MENYEMPURNAKAN ILMU

691 Kata
Entah berapa lama Winarsih tak sadarkan diri. Namun,saat sadar ia merasakan perutnya sangat perih. Ia merasakan rasa lapar yang luar biasa. “Cah ayu,kau sudah sadar?” Winarsih menoleh dan melihat Nyai Winarsih tengah menatapnya dengan senyuman. “Nyai, ini di mana?” “Kita masih di gunung ciremai. Kita di gua tempat kau pertama kali datang. Nah, kau kemarilah aku mendapatkan seekor ayam hutan dan sudah menyembelih juga memasaknya. Kau makanlah, sudah lama kau tidak makan ,bukan?” Winarsih mengangguk dan langsung mendekat perlahan kepada Nyai Tapa. Ia menerima daun pisang yang sudah diisi nasi dan ayam bakar. Kemudian ia melahapnya dengan cepat,bahkan nasi yang disiapkan oleh Nyai Tapa hamper ia habiskan. Seketika itu juga Winarsih mulai merasakan tenaganya pulih kembali. “Nyai, saya ingat terakhir Ketika saya semedi ada darah yang keluar, apakah itu adalah janin saya yang gugur?” tanya Winarsih. Nyai Tapa mengangguk, “Kau akan aku ajarkan beberapa ilmu sebelum kau kembali kepada keluargamu. Minggu depan adalah malam jumat kliwon dan kau akan kembali melakukan semedi dan tapa. Hanya saja kali ini cukup 7 hari 7 malam. Tapi, bukan di air terjun seperti kemarin,” kata Nyai Tapa. “Lalu? Saya harus melakukannya di mana,Nyai?” tanya Winarsih. “Kau tidak perlu tau sekarang. Nah sekarang kau bisa beristirahat dulu. Besok pagi aku akan mengajarkan sedikit ilmu beladiri kepadamu.” Winarsih hanya mengangguk dan menuruti perkataan Nyai Tapa. Ia pun kembali membaringkan dirinya dan mulai memejamkan matanya. Hanya dalam waktu sebentar gadis itupun sudah terlelap. Namun,tidak seperti biasa meskipun matanya terpejam dan ia tertidur lelap pendengaran Winarsih mampu mendengar suara yang halus dan pelan sekalipun. Pagi harinya Winarsih terbangun ketika hari masih gelap,ia merasa tubuhnya kini lebih ringan dan jauh lebih segar. Nyai Tapa pun mulai mengajarkan sedikit ilmu bela diri untuk Winarsih “Kelak ilmu bela diri ini akan sangat berguna untukmu,cah ayu.” “Baik, Nyai,” Karena sudah menjalani semedi yang cukup lama, Winarsih tidak kesulitan dalam mempelajari ilmu yang diberikan oleh Nyai Tapa. Ia pun tekun berlatih dan hanya dalam waktu yang singkat. “Cah ayu, aku akan memberikan juga ilmu pengobatan dan ilmu yang lain kepadamu.Kelak ilmu ini akan berguna. Hanya satu pesanku, gunakan ilmu ini dengan baik. Jangan kau salah gunakan dan jangan sombong. Kau boleh membalaskan dendammu. Ingat di atas langit masih ada langit. Dan malam ini, kau akan menjalani semedi yang kedua. Yang kau pelajari kemarin adalah ilmu Jaran goyang. Ilmu ini akan membuatmu awet muda, dan juga akan memikat lawan jenismu. Khusus untuk orang yang kau bacai mantra,orang itu akan tergila- gila padamu,hidup segan mati tak mau.” “Lalu yang sekarang akan aku pelajari?” “Aku akan mengajarkanmu ajian Brajamusti. Ajian ini akan berguna sebagai perisai tubuhmu, dan juga kau akan kebal terhadap senjata tajam. Tubuh dan terutama tanganmu akan terisi kekuatan. Pakai di saat kau benar-benar tedesak. Mata batinmu juga sudah terbuka, jadi kau bisa membantu menyembuhkan mereka yang terkena tekuh atau santet. Kau sendiri akan kebal terhadap santet dan teluh,” kata Nyai Tapa. Nyai Tapa membawa Winarsih ke puncak gunung , kali ini ia membawa Winarsih ke sebuah tempat yang sunyi. Di sebuah pohon besar Nyai Tapa mengarahkan pukulan ke tanah membuat sebuah lubang besar. “Buka semua pakaianmu,dan masuk ke dalam tanah itu,”kata Nyai Tapa. Winarsih pun mengikuti perintah Nyai Tapa. Ia masuk ke dalam lubang ,setekah itu Nyai Tapa mengubur Winarsih samoai hanya menyisakan kepalanya saja. Winarsih yang sudah terbiasa , tidak banyak protes ia diam mengikuti semua yang diperintahkan oleh Nyai Tapa. “Kau rapalkan mantranya sekarang, Niat ingsun amatek aji, ajiku sibrajamusti. Terap-terap angawe-awe gebyar-gebyar panuwunku,kade gerah subawaku,kade gunting drijiku watu item ing tanganku,sang katrajang remuk ajur mekso ilang tanpo bayu hiyo aku sibraja musti. Kau ikuti,” kata Nyai Tapa. Winarsih pun segera merapal mantra yang diajarkan oleh Nyai Tapa. “Seperti biasa, kau tidak boleh bergerak atau bicara apalagi berteriak. Apapun juga yang terjadi kau harus diam. Sekalipun aku yang datang kau hanya boleh mendengar tanpa harus menjawab sampai aku katakan semua selesai,mengerti?” Winarsih mengangguk, “Mengerti,Nyai,” jawab Winarsih lirih. Nyai Tapa pun segera melesat pergi meninggalkan Winarsih sendiri di tempat itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN