"Kalo kamu mau ke KBRI tinggal lurus aja dari sini, Put," tutur Milly, "udah deket, kok, sayangnya kita gak lewat sana, belokan depan kita belok. Cari mesjid Darul Aman."
"Gue laper!" ungkap Putra, tingkahnya membuat Milly tertawa pelan.
"Nanti deket mesjid ada resto halal, banyak malah. Aku ingetin kamu jangan nanya lagi makanan disana halal apa enggak. Nanti mereka tersinggung. Muslim di sini sama aja sama di negara kita, yang cowok pakai kopyah, bedanya bentuk kopyahnya aja. Dan yang cewek pake jilbab." Milly berceloteh tanpa mengalihkan tatapannya ke arah jalan raya.
"Lo ternyata cerewet, ya." Milly tersipu, dia anggap itu sebagai pujian.
Sesampainya di Thailand kemarin, Putra tidak melakukan banyak hal.
Milly memiliki banyak jadwal hari itu. Setelah menjemput Putra dia langsung pergi menuju lokasi pemotretan. Untuk itu, Putra hanya tidur di kondominium sewaan Alif yang ternyata nyaman sekali. Pantas saja sepupunya itu betah tinggal di negara orang jika fasilitas yang dimiliki semewah ini. Milly bilang Alif berencana kembali ke Thailand, untuk itu beberapa barang miliknya masih tersimpan rapi di Kondominium ini.
Lalu setelah puas tidur di kasur empuknya Alif, Putra mengedit beberapa Video dan mengunggahnya di Channel youtube. Subscribernya bertambah. Komentarnya lucu-lucu. Ada beberapa yang menyakitkan, tetapi selebihnya memberi suntikan semangat agar Putra tidak pernah menyerah mencari Rinjani.
"Itu dia mesjidnya, ayo!" ajak Milly.
Sebuah mesjid dengan kubah berwarna emas memanjakan pemandangan Putra. Tidak menyangka di negara dengan mayoritas agama Budha terdapat sebuah mesjid yang berdiri megah.
"Lo sering salat di sini, ya?" tanya Putra penasaran, sementara itu Milly membalasnya dengan lambaian tangan.
"Trus kok tahu tempat ini?" Putra heran, membuat Milly sedikit mengerutkan kening. Entah tidak nyaman dengan pertanyaan Putra atau tidak mengerti.
"Aku non muslim, sering kesini nganterin sepupu kamu makan di halal food sekitar sini, sama anterin dia tiap hari Jumat." Putra mengangguk puas. Beruntung, alif dan Putra dibesarkan di keluarga yang taat beribadah tidak heran jika Alif tidak meninggalkan kewajibannya meski jauh dari kampung halaman.
"Trus lo tahu gak alamat yang lagi gue cari ini?" tanya Putra dengan wajah penuh harap.
Milly membaca alamat yang tertulis di kertas lusuh dengan lancar. "Noh, alamatnya sama alamat mesjid ini. Kamu nekad bener, sih, alamatnya gini doang. Gak ada nomor rumah, bahkan gak ada keterangan dia tinggal di rumah, mansion atau kondominium."
"Lo pintar banget baca itu, gue ampe latihan berkali-kali takut tiba-tiba harus nanya sama orang lain. Trus salah baca, kan tengsin," kelakar Putra.
"Jangan lupa, aku tinggal di sini hampir 5 tahun, udah lancar malah ngobrol sama orang sini." Milly berjalan menghampiri area mesjid. "Tempat ini keren, lho, Put, gak kamu rekam?"
"Gue laper, Mil."
"Ya terus?"
"Gak semangat ngerekam, lemes," rengek Putra, mereka baru dua hari kenal, pembawaan Putra easy going membuat keduanya mudah akrab.
Milly yang mendengar rengekan Putra akhirnya putar badan. Tadinya, dia hendak bertanya pada seorang pria yang berada persis depan mesjid.
"Ya udah, ayo, makan dulu. Dasar bayi!"
️️️
"Sawatdii kha, Phi," salam Milly. "Saya sedang sedang mencari seseorang, ini alamatnya, apakah Phi tahu?" tanya Milly dalam bahasa Thailand. Phi adalah panggilan untuk orang yang lebih tua atau kakak.
"Sawatdii krap, kalau boleh tahu siapa nama orang yang Anda cari?" tanya pria Thailand berwajah tampan.
"Siapa namanya, Put?" Milly menyikut pinggang Putra.
"Tante Jean, Jeannita," tukas Putra, dia terlalu antusias mendengarkan obrolan dalam bahasa yang benar-benar asing. Walau beberapa kali dia sempat menonton film dengan bahasa Thai dia tetap takjub mendengarnya secara langsung.
"Oh, Phi, namanya Jeannita. Dia tantenya teman saya dari Indonesia."
Mulut Putra menganga. Dia kagum dengan kemampuan berbahasa Thailand Milly.
"Oh, orang Indonesia, ya. Coba tanyakan pada orang di sebelah sana. Dia juga orang Indonesia. Tapi kalau dilihat alamatnya dia tinggal di gedung itu." Pandangan Milly dan Alif tertuju pada tempat yang di tunjuk Pria Thailand itu.
"Koop khun kha, Phi." Jean berterimakasih, dibalas dengan anggukan.
"Pinter banget, Lo. Si Alif jago juga?" tanya Putra antusias.
"Pinter apa? Jago apa?"
"Ngomong bahasa orang sini."
Milly mengangkat bahu. Kemudian berjalan pergi menuju kerumunan pedagang muslim yang berhijab. Gadis itu kembali bertanya dalam bahasa Thailand. Sementara itu Putra sibuk merekam, memperlihatkan salah satu upaya pencariannya.
"Oh, Bu, senang bertemu dengan Anda. Put, sini," ajak Milly. "Ibu ini orang Indonesia, ayo salim dulu," titah Milly seperti memberikan perintah pada anak usia sekolah dasar. Putra cemberut, tetapi nurut juga.
"Assalamualaikum, Bu, saya Putra dari Bandung, barangkali ibu tahu perempuan bernama Jeannita yang tinggal di alamat ini?" tanya Putra.
"Waalaikumsalam, Oh, Jean ya. Jean yang rambutnya merah?" tanya Ibu yang bernama Risma itu ramah. Namun, Putra tidak dapat mengiyakan pertanyaan Risma. Mana dia tahu penampakan Jean itu seperti apa.
"Saya kurang paham, Bu. Saya nyari seseorang yang kemungkinan mengunjungi tante Jean di sini."
"Tante? Jean masih muda, kira-kira seumuran kalian. Apa dia yang kalian cari? Kalau iya dia sudah pindah ke Ban Ratchathewi Apartemen. Sebentar saya tulis alamatnya." Ibu Risma mengaduk-ngaduk isi tas nya. Mungkin mencari pulpen dan kertas. Hingga menemukan selembar kertas lusuh.
"Tidak usah, Bu, saya tahu tempat itu," cegah Milly membuat perempuan berhijab itu urung menuliskan sebuah alamat di atas nota bekas.
"Terimakasih, banyak, Bu," ucap Putra dia kembali mencium tangan Ibu Risma takzim.
"Yakin lo tahu alamatnya?" tanya Putra ketika berada di dalam mobil. Milly hanya mengangkat Alis.
Lalulintas di Thailand mirip banget dengan lalulintas di Jakarta. Sudah panas, macet pula. Jadi sepertinya kemacetan memang jadi momok mengerikan di seluruh negara. Termasuk Thailand. Bedanya ketika bertemu persimpangan lampu merah dia tidak bertemu banci atau anak jalanan ngamen.
Puas merekam seluruh perjalanan dia menawarkan diri untuk gantian nyetir, tetapi jelas ditolak mentah-mentah karena Putra tidak memiliki surat Izin mengemudi di negara tersebut.
"Kamu sebenarnya cari siapa, sih? Nagih utang?" tanya Milly penasaran.
"Alif gak ngasih tahu, lo, ya?" tanya Putra, dia betah berbincang dengan Milly dengan sebutan Lo Gue. Sementara Milly, demi kesopanan dia pakai sebutan aku kamu.
"Aku gak peduli, sih pada awalnya. Alif cuma minta jemput dan drop kamu di kondominiumnya. Sudah bebas tugas aku. Tapi liat muka polosmu, aku ragu buat ngelepas kamu. Dan benar, kan, selain bahasa Inggris kamu yang pas-pasan, kamu juga buta arah." Perempuan itu mengikat rambutnya yang tergerai kala mobil berhenti karena macet.
"Gue cari Rinjani." Netranya meredup. Ingatannya kembali mengembara pada seraut wajah Rinjani, senyumnya, dan kerlingan matanya yang justru baru Putra sadari sangat berarti.
"Aku tahu, saat merekam kamu terus-terusan manggil nama Rinjani. Masalahnya siapa Rinjani itu?" Milly makin penasaran.
"Calon bini gue, Mil." Putra menghela napas sejenak. "Masalahnya dia pergi karena gue gak pernah peka sama perasaan dia. Bertahun-tahun dia mencintai gue dan gue buta. Hingga akhirnya dia menyerah lalu pergi. Satu hal yang gue takuti dia benar-benar menyerah pada perasaannya. Gue takut perasaannya tidak sama lagi." Putra gelisah. Dia benar-benar ketakutan.
"Kalo aku jadi dia sih iya, nyerah aja cari cowok lain," ucap Milly enteng. “Karena hidup dengan orang yang gak pernah peka itu emang nyakitin banget.”
“Lo ngomongnya gitu amat, sih, Mil. Senengin gue gitu, kasih semangat,” rajuk Putra.
“Ya, ini aku baca dari kacamata seorang perempuan ya, Put. Bertahun-tahun dia mendem cinta sama kamu trus kamu gak peka, duh, entahlah aku takut salah ngomong ini.”
"Gue harap Rinjani masih mau kasih gue kesempatan, Mil," harap Putra.
"Semoga."
Mobil yang mereka tumpangi sampai di apartemen yang di maksud. Mereka sampai di lobi dan bertanya pada bagian informasi. Sayangnya berita yang Putra terima sangat mengejutkan. Setelah dikunjungi keponakannya Jeannita pergi berlibur untuk waktu yang sangat lama.
"Khun Jeannita sama kerabatnya dari Indonesia pergi ke luar negeri."
"Kalau boleh tahu kemana?"
"Kalau tidak salah dengar mereka pergi ke Macau, Phi." Putra tidak mengerti apa yang keduanya bicarakan, tetapi seketika mengerutkan kening kala mendengar kata Macau.
Mungkinkah Jean Pindah ke Macau? Putra kalut, sepertinya dia harus menjual mobil untuk biaya perjalanan selanjutnya.