerah."
"Mau aku siapin airnya?"
"Gak usah. Kamu istirahat aja, Dek."
Amira tersipu malu, pria itu memperlakukannya dengan sangat baik, apalagi dengan panggilan barunya pada Amira. Meskipun Amira terkadang kesal jika memikirkan Apa yang dilakukan oleh Dharma sebelumnya.
"Sebaiknya kamu pulang, anggap itu ganti rugi semalam," ucapnya sambil memberikan satu tumpuk uang.
Begitulah ingatannya berputar, tapi jika Dharma ingin memperbaiki nya, tentu Amira akan menerimanya.
Dia juga bersiap untuk pergi keluar, memakai pakaian yang hangat. Ternyata memang sudah ada banyak pakaian di sana, yang lebih bagus dan juga nyaman.
"Dek, ambilin kaos yang itu," ucap Dharma yang Diba Diba ada di belakang Amira.
"Yang ini mas?"
"Iya tapi yang pendek, di bawah coba."
Amira berpaling setelah memberikan kaos itu.
Mereka masih berada di ruang ganti, dan tubuh Dharma hanya terhalangi oleh handuk yang melilit di pinggang.
"Ayo." tangan Dharma menggenggam Amira dan membawanya keluar.
"Mobil yang tadi dipakai berangkat ke mana Mas?"
"Tadi disimpan di kantor, soalnya Soraya bawa mobil juga. Nanti diambilin kok sama sopir. Kamu mau belajar nyetir?"
"Nggak mau, gak bisa."
"Ya kan namanya juga belajar, nanti saya ajarin?"
Amira menatap sang suami yang sedang menyetir.
"Kenapa liatin saya kayak gitu? Jadi mau ya? Nanti tiap weekend kita belajar."
"Mas..." Amira memberanikan diri.
"Kenapa?"
"Ummm..." Amira ragu, dia takut membuat Dharma tidak nyaman karenanya.
"Kenapa? bilang aja gak usah ragu."
"Bisa nggak manggilnya jangan formal gitu, aku ngerasa lagi ngomong sama yang punya yayasan."
"Ya kan saya emang yang punya yayasan."
Amira kembali menggigit bibirnya. Mereka sudah lebih dekat, tapi tidak sedekat itu sampai berani komplain hal seperti ini. Namun Amira benar benar tidak nyaman karenanya. "Tapi kan Mas suami aku, masa sama istri sendiri ngomongnya saya saya."
Dharma tersenyum, kenyataannya dia sengaja melakukan hal itu agar Amira berani mengutarakan pendapatnya. "Ya udah iya, gimana Adek aja."
***
Dharma membawa Amira menuju sebuah mal yang ada di Kompleks itu. Cukup jauh mengingat kompleks yang Amira tempat di itu berada di ujung.
"Mau beli apa, Dek?"
"Kan Mas yang ngajak kesini."
"Tapi kan Mas bukan bagian kerja di dapur," ucap Dharma yang sekarang sudah mendorong troli. "Kamu aja yang pilih. Cemilan juga yang banyak, biar kamu di rumah makin gendut. Kurus amat ini."
Amira mengerucutkan bibirnya, dia masih sedikit canggung dengan suaminya. Perubahan Darma begitu besar, berbeda 180 derajat dari saat mereka bertemu.
"Ambil keju juga, Dek. s**u buat ibu hamil emang kamu nggak mau?"
"Kan udah ada yang dari dokter."
"Yang itu harus diseduh dulu, Kalau yang ini tinggal minum. Beli aja."
Amira menurut, ternyata rasanya lumayan menyenangkan dimanjakan seperti ini.
Setelah belanja cukup banyak makanan, hingga bagasi mobil menjadi penuh, Dharma kembali bertanya, "Mau kemana lagi?"
"Pulang aja udah malam."
"Katanya di komplek sini ada tukang nasi goreng yang enak. Emang kamu nggak mau gitu?"
"Mas mau?"
"Enggak, buat kamu aja. Katanya kalau ibu hamil suka ngidam, Kamu Nggak kepengen apa gitu? Sekalian kita di luar?"
Amira mengelus perutnya yang datar. "Pulang aja."
"Ya udah."
Pada akhirnya Darma yang mengemudikan mobil kembali ke rumah dengan belanjaan yang cukup banyak. Sampai-sampai Amira merasa pusing melihat banyaknya makanan yang mereka beli.
"Besok aja diberesin ya, Kita istirahat. Ada yang mau masuk mungkin sama kamu."
Amira mengangguk. "Mau kunci pintu dulu."
"Udah otomatis kok," ucap Dharma yang melangkah menuju kamar mereka, dengan soda di tangannya.
Segera menyusul, Amira ikut Duduk di sofa yang ada di pinggir jendela. "Mau ngomong apa?"
Dharma mengeluarkan sesuatu dari dompetnya. "Ini ATM, udah ada saldonya, selanjutnya nanti mas transfer tiap tanggal 1. Pin-nya tanggal pernikahan kita. Ini juga kartu kredit, kalau kamu lagi nggak bawa tunai bisa pakai ini. Pin-nya juga sama."
Kemudian Dharma beralih menarik sebuah laci dan mengambil kotak ponsel di sana.
"Ini HP buat kamu, sudah terisi kontak Mas. M-banking juga terhubung di sini."
Amira menerima 3 benda itu. Sebuah ponsel berlambang apel yang tergigit, seperti yang pernah Amira lihat.
"Makasih, Mas," ucap Amira dengan senyumannya yang tulus.
"Sini kamu, Dek." Dharma menarik Amira untuk duduk di pangkuannya dengan tiba-tiba.
Membuat perempuan itu kaget, dan meremas bahu suaminya.
Dipeluk dengan begitu intim, tubuh keduanya saling beradu tidak menyisakan ruang.
"Mas...," ucapan merah bingung dengan apa yang sedang mereka lakukan.
"Kamu harus terbiasa kayak gini. Mas tahu kamu masih kesal tentang kejadian malam itu, tapi mas mau perbaiki semuanya."
***
Saat pagi hari belum datang, Amira terbangun dari tidurnya karena sebuah mimpi. Memperlihatkan hari-hari ketika dirinya tinggal bersama sang paman.
"Dasar anak jalang, Bikin malu aja. Gara-gara ibu kamu, adikku jadi meninggal! Ibu dan anak sama-sama pembawa sial! ibu kamu juga bikin adikku jadi tukang maling! kamu tau gak semuanya gara gara kamu!"
Itulah kalimat yang membuat Amira kini terbangun, hingga kini dia tersadar tengah berada dalam pelukan suaminya.
Kalau semalam Sebelumnya dia tidur hanya memeluk udara, Kini dia memeluk suaminya.
Dadanya begitu bidang, untuk yang sudah berumur 44 tahun, ini adalah sesuatu yang sangat luar biasa.
"Mas.....," Panggil Amira memberanikan diri.
"Kenapa, Dek? Mimpi buruk?"
Amira mengangguk sebagai jawaban. Dia mengeratkan pelukan pada sosok itu.
"Laper nggak?"
Amira kembali mengangguk.
Membuat sosok yang lebih tua memberi jarak hingga bisa melihat wajah istrinya. "Mau makan apa?"
"Kue aja yang tadi dibeli."
"Ntar Mas ambilin dulu."
"Biar aku aja nggak apa-apa."
"Diam di sini, Dek," ucap Dharma kemudian melangkah mengambil beberapa cemilan untuk dibawa ke dalam kamar.
"Banyak amat," ucap Amira yang kini sudah mendudukkan dirinya di atas ranjang.
"Buat stok di kamar, biar nggak harus keluar." Darma menyusunnya di dalam laci, kemudian melangkah mendekati sang istri. "Mau bikin s**u enggak?"
"Minum air putih aja. Mas tidur aja lagi."
"Kamu mau ke mana?"
"Mau makan di sana," ucapnya menunjuk sofa dengan tatapan.
"Di sini aja nggak papa," ucap Dharma sambil menyelimuti punggung Amira dari belakang, kemudian dia memeluknya dari belakang dengan menyandarkan kepala pada sang istri. "Biar kamu anget."
Amira memakan kue itu dengan tenang, sebelum akhirnya bertanya, "Mas?"
"Kenapa?"
"Kamu bener-bener kasih uang sama paman aku?" tanya Amira yang ingin lebih dekat dengan suaminya.
Dharma mengangguk di sana. Yang mana membuat Amira merasa bersalah.
"Nggak usah dipikirin, yang penting sekarang kamu udah jadi istrinya Mas, jadi mereka nggak ada hak lagi dalam hidup kamu."
Terharu mendengarnya? Tentu saja, tidak ada yang pernah peduli dengan Amira.
"Oh ya Mas, sebelumnya aku kerja di toko akuarium." Amira baru mengingatnya.
"Udah Mas urus. Nggak perlu datang ke sana lagi."
"Mas yang ngurus? Kok bisa tahu sih aku kerja di sana sebelumnya."
"Kan cari tahu, Mas kan banyak duit," ucap Dharma yang membuat Amira terkejut.
Kenapa Sifat Pria Ini bertolak belakang dengan apa yang dia lihat sebelumnya.
"Dek," panggilnya.
"Apa?"
"Dek," panggilnya lagi, yang mana membuat Amira menengokkan kepala.
CUP. Pria itu mengecup bibirnya begitu istrinya menoleh.