Chapter 6 - Where This Over

1132 Kata
Samar kudengar suara deru mobil di luar. Yang kuyakini adalah milik Justin. Aku berdiri, merapikan sofa yang baru saja kududuki dan mematikan televisi kemudian berlari menuju dapur untuk menaruh es krim di tanganku kedalam freezer. Aku berbalik dan mendapati Justin di belakang, sedang berjalan ke arahku. Aku diam mematung di tempat, bahkan saat Justin berjalan melewatiku untuk mengambil air minum aku tetap tidak membuka mulut. “Ng... Justin?” aku menatap punggungnya hati-hati. “Hm?” sahutnya tanpa sedikitpun menoleh padaku. “Terima kasih untuk es krimnya,” kataku sambil menunduk menatap lantai. “Hm,” sahutnya lagi. “Mereka sangat banyak.” Aku mendongak menatap punggungnya. Justin menoleh padaku dengan kernyitan di dahi. “Kau tidak suka?” tanyanya. Aku menggeleng cepat membantah ucapannya. “Tidak, aku suka dan terimakasih. Kupikir semalam kau tidak akan melakukannya untukku,” tuturku. Justin tersenyum miring. “Kau terlalu percaya diri. Aku tidak bilang kalau aku melakukannya untukmu,” balasnya. Kemudian berjalan melewatiku dengan gelas berisi air dingin di tangannya yang langsung ia bawa ke kamar. Aku menunduk setelah kepergian Justin. Menampar diriku ke bawah, akupun memilih kembali ke kamarku.   * “Ya, aku baik-baik saja.” “…” “Tidak Chris, aku benar-benar baik.” “…” “Hm. Sebenarnya, aku ingin meminum cola,” “…” “Ya ya aku tahu, aku tidak akan meminumnya.” “…” “Demi Tuhan Chris! Aku mengerti dan aku tidak akan membunuh bayiku sendiri jadi hentikan omelanmu itu.” “…” “Oke, sampai jumpa.” Aku melempar ponselku ke ranjang dan mencampakannya begitu saja. Kepalaku berdenyut sedari tadi, dan semakin terasa menyakitkan saat Christian menelepon. Dia hanya bertanya kabarku dan aku menjawabnya jujur bahwa aku baik-baik saja. Dia juga bertanya tentang kandunganku, juga tentang segalanya. Dan omelan panjangnya semakin membuat kepalaku berdenyut sakit. Aku hanya ingin meminum cola. Aku tahu aku tidak akan melakukannya karena itu akan berdampak sangat fatal untuk kandunganku. Bisa-bisa aku keguguran. Oh memikirkannya membuatku semakin sakit.   * Aku merasa semakin bosan dan mengantuk setelah meminum aspirin beberapa menit yang lalu. Aku tidak akan memilih untuk tidur dan bermalas-malasan. Aku ingin keluar dari rumah ini. Ya, tentu saja aku akan melakukannya. Tidak ada aturan apapun kan tentang hal itu. Memikirkannya membuatku tersenyum puas. Aku masuk ke kamar mandi untuk mencuci muka. Setelahnya, aku meraih mantel cokelatku di dalam lemari dan memakainya. Aku menatap bayanganku di cermin dengan sedih. Padahal, aku tidak jelek dan tubuhku juga ramping, ditambah aku baru delapan belas. Seharusnya aku sedang berada di luar sana dengan bebas tanpa kekangan atau ikatan apapun. Seharusnya aku pergi bekerja untuk sekolah Christian ke perguruan tinggi. Seharusnya saat ini aku bekerja keras untuk mengejar cita-citaku menjadi seorang desainer dan penulis. Tapi semua itu hanyalah seharusnya yang terjadi. Aku tidak akan berharap banyak lagi mulai saat ini. Aku adalah seorang calon ibu. Bukan anak remaja berumur delapan belas lagi. Yang berarti aku harus menyikapi semuanya dengan pemikiran dewasa. Menghindari Justin merupakan hal yang sangat sulit. Jangan tanya! Karena hal itu sudah sangat jelas terlihat dari sikapku padanya. Christian bilang, aku harus bersikap keras dan pemberontak, apa yang harus aku lakukan hanyalah memanfaatkan kebaikan keluarga Justin hingga masa bersalinku tiba. Dan yang paling terpenting adalah jangan jatuh cinta padanya. Christian mengingatkanku keras untuk hal yang terakhir. Kendati aku menyayangi Christian, bukan berarti aku harus melaksanakan semua nasehatnya. Aku tidak bisa bersikap keras dan pemberontak pada ayah dari calon anakku. Sebagaimanapun aku membencinya aku tetap tidak bisa. Dulu aku pernah bertekad untuk membunuh pria yang telah menghancurkan hidupku ini, tapi saat bertemu dengan Justin, aku tahu aku tidak bisa. Dan dengan sikapku yang sekarang, aku semakin yakin untuk tidak akan melakukannya, membunuh ayah dari calon anakku sendiri? Oh itu akan jadi mimpi buruk untuk anakku kelak. Aku juga tidak bisa memanfaatkan kebaikan keluarga Justin. Tidak akan pernah! Aku tidak pernah berpikir sematrealistis itu. Aku tidak ingin bergantung pada mereka dan aku akan lebih memilih menjadi pribadi yang mandiri. Ditambah dengan sikap keluarga Justin yang seperti tidak suka akan kehadiranku. Mereka menatapku dengan tatapan menilai dan mengintimidasi. Kukira awalnya Pattie akan baik padaku karena dialah yang mendorong Justin untuk menikahiku. Tapi ternyata tidak, setelah pesta pernikahan itu. Aku tersadar saat merasakan buliran air mata membasahi pipiku. Lantas kuusap dengan kasar kemudian melangkah menuju pintu dan keluar dari kamarku. Setelah sebelumnya memastikan membawa ponsel dan dompet. Hanya dua barang ini yang bisa kuklaim sebagai milikku seutuhnya, sedangkan pakaian yang terakhir kupakai kemari entah ada dimana. Menuruni anak tangga dengan pelan, berharap cemas tidak bertemu dengan Justin di lantai bawah. Dan saat kupastikan suasana sepi akupun melangkahkan kakiku dengan lugas. Tidak ada satupun pelayan yang kulihat. Kupikir mereka dipanggil hanya jika ketika mereka dibutuhkan. “Mau kemana?” Aku tersentak saat mendengar suara dingin Justin. Membuat langkahku terhenti seketika. Aku menoleh ke belakang dan mendapatinya sedang tiduran di sofa dengan sebuah buku di tangannya. Pantas saja tadi aku tidak melihatnya. “Ng… mencari udara segar?” jawabku tidak yakin Mata Justin menyipit tidak percaya dengan jawabanku. Dia bangkit ke posisi duduk. Matanya masih menatapku. “Kemarilah,” katanya dengan tangan menepuk sofa kosong di sampingnya. Aku menatap ia ragu, kemudian mengangguk kecil. Melangkah mendekatinya dan duduk di sampingnya. Tepat di sampingnya. “Ada apa?” tanyaku. “Aku perlu memberitahumu beberapa peraturan disini, yang harus kau taati!” jawabnya tegas. Alih-alih mengangguk aku menatap Justin tidak mengerti. Peraturan? Peraturan seperti apa? Justin menghela napas. “Pertama, kau tidak boleh sembarang masuk ke ruangan yang pernah aku masuki sebelumnya. Kedua, jangan sentuh barang-barangku. Ketiga, jangan pernah keluar dari rumah ini tanpa seizinku. Dan yang paling terpenting adalah… jangan pernah mengganggu waktuku!” dia berkata dengan penuh penekanan tegas. Aku masih mencoba untuk mencerna peraturan yang dibuatnya. Peraturan pertama mungkin aku bisa melakukannya, tapi yang kedua, ketiga dan terakhir mungkin sedikit sulit. Aku tidak ingin mendekam di rumah ini setiap saat dan pergi keluar jika hanya Justin mengizinkanku. Karena aku mulai berfirasat dia tidak akan mengizinkanku. Aku juga tidak bisa tidak mengganggu waktunya karena demi Tuhan! Biar bagaimanapun, kita tinggal di satu atap. Jika aku pergi ke dapur dan berpapasan dengannya apa itu juga termasuk mengganggu waktunya? Aku tidak mengerti, tapi memilih untuk pura-pura mengerti melihat tatapan tajamnya tertuju jelas ke arahku. “Aku mengerti, tapi bukankah peraturan yang kedua sedikit kejam? Semua barang di rumah ini adalah milikmu yang mana artinya aku juga tidak boleh menggunakan apapun disini bahkan sendok dan garpu?” Justin menatapku cukup lama, aku tidak tahu apa arti tatapannya itu. “Terserah bagaimana kau mau mencernanya.” Justin menjawab dengan nada kesal. “ini rumahku dan kau tidak akan tinggal di sini untuk selamanya,” lanjutnya dengan nada beku yang jelas terasa menusukku. Aku menunduk, menghiraukan Justin yang kemudian pergi meninggalkanku. Ucapannya… menyadarkanku akan kemana semua ini berakhir.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN