Flow of Life - 32

2116 Kata
“Sudah ramai sekali rupanya.” ucap Roswel ketika dirinya berjalan pelan memasuki aula tempat berkumpulnya para pelayan pendamping dari seluruh negeri yang terpanggil oleh dengungan kecil pada pendengaran mereka masing-masing dari Sang Penguasa. Di sana, di aula yang sangat luas itu, Roswel terlihat melipir ke area sepi untuk berdiri diam demi ikut menunggu hal yang akan diumumkan oleh Sang Penguasa, banyak sekali pelayan pendamping yang telah hadir dan berkumpul, mereka saling mengobrol dan tertawa renyah, tampak bahagia dan menyenangkan. Sedangkan Roswel lebih memilih menyendiri dibanding harus bergabung dan berinteraksi dengan rekan-rekan seangkatannya. Mungkin meskipun ia selalu ramah dan pandai bicara terhadap Paul dan para pahlawannya, ternyata Roswel tidak begitu suka berbaur dengan kaumnya sendiri. Di bagian depan aula, terdapat panggung kecil tempat Sang Penguasa biasa menyampaikan pidatonya pada mereka, lalu ada lampu besar yang berbentuk bunga gladiol putih yang menggantung di bagian tengah langit-langit aula, cahayanya begitu terang, menyinari dan menghangatkan tempat luas itu sehingga kebanyakan orang lebih nyaman berdiri di dekat lampu tersebut. Terdapat bendera-bendera kecil berwarna putih yang dipasang di tiap sisi panggung, dan juga menggantung di tiap tepi langit-langit ruangan, dan di dalam benderanya tergambar lambang tiga tangkai bunga gladiol putih, merah, dan hitam yang saling mengait membentuk sebuah lingkaran. Bendera-bendera yang terpasang di aula mengartikan dari jati diri dari Sang Penguasa dan makna dari eksistensi pulau ini, dan itu sifatnya sangat sakral dan bernilai. Gema obrolan jadi semakin riuh, beberapa kelompok pelayan pendamping banyak yang baru berdatangan memasuki aula dengan bergerombol, semuanya mengenakan jubah hitam bermotif sama seperti yang dipakai Roswel, tapi banyak dari mereka memiliki ciri khas masing-masing pada penampilannya yang dapat membedakan antara satu dengan yang lainnya. Sedari tadi Roswel hanya berdiri tegak dengan memandangi panggung yang kosong, menunggu kemunculan Sang Penguasa yang sepertinya akan mengutarakan sebuah pengumuman penting pada mereka semua, tapi beberapa menit menunggu, sosok yang mereka tunggu masih belum tampak sedikit pun. Mungkin Sang Penguasa sedang sibuk bersiap-siap di ruangan lain, entah menyiapkan narasi pidatonya atau mungkin mengurus penampilannya yang mesti tampak rapi dan elegan. Ketika Roswel masih melamun sendirian di pojok aula yang sepi dan lengang, tiba-tiba ia dikejutkan dengan kemunculan seorang wanita yang ikut berdiri tegak di sampingnya, setelah dilihat baik-baik ternyata itu adalah Lolita. Wanita itu menghela napasnya sambil memandang lurus ke arah panggung yang masih kosong. “Tidak biasanya Sang Penguasa memanggil kita di tengah malam begini, ya?” cetus Lolita, memulai pembicaraan pada Roswel tanpa sedikit pun memandangi wajah lawan bicaranya. Wanita itu memegang boneka jeraminya yang kusut dan kotor di tangan kanannya, mukanya pun terlihat lesu dan tidak berenergi, tidak seperti Lolita yang seharusnya. “Sebenarnya ada kepentingan apa, ya? Aku benar-benar tidak mengerti, tapi di sisi lain aku jadi sangat penasaran. Bagaimana denganmu, Roswel? Apakah kau tahu sesuatu soal ini?” “Sayangnya, tidak,” jawab Roswel dengan tersenyum ramah pada Lolita, meski wanita berambut biru itu sama sekali tidak menatap matanya. “Tapi kemungkinan sesuatu yang akan dibahas oleh beliau sangat penting, jika dilihat dari sikap beliau yang jarang sekali memanggil kita di waktu-waktu seperti ini. Semoga saja bukan kabar yang buruk.” Kemunculan Lolita tidak membuat Roswel merasa terganggu, karena sejatinya dia juga haus akan sebuah obrolan ringan, tapi mengingat wanita itu baru saja berurusan dengannya di ruang penuh bunga, membuat ia jadi sedikit bimbang untuk berinteraksi lebih lanjut sebab ia tidak ingin menyinggung pertikaian sebelumnya yang terjadi antara Gissel dan Paul. “Ya, kau benar,” timpal Lolita yang kini mulai menoleh dan memandangi wajah Roswel di sampingnya dengan tersenyum miring, tampak mengejek. “Semoga saja bukan sesuatu yang berhubungan dengan kita, ya.” Tergelitik dengan perkataan Lolita yang jelas sekali menyinggung konflik antara dirinya dengan Roswel di ruangan berbunga, membuat lelaki pucat itu hanya tersenyum tipis dalam keheningan, berusaha untuk tidak menyiram api yang bergejolak dengan minyak tanah karena itu hanya akan memperburuk suasana antara mereka berdua. Sadar omongannya tidak digubris, Lolita menyeringai dan kembali bersuara, “Ngomong-ngomong, apakah kau sudah dengar kabar terbaru tentang Si Gladiol Merah?” Paham pada yang dibahas oleh Lolita, Roswel segera menggelengkan kepalanya. “Memangnya ada kabar apa tentang dia?” “Dia sudah dibebaskan,” Roswel sedikit terkejut saat mendengar itu. “Dan kini dia resmi menjadi pelayan pendamping di Megasta, dan tahu tidak? Aku tadi sempat bertemu dengannya di ruang penyambutan, tepat setelah kau dan mentormu lenyap dari situ.” “Menarik,” kata Roswel dengan terkekeh sejenak. “Lalu, apa yang dia bicarakan saat bertemu denganmu?” “Tidak banyak, hanya saja aku merasa auranya yang sekarang lebih gelap dan mengerikan dari terakhir kali aku melihatnya, bahkan mentor dan pahlawan-pahlawan bimbingannya menaruh rasa hormat yang sangat besar pada dirinya, sampai-sampai mereka menyebut orang itu dengan sebutan ‘Tuan’" Lolita terkikik-kikik sendiri, menertawakan betapa ironisnya situasi yang sedang dibicarakannya, membuat Roswel jadi ikut termenung mendengarnya. “Bukankah itu aneh sekali?” celoteh Lolita dengan menggeleng-gelengkan kepalanya sambil terkikik-kikik ria. “Di saat kita diharuskan untuk bersikap sopan dan hangat pada mentor dan pahlawan-pahlawan yang kita bimbing, dia malah bersikap dingin pada mentor dan pahlawan-pahlawannya, bahkan semena-mena pada anak-anak yang dibimbingnya, membuat mereka jadi menghormatinya dalam ketakutan.” “Apakah aku seburuk itu di matamu, Lolita?” Seketika Vardigos muncul di belakang Lolita dan Roswel, berdiri kokoh dengan wajahnya yang tampak tersenyum lebar, ia pun ikut bergabung dalam pembicaraan dengan berdiri di dekat si lelaki pucat. “Jadi, apa yang harus kulakukan agar aku tidak terlihat buruk di mata kalian?” Lolita nyaris tersedak air ludahnya sendiri saat mendengar suara Vardigos yang ada di belakangnya, tapi setelah berangsur-angsur kemudian, dia mencoba mengambil napas panjang dan mulai memaksakan diri untuk menyapa ramah pria berkulit merah dan berambut hitam panjang itu yang hadir di dekatnya. “Senang berjumpa denganmu lagi, Vardigos,” sapa Lolita dengan menyunggingkan senyuman yang terpaksa. “Kukira kau tidak akan ikut ke dalam pertemuan ini, mengingat dirimu satu-satunya pemberontak nekat di antara kita.” “Seperti biasanya, perkataanmu sangat manis dan penuh kiasan, Lolita.” Jawab Vardigos sebelum akhirnya dia terbahak-bahak sejenak. “Tidak mungkin aku melewatkan acara ini, apalagi ini adalah pertama kalinya aku kembali berkumpul bersama kalian setelah bebas dari masa penahanan. Ini sangat luar biasa, aku senang bisa berbincang lagi dengan kalian berdua, Lolita, Roswel.” Roswel hanya mengangguk sambil tersenyum, sedangkan Lolita hanya mengedikkan bahunya, tampak tidak begitu peduli pada omongan Vardigos. Keheningan mulai tercipta saat tidak ada yang mau menimpali perkataan dari Vardigos, dan akhirnya Si Gladiol Merah memutuskan untuk memulai percakapan baru di antara mereka agar suasana tetap menyenangkan. “Bagaimana dengan kalian berdua sejauh ini? Apakah menyenangkan bisa terpilih menjadi pelayan elit yang punya kewenangan membimbing mentor dan para pahlawan di negara-negara maju?” Itu hanya basa-basi. Sebenarnya Vardigos tidak begitu peduli soal bagaimana perasaan mereka berdua, tapi rasanya itu bukanlah sesuatu yang buruk untuk dijadikan sebagai sebuah pembahasan ringan. Setidaknya perbincangan mereka tidak terhenti dan tetap mengalir. Namun, sayangnya Lolita malah menggunakan kesempatan itu untuk menyerang Vardigos dengan kemampuan lidahnya yang pandai mencemooh orang lain. “Bagaimana dengan dirimu sendiri? Apakah kau senang bisa terpilih menjadi pelayan elit setelah kau baru saja dibebaskan dari hukuman beratmu? Bahkan luar biasanya, kau diberi hak untuk mengurus mentor dan para pahlawan dari Megasta, yang merupakan negara nomor satu di dunia. Tentu saja pasti membahagiakan sekali, ya? Bisa dipercaya sebegitu mudahnya oleh beliau.” Tercolek oleh ucapan Lolita yang penuh dengan sindiran dan ejekan, Vardigos hanya terkekeh-kekeh sebelum akhirnya mulai menjawabnya dengan sedikit hati-hati. “Ada beberapa hal yang membuat Sang Penguasa memutuskanku untuk dijadikan sebagai Pelayan Pendamping di Megasta, tapi aku tidak diberi tahu hal-hal apa saja itu, mungkin di pertemuan ini beliau akan menjelaskannya pada kita. Lalu mengenai ‘pelayan elit’, aku tidak yakin aku dianggap sebagai seorang pelayan elit, mengingat rekam jejakku sangat buruk dan bermasalah. Mungkin aku masih dinilai sebagai pemberontak dan membimbing mentor dan para pahlawan di Megasta adalah salah satu syarat agar mereka bisa memaafkan kesalahanku, tapi itu baru kemungkinan, aku tidak tahu secara pasti.” “Tapi kau senang, kan?” Tidak mau melewatkan kesempatan ini, Lolita terus melancarkan serangan lidahnya agar dia dapat menguasai dan mengendalikan emosi Vardigos. “Lagipula, kau tidak mungkin ‘biasa-biasa saja’ saat mendengar nama ‘Megasta’, itu adalah negara nomor satu di dunia dan setiap pelayan pendamping seperti kita, selalu ingin membimbing mentor dan para pahlawan di sana, sebab siapa pun yang diperintah untuk membimbing anak-anak di sana, adalah satu-satunya pelayan yang sangat berkualitas dan dapat dipercaya oleh Sang Penguasa.” Vardigos terdiam sejenak, Lolita terkikik-kikik melihat ucapannya berhasil mencekik jiwa lelaki berkulit merah itu, sementara Roswel hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. “Ah, sepertinya aku ingin minum beberapa anggur, apa kau mau juga?” bisik Roswel dengan menyenggol lengan kanan Vardigos yang berdiri di samping kirinya. Menyadari pertolongan dari Roswel, Vardigos tersenyum senang dan segera mengangguk. “Lolita, kami mau mengambil beberapa anggur, apa kau keberatan jika ditinggal sebentar oleh kami?” Mendengar itu, Lolita hanya menghela napas dan memasang wajah sebal. “Silahkan.” Kemudian, Roswel dan Vardigos secara santai berjalan ke area tengah aula untuk mendatangi meja panjang yang menyediakan ratusan minuman anggur yang berkilauan di dalam gelas yang langsing dan cantik. Sesampainya di meja itu, Roswel tidak langsung mengambil minuman, ia berhenti dan bertanya pada Vardigos dengan mengernyitkan alisnya. “Kau baik-baik saja?” Roswel mengkhawatirkan kondisi Vardigos setelah sebelumnya diprovokasi oleh Lolita dengan sebegitu kejamnya, seolah-olah kehadiran Si Gladiol Merah adalah sesuatu yang menjijikan. Namun, bukannya merasa marah atau jengkel, Vardigos hanya tertawa setelah mendengar pertanyaan dari Roswel, seakan-akan itu adalah sesuatu yang sangat lucu, membuat Si Lelaki Pucat jadi terheran-heran. “Seperti biasanya, kau memang selalu baik padaku, Roswel,” ungkap Vardigos dengan masih terbahak-bahak di samping Roswel. “Tidak perlu mengkhawatirkanku, aku baik-baik saja.” “Syukurlah,” Roswel tersenyum lega. “Kukira kau akan marah dan mengamuk seperti dulu, aku bahkan sangat tegang ketika Lolita terus-terusan memancingmu.” “Itu memang sedikit membuatku terusik, tapi aku sudah tidak begitu menganggapnya serius, aku telah melewati berbagai hal mengerikan di ruang tahanan dan ucapan-ucapan dari Lolita sama sekali tidak sebanding dengan kengerian yang pernah kurasakan di sana,” kata Vardigos dengan tersenyum lebar dan mengambil satu gelas minuman anggur di permukaan meja panjang lalu meminumnya dengan sekali tegukan dan meletakkan gelasnya kembali setelah isinya kosong. “Jadi begitulah. Kau tidak perlu mengkhawatirkanku.” “Mereka sedang membicarakanku, ya?” Lolita menaikan sebelah alisnya sambil mengamati gerak-gerik Roswel dan Vardigos yang sedang mengobrol di dekat meja minuman. “Yah, tidak masalah, aku senang jika seranganku berhasil mengguncangkan jiwa mereka.” “Kalau begitu, ayo kita kembali?” ajak Vardigos pada Roswel agar mereka kembali ke dekat Lolita, mendengarnya Roswel hanya mengangguk dan mengambil dua gelas minuman di dua tangannya. “Ini untukmu.” kata Roswel sambil menyerahkan satu gelas minuman anggur pada Lolita sesampainya dia di tempat sebelumnya. “Terima kasih,” Lolita tersenyum dan meraih gelas minuman itu dari tangan kiri Roswel dan segera menggenggamnya secara anggun dalam tangan kanannya. “Kau tidak suka anggur?” tanya Lolita pada Vardigos setelah menyadari lelaki berkulit merah itu tidak membawa segelas minuman di tangannya. “Aku sudah meneguknya di sana,” balas Vardigos dengan terkekeh. “Dan rasanya benar-benar menjijikan.” Tersenyum miring, Lolita mengerlingkan bola matanya dalam-dalam ke muka Vardigos. “Ya, kau benar,” Sambil berbicara, Lolita meneguk sedikit anggur itu dengan terkikik-kikik. “Rasanya sangat menjijikan.” Mendengar pembicaraan dua rekannya, Roswel hanya memandang ke depan aula sembari menikmati minumannya, tidak menghiraukan omongan dari mereka dan kembali fokus menunggu kemunculan Sang Penguasa di atas panggung kecil tersebut. Keriuhan jadi semakin bising, para pelayan pendamping di sana turut meramaikan suasana, jumlah mereka ratusan dan nyaris memenuhi sebagian aula, suara bisikan, obrolan, seruan, teriakan, tawa, dan bahkan tangisan terus-terusan terdengar dari banyak perbincangan dari berbagai pelayan pendamping di sana. Roswel, Vardigos, dan Lolita juga termasuk ke dalam orang-orang yang meriuhkan suasana, mereka bertiga tampaknya jadi begitu akrab. Dan mendadak, kebisingan itu terhenti dalam sekejap, setelah sesosok yang mereka tunggu-tunggu, telah berdiri di atas panggung. Keriuhan yang sebelumnya terjadi tiba-tiba hening dan sunyi hanya dalam hitungan detik, seolah-olah hadirnya sosok tersebut mampu mengendalikan suasana tanpa mengatakan apa pun. Segala tawa, segala obrolan, dan segala perselisihan, langsung terbungkam dan lenyap begitu saja. Semua pelayan pendamping yang hadir di aula segera memandang ke depan aula, untuk memperhatikan sosok yang memanggil mereka, untuk mendengar apa yang akan disampaikannya di tengah malam yang dingin seperti ini. Dengan tersenyum tipis, memancarkan aura yang begitu lembut dan menggetarkan hati, sosok itu mulai berbicara dengan suara halusnya yang dinyaringkan. “Selamat malam, anak-anakku,” ucap sosok yang diduga sebagai Sang Penguasa, menyapa para pelayan pendamping ciptaannya dengan melambai-lambaikan tangan kanannya. “Terima kasih atas kepatuhan dan kesetiaan kalian mau berkumpul di istana kita yang kecil ini,” Terdiam sejenak, sosok itu kembali melanjutkan perkataannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN