SEMEDI

1237 Kata
Hari masih gelap saat Winarsih mendengar suara Nyai Tapa yang bersenandung lirih mendendangkan lagu . “Ana kidung rumekso ing wengi teguh hayu luputa ing lara luputa bilahi kabeh jin setan datan purun.Paneluhan tan ana wani miwah panggawe ala gunaning ana wong luput geni atemahan tirta maling adoh tan ana ngarah ing mami guna duduk pan sirno.” Winarsih mendengarkan tembang itu ,bulu kuduknya langsung meremang. Nyai Tapa yang menyadari bahwa Winarsih sudah terbangun dari tidurnya menghentikan tembangnya. “Kau sudah bangun cah ayu? Kau belum pernah mendengarkan tembang yang aku nyanyikan tadi sebelumnya?” tanya Nyai Tapa. “Iya ,Nyai. Saya belum pernah mendengarkan nyanyian itu sebelumnya. Satu-satunya kidung yang saya tau hanyanya lingsir wengi.Ibu saya dulu sering menyanyikan lagu itu. Kata Ibu lagu itu diciptakan oleh Sunan Kalijaga,katanya sebagai penolak bala. Tapi,tembang yang tadi Nyai nyanyikan saya tidak tau tembang apa.” Nyai Tapa hanya terkekeh ,”Kau tau tembang Lingsir Wengi tapi kau tidak tau Kidung Rumeksa ing Wengi . Padahal yang menciptakan adalah orang yang sama,”kata Nyai Tapa. “Sudahlah,saat ini bukan kidung yang perlu kau ingat. Lihat itu ada air di dalam kendi. Kau minumlah dan makan juga ini,” kata Nyai Tapa memberikan sekepal nasi putih. Winarsih mengerutkan dahinya. Seingat Winarsih,Nyai Tapa tidak membawa beras sebutir pun. Tapi mengapa tiba-tiba ada nasi putih. Seolah bisa membaca pikiran Winarsih Nyai tapa tertawa pelan. “Tidak usah kau pikirkan dari mana nasi ini berasal. Kau makan saja lalu kau ikut aku.” Winarsih meraih nasi kepal dari tangan Nyai Tapa dan langsung memasukkan ke dalam mulutnya. Setelah itu ia pun langsung meminum air yang ada di dalam kendi. “Ayo sekarang ikut aku,”kata Nyai Tapa. Winarsih mengangguk dan mengikuti langkah Nyai Tapa. Mereka berjalan sedikit mendaki dan setelah beberapa lama akhirnya mereka tiba di sebuah air terjun. Nyai Tapa membawa Winarsih ke bawah air terjun itu. “Kau duduk bersila di sini dan buka seluruh pakaianmu.” Winarsih terbelalak kaget. “Semuanya,Nyai?” “Iya ,semuanya. Kau harus benar-benar dalam kondisi polos tanpa apapun yang menutupi.” Winarsih menghela napas panjang,ia teringat aka napa yang sudah ia alami dan akhirnya ia pun segera membuka seluruh pakaiannya tanpa sisa. Nyai Tapa menghampiri gadis itu dan menggerai rambut panjang Winarsih . “Kau duduk bersila dan ucapkan mantra ini dalam hatimu kau ingat baik-baik. Dampal suku ngabatu datar bitis ngabatu wilis nyurup ka bandanna nyurup ka sungsumna getih sabadan bedas ngala ka aki. Kau ulangi apa yang aku ucapkan!” “Dampal suku ngabatu data bitis ngabatu wilis nyurup ka bandanna nyurup ka sungsumna getih ka … getih kabadan,eh getih sabadan bedas ngala ka aki,betul begitu,Nyai?” “Kau mengerti artinya?” “Telapak kaki batu wilis berbalik ke tubuh dan beralih ke sumsum darah tubuh yang berbeda,”jawab Winarsih. “Bagus, kau ternyata pintar juga cah ayu. Nah,sekarang kau duduk bersila di atas batu besar itu dan biarkan air dari atas mengalir membasahi tubuhmu,konsentrasi dan baca terus mantra itu. Mantra tadi adalah mantra supaya kau bisa memperoleh kekuatan ghaib yang menyatu sampai ke tulang dan sumsummu. Kau harus duduk bersila dan berpuasa selama empat puluh satu hari. Tidak makan dan minum. Kau tidak perlu takut mati,sebab setelah ini kau akan berada di dua dunia.Tidak hidup tapi juga tidak mati dan kau akan menjadi manusia yang baru.” Winarsih menelan salivanya. Tapi demi dendamnya dan demi rasa sakit hatinya ia harus kuat. Maka Winarsih pun menganggukkan kepalanya. “Jangan bergerak atau berteriak apapun yang terjadi. Apapun yang dating dan menggoda kau harus tetap diam dan membaca mantra.Sekalipun aku yang datang dan melakukan sesuatu pada dirimu,kau tidak boleh berteriak atau bertanya. Jika kau bergerak atau berteriak maka kau gagal dan sekali gagal tidak akan dapat diulang lagi. Kau hanya boleh bergerak dan bersuara saat aku mengatakan bahwa kau sudah selesai,mengerti?” “Baik,Nyai.” “Bagus,aku akan pergi. Tapi aku akan tetap menjaga dan mengawasi dirimu.” Nyai Tapa pun berbalik dan dalam sekejap mata ia sudah tak terlihat lagi. Winarsih pun duduk bersila di atas batu besar yang di tunjukkan oleh Nyai Tapa dan memejamkan matanya lalu merapal mantra yang tadi sudah diajarkan oleh Nyai Tapa. Tubuh Winarsih terasa mengigil dan dingin karena air terjun yang langsung mengalir dari kepalanya. Namun,Winarsih menguatkan hati,ia menahan rasa dingin yang menyerangnya dan tetap duduk bersila. Menjelang sore hari ia merasakan ada yang bergerak di tengkuknya. Winarsih membuka matanya perlahan tanpa berhenti membaca mantra dan melihat ada kelabang yang cukup besar di lehernya merayap begitu saja. Tanpa mempedulikan kelabang itu ,Winarsih pun kembali memejamkan matanya. Dan setelah beberapa lama, ia merasa tidak ada lagi yang merayap di tubuhnya. Malam mulai turun dan kali ini perutnya terasa perih karena seharian memang tidak diisi makanan. Ia pun mulai merasa haus. Namun, Winarsih terus menguatkan hatinya. Ia tidak mau gagal dalam semedi dan tapanya ini. Lolos melewati 3 malam tanpa gangguan, malam itu tiba-tiba Winarsih mendengar suara mendesis di dekatnya. Gadis itu pun kembali membuka matanya dan melihat seekor ular python yang cukup besar sedang merayap di atas pahanya. Dada Winarsih berdebar kencang ,sebagai manusia biasa ia tentu merasakan takut yang luar biasa. Namun , ia selalu mengingat pesan Nyai Tapa untuk tidak bergerak apa lagi berteriak , maka ia pun tetap tenang dan merapal mantranya. Tiba-tiba ular itu melingkari tubuh Winarsih dan mengetatkan belitannya sehingga Winarsih merasa dadanya sesak luar biasa. Krak … krak, entah tulang Winarsih yang mana yang telah di remukkan oleh ular itu. Namun Winarsih hanya diam dan gadis itu kembali memejamkan matanya. Ia sudah pasrah kalaupun ia harus mati malam ini. Entah berapa lama ular python itu membelitnya, tiba-tiba Winarsih merasa lilitan ular itu semakin melonggar dan ia pun dapat kembali bernapas dengan lega meski ia kini merasa seluruh tubuhnya terasa begitu sakit. Sesaat Winarsih membuka matanya dan melihat ular itu merayap pergi. Winarsih pun kembali memejamkan mata. Sementara dari kejauhan tampak Nyai Tapa duduk di sebuah pohon besar. “Gadis itu luar biasa,ia akan menjadi gadis yang kuat dan tangguh,hahaha….” Menjelang hari ke sepuluh ,Nyai Tapa menghampiri tubuh Winarsih yang masih duduk bersila. Ia membawa tujuh buah kelapa dan menyiramkan airnya ke tubuh Winarsih dari ujung kepalanya. Kemudian ia mengeluarkan pisau dan meraih tangan Winarsih kemudian menyayatnya perlahan. Winarsih hanya mengigit bibirnya menahan rasa sakit. Darah Winarsih pun mengalir,gadis itu merasakan tubuhnya melemas. Namun ia tetap mencoba bertahan. Setelah itu Nyai Tapa pun mengeluarkan kembang tujuh rupa dan menaburkannya mulai dari kepala Winarti sambil membaca mantra. Setelah itu Nyai Tapa pun kembali meninggalkan Winarsih seorang diri. Winarsih merasakan tubuhnya begitu lemah dan ia merasa seolah ada yang menariknya dan saat ia membuka mata ia sedang duduk dan ia bisa melihat dirinya sendiri yang tengah duduk bersila di atas sebuah batu besar. Ia merasa keheranan,namun ia tetap fokus dan merapal mantra. Tiba-tiba ia mendengar suara tawa yang melengking dan ia melihat sesosok wanita yang berwajah sangat menyeramkan tengah mengganggu tubuhnya. “Hihihhi … Ada anak manusia yang nyasar rupanya di sini. Heh! Lebih baik kau bangun,percuma saja para dewa tidak akan mendengarkan permohonanmu. Heh!” wanita buruk rupa itu mengguncang tubuh Winarsih lalu dengan kukunya yang panjang ia menggores pipi Winarsih yang putih bersih hingga berdarah. Aneh,saat melihat pipinya tergores Winarsih merasakan perih ,namun ia tahan untuk tidak mengeluarkan suara. Setelah beberapa lama,wanita menyeramkan itupun hilang dan Winarsih merasakan tubuhnya kembali disedot oleh pusaran angin kencang lalu kembali dihempaskan. Dan saat ia membuka matanya ia sudah berada kembali dalam tubuhnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN