Mimpi Buruk
"Sayang, kapan sih kamu bakal ceraiin Maura?" Pertanyaan itu lolos dari bibir seorang wanita cantik yang memiliki hidung mancung. Bertanya pada seorang pria yang menatapnya penuh hastrat dan mendamba untuk segera dipuaskan.
"Sabar ya, Sayang, aku pasti akan tepatin janji aku, tapi setelah anakku lahir." Sang pria coba membujuk wanita itu dengan suara yang tertahan karena tak kuasa mengendalikan diri. Ia tidak memiliki banyak waktu untuk terus berada di apartemen yang ditinggali wanita itu karena ia harus kembali ke lokasi shooting, tempatnya bekerja.
"Jangan bohongin aku ya, Sayang, kamu harus tepati janjimu untuk ceraiin Maura dan nikahin aku." Wanita itu kembali menuntut sang pria yang berada di bawah kungkungannya.
"Pasti, Sayang, aku nggak akan ingkari janjiku karena aku nggak sanggup kehilangan kamu. Aku pasti akan menikahimu dan jadi milikmu seutuhnya."
Mendengar pernyataan itu membuat sang wanita senang dan melayang. Ia pun segera melakukan tugasnya untuk memuaskan pria yang sudah beristri itu, mengingat waktu terus berjalan, jam makan siang hampir berakhir, itu artinya mereka harus segera kembali ke lokasi shooting.
Suara erangan sepasang kekasih itu terdengar memenuhi seisi kamar, bulir-bulir keringat tidak hanya membasahi tubuh keduanya, tetapi juga mengalir membasahi wajah seorang wanita yang tengah hamil besar. Wanita itu menggeleng dengan alis yang bertaut seolah apa yang terjadi di mimpi buruknya saat ini benar-benar terjadi di depan mata dan ia tengah menyaksikan pengkhianatan sang suami.
"Jahat kamu, Mas!" ucap wanita yang masih berada di bawah alam sadar itu, bahkan ia sampai meneteskan air mata seakan-akan yang terjadi di mimpinya benar-benar nyata. Semakin lama napasnya terdengar memburu tak beraturan, dadanya naik turun sangat cepat, dahinya pun dipenuhi keringat yang terus bercucuran. Dan, saat dadanya terasa semakin sesak ia pun terbangun dari tidur singkatnya dalam keadaan masih mengenakan mukena. Wanita itu bernama Maura Anindita.
"Astaghfirullah ... astaghfirullahaladzim. Mimpi apa aku ini? Kenapa bisa aku mimpi Mas Ferdy selingkuh sama perempuan lain? Astagfirullah, ini pasti gara-gara aku ketiduran abis salat maghrib terus nggak berdoa!" Maura coba menenangkan diri dan mengatur napas, mengusap dadanya yang masih berdebar setelah mengalami mimpi buruk.
Bukan sekali Maura mengalami mimpi tersebut, bahkan waktu awal-awal pernikahan ia pernah mimpi hal yang serupa sampai ia menuduh suaminya berselingkuh di luar sana, dan membuat pernikahan mereka yang baru seumur jagung hampir berakhir.
Belajar dari pengalaman kemarin, Maura berusaha tetap berpikir positif dan tidak ingin mencurigai suaminya lagi seperti yang pernah dilakukannya dulu. Ia akan menganggap mimpi buruk tadi sebagai bunga tidur dan tidak ada hubungannya dengan sang suami yang sibuk mencari nafkah untuknya dan juga bayi yang dikandungnya.
"Mas Ferdy nggak mungkin selingkuh, dia suami yang setia, sayang sama aku, sayang sama anaknya. Aku yakin dia nggak mungkin ngelakuin itu sama perempuan lain." Maura bermonolog sambil mengusap perutnya. Pandangannya tampak kosong seolah apa yang diucapkannya berbanding terbalik dengan isi hatinya, teringat akan perubahan sikap sang suami setelah kejadian tempo lalu, saat ia menuduh Ferdy selingkuh.
Untuk mengubur rasa cemas dan gelisah yang masih tercetak dalam benak, Maura pun meraih ponselnya yang masih tergeletak di kasur.
"Aku nggak boleh mikir jelek lagi ke suamiku. Mending aku telepon Mas Ferdy, pasti sekarang dia lagi sibuk di lokasi shooting. Mana sempat dia khianatin aku." Maura coba merilekskan pikiran agar tidak stres teringat dengan perkataan dokter siang tadi saat ia melakukan check up kandungan seorang diri tanpa ditemani oleh sang suami.
Sebelum menghubungi Ferdy, wanita itu memilih bergulir ke menu pembaruan lebih dulu. Mencari status sang suami yang memang biasa update kesibukannya di lokasi shooting sebagai agency. Hingga tanpa sengaja ia menemukan status milik seorang crew film yang hari ini satu lokasi dengan suaminya.
"Wah, ternyata shooting-nya udah break. Tumben ya cepat, atau jangan-jangan cuma Mas Radit doang ya yang izin pulang karena ada acara keluarga? Soalnya Mas Ferdy belum ngabarin aku kalau kerjaannya udah selesai. Ah, pasti dia lagi di jalan pulang ke rumah." Maura yang kegirangan pun segera menghubungi suaminya. Namun, saat panggilan pertama tidak mendapat jawaban, wanita itu pun memutuskan pergi ke dapur setelah melepas mukena karena ia ingin menyiapkan makan malam untuk dirinya dan sang suami. Ia sangat percaya diri jika Ferdy sedang dalam perjalanan pulang untuk bertemu dirinya dan menghabiskan waktu bersama malam ini.
Setelah setengah jam sibuk di dapur, Maura kembali ke kamar, dan mengambil ponselnya untuk kembali menghubungi Ferdy dan menanyakan sudah sampai di mana. Beruntung, panggilannya kali ini tidak dilewatkan oleh Ferdy.
"Assalamualaikum, Mas. Kamu pasti lagi di jalan pulang, ya?" tanya Maura seraya tersenyum sumringah begitu panggilan mereka terhubung.
"Waalaikumsalam. Belum, Sayang. Ini aku lagi di mini market deket lokasi, biasalah beli pesanannya Pak Heru."
"Loh kok belum pulang, Mas? Tadi aku lihat status Mas Radit kameraman, dia udah di rumah loh. Aku kira kamu udah dekat mau sampai ke rumah." Seketika bibir Maura yang tadi tersungging kini berubah melengkung karena ternyata suaminya belum pergi meninggalkan lokasi shooting.
Tak ada jawaban dari seberang sana. Membuat Maura semakin dipenuhi tanda tanya. "Mas, kok diam? Kamu dengar aku, kan?"
"Iya, aku dengar kok, Sayang. Jadi, malam ini shooting-nya memang break cepat. Tapi, rencananya, habis laporan sama Pak Heru aku mau pergi sama anak-anak ke rumah Ardi," jawab Ferdy setelah terdiam cukup lama.
"Mau ngapain, Mas?" tanya Maura yang kaget karena ia sama sekali tidak tahu jika suaminya akan pergi ke rumah salah satu temannya.
"Mau main PS sama anak-anak. Mereka udah sampai duluan sih. Cuma aku aja yang datang terlambat soalnya Pak Heru baru datang sepuluh menit lalu. Ya, kamu tau sendirilah dia datangnya emang sering telat," jawab Ferdy terdengar begitu santai. Tak terdengar gugup hingga tak ada celah untuk Maura curiga.
"Ya ampun, Mas. Kok bisa sih kamu pulang cepat bukannya langsung pulang, bahkan ngabarin aku aja nggak, sekarang kamu malah mau main ke rumah Ardi dan nggak bilang-bilang sama aku. Kamu tau nggak sih, Mas, dari tadi aku nungguin kamu pulang loh. Rasanya aku senang banget pas tau malam ini kamu bakal pulang ke rumah lebih cepat, aku nungguin kamu, dan mau kita makan sama-sama. Ini kayaknya kalau aku nggak telepon kamu pasti kamu nggak akan bilang deh kalau sekarang sudah break shooting!" Kali ini Maura benar-benar meluapkan rasa kecewanya pada sang suami yang sejak dirinya hamil sangat jarang memiliki waktu untuknya karena Ferdy lebih sering pulang subuh, bahkan jarang pulang ke rumah karena alasan menginap di lokasi shooting.
"Kok kamu malah marah sih? Aku bukannya nggak mau bilang sama kamu, aku emang udah niat buat telepon kamu, tapi setelah sampai di rumah Ardi biar kamu percaya!"
"Kenapa harus nanti, Mas? Kan bisa kamu chat aku kalau memang kamu nggak sempat telepon, kasih kabar kek kalau malam ini kamu break cepat, atau setidaknya izin mau pergi ke rumah Ardi. Memangnya kamu tau aku izinin kamu atau nggak untuk main ke rumah dia?" Nada bicara Maura kali ini terdengar lebih tinggi dari sebelumnya karena ia merasa kesal dengan keputusan yang Ferdy buat, sementara ia tengah menunggu dengan penuh harap kepulangan suaminya.
"Memangnya kamu nggak bisa kasih aku izin pergi kumpul sama teman-teman aku? Kamu tau kan setiap hari aku selalu kerja, nggak pernah libur, masa semalam kumpul sama teman-teman aja nggak boleh sih!"
"Bukannya nggak boleh, Mas! Masalahnya kamu nggak izin, nggak ada omongan sama sekali kalau kamu akan lebih mementingkan kumpul sama teman-teman kamu dibanding pulang ketemu sama istri pas break cepat kayak malam ini!"
Ferdy berdecak saat mendengar perkataan Maura. Merasa kesal dan seperti ingin mengakhiri panggilan mereka agar tidak terjadi perdebatan yang panjang.
"Loh, kok sekarang kamu jadi bilang aku lebih mementingkan kumpul sama teman-temanku sih? Memangnya ada selama aku nikah sama kamu, aku pergi keluar rumah seharian buat main sama mereka? Nggak, Maura! Selama ini aku kerja, kerja, dan kerja buat kamu! Mana pernah aku berpikir untuk senang-senang sama teman-temanku, bahkan di saat mereka kumpul cuma aku yang nggak pernah bisa hadir karena sibuk kerja. Selama ini waktuku cuma buat kerja dan buat kamu sampai aku nggak punya waktu buat nyenengin diri sendiri!"
"Ya ampun, Mas! Kamu sadar nggak sih kalau selama aku hamil mana pernah kamu punya waktu lebih buat aku? Yang ada kamu jarang pulang ke rumah, kalau pun pulang selalu lewat dari jam tiga subuh, terus pagi jam delapan udah jalan lagi. Kamu nggak ada tuh waktu buat aku sedikit pun! Kamu mah enak, Mas! Kamu masih bisa keluyuran di luaran sana, kerja sambil jalan-jalan, nggak kayak aku yang sumpek di rumah terus setiap hari sejak hamil sampai sekarang! Coba dong Mas, sekali aja posisikan diri kamu jadi aku! Kamu pikir enak jadi aku di rumah terus setiap hari? Mungkin kalau sekarang aku nggak hamil, aku akan tetap kerja dan nggak kepikiran untuk mementingkan orang lain dibanding kamu! Sekarang aku cuma minta kamu pulang, sekali ini aja Mas, pulang ke rumah dan habiskan waktumu sama aku pas lagi break cepat kayak sekarang. Kalau nggak malam ini kapan lagi? Kamu nggak pernah kan bisa selesai shooting secepat ini? Memangnya kamu nggak mau tau gimana kondisi anak kamu? Kamu nggak penasaran tadi dokter ngomong apa aja pas aku pergi check up ke rumah sakit sendirian?"
Di tengah keterdiaman Ferdy, tiba-tiba suara wanita terdengar di seberang sana memanggil suaminya. Maura sontak saja kaget mendengar itu. Rasa takut seketika membuatnya gugup, terlebih mimpi buruk yang tadi dialaminya kembali muncul dalam benak.
"Mas, itu siapa? Suara perempuan itu, siapa, Mas?" Dengan lantang, Maura bertanya. Menuntut jawaban dari Ferdy yang masih saja diam.