Flow of Life - 01
“Aku tidak pernah menduga hidupku akan jadi seperti ini”
Dengan derai air mata yang membasahi wajahnya, Osamu, anak lelaki berambut hitam pendek itu tersengguk-sengguk duduk di depan jasad kakak perempuannya yang telah dimasukkan ke dalam peti mati. Setelah prosesi pemakaman berakhir, Osamu termenung di dalam kamarnya, suara rintikan air hujan terdengar deras di luar, ia masih mengenakan pakaian serba hitam, pakaian khusus pemakaman, yang tampaknya tidak berniat untuk menggantinya sama sekali.
Sejujurnya ini bukanlah kali pertama Osamu merasakan kesedihan ditinggal oleh orang terdekatnya, karena dulu ketika ia masih kecil, orang tuanya tewas karena insiden kecelakaan pesawat mengakibatkan jasadnya tidak dapat ditemukan. Dan Osamu yang dulu, sangat bersedih, bahkan tangisannya begitu histeris, tapi kali ini, dalam kematian kakak perempuannya, Osamu hanya menangis dalam diam, saking perihnya.
Di kala renungannya, ia mencoba membuka laptop dan mencari hiburan di sana, awalnya dia hanya ingin berselancar di internet seperti biasa, tetapi entah kenapa dia mendapatkan sebuah ilham, atau mungkin lebih tepatnya ide agar ia tidak terjebak terus-menerus dalam kesedihannya. Ia mendapatkan ide itu setelah melihat laman jualan rumah, yang menjual banyak sekali jenis rumah, dari yang sederhana sampai yang mewah, dari lokasinya di kota besar, sampai di desa yang terpencil. Osamu mulai berpikir ingin membeli rumah di suatu tempat, dia merasakan kehidupan baru, agar dia bisa mendapatkan gairah hidupnya lagi.
Beruntung, harta warisan yang diterimanya lumayan banyak, jadi dia bisa menggunakan itu untuk membeli rumah pilihannya dan keperluan hidupnya yang lain. Sejak itu, Osamu sangat bersemangat. Keesokannya dia segera merapikan beberapa pakaian dan celana, juga menyiapkan barang-barang ringan yang ingin ia bawa, jelas tujuannnya adalah sebuah desa yang sejuk, Osamu sangat ingin tinggal di desa, jauh dari kebisingan kota yang mengganggu.
“Sekarang, aku harus mengurusi surat-surat kepindahanku.” Setelah semua barang bawaannya siap, Osamu terlebih dahulu pergi ke kantor kependudukan untuk mengurusi hal-hal terkait kepindahannya ke desa, sampai dua jam kemudian, semuanya rampung.
Cuaca cukup panas, tapi tidak membuat semangat Osamu hilang, dia menyeret tas ranselnya dan berjalan pelan di stasiun kereta, menunggu kedatangan kereta. Di sana, dia melihat banyak sekali orang yang juga menunggu kereta yang sama sepertinya. Sambil menunggu, Osamu duduk di kursi panjang dengan mengunyah roti bakar yang dibelinya, rasa cokelat yang nikmat masuk ke dalam kerongkongannya, kebetulan tadi pagi dia belum sarapan, jadi dia ingin mengisi perutnya sebanyak mungkin sebelum perjalanan dimulai.
Ketika kereta yang ditunggunya telah tiba di depan matanya, Osamu segera menghabiskan roti terakhirnya dengan cepat dan berdiri sambil menyeret tas ranselnya dengan santai, masuk dan mendapatkan kursi kosong, Osamu langsung duduk di sana dengan memilih kursi yang dekat dengan jendela. Kereta bergerak, perjalanannya pun dimulai, Osamu sangat tidak sabar ingin melihat desa yang akan menjadi tempat tinggalnya, tapi di saat yang bersamaan ia juga sedih karena terpaksa meninggalkan rumah dirinya yang dulu di kota. Osamu juga tidak sempat menjual rumah itu, dia harap rumah itu baik-baik saja saat suatu hari dia kembali ke sana.
“Kakak, maafkan aku, aku harus pergi dari rumah, tapi aku berjanji, suatu saat aku pasti akan kembali.”
Tertidur dalam perjalanan, ketika Osamu membuka matanya, ia terkejut karena kereta ini sudah mulai memasuki wilayah pedesaan, terbukti jendela menyajikan pemandangan yang begitu hijau di luar, pesawahan, perkebunan, hutan, gunung, dan semacamnya kini mendominasi. Tidak ada lagi bangunan-bangunan tinggi di luar sana, tidak ada lagi hiruk-pikuk, mobil-mobil yang berseliweran atau kebisingan orang-orang yang berlalu-lalang, semuanya lenyap tak tersisa, menyisakan lautan hijau yang begitu sejuk dan indah.
“Inilah yang aku inginkan sejak dulu, aku yakin hidupku akan tenang jika tinggal di sini.”
Osamu benar-benar bahagia, dia senang pilihannya pindah ke desa telah membawanya ke tempat yang sejuk dan damai. Di sini, dia bisa focus menjalani kehidupan barunya tanpa khawatir kenangan-kenangan masa lalu mencekiknya. Setidaknya, dia akan membuat kenangan baru di sini.
Di usianya yang baru 18 tahun, Osamu sudah berani untuk pergi dan pindah secara legal ke tempat baru, dia sudah paham bagaimana prosedur dan sistem perpindahan penduduk, selain itu, dia juga sudah banyak meriset apa dan bagaimana dia berinteraksi dengan penduduk desa, dia yakin akan mendapatkan pengalaman baru di tempat baru tersebut.
Sesampainya di desa tujuannya, Osamu berjalan-jalan pelan, melihat-lihat pemandangan dan aktivitas yang tertampak di sekelilingnya, banyak sekali suara hewan ternak, juga obrolan para penduduk yang sedang sibuk bekerja di kebun dan sekitarnya. Osamu melihat banyak anak-anak yang berlarian ke sana kemari, bermain lompat tali atau menggoda angsa-angsa liar.
Puas melihat-lihat desa tempat tinggal barunya, Osamu segera melangkahkan kaki menuju rumah barunya, setelah dia berbicara dengan pejabat desa di kantor pelayanan masyarakat. Ternyata rumah barunya sama seperti di gambar yang ia lihat di laman penjualan rumah, itu artinya dia tidak salah rumah. Dari penampilannya, rumah ini memang tidak sebagus rumah Osamu yang dulu, tetapi rumah itu cukup nyaman untuk ditempati.
“Ini lumayan juga” Osamu tersenyum tipis dan berjalan memasuki pekarangan rumah barunya, mendatangi pintu depan dan membukanya dengan kunci secara perlahan. Banyak debu yang bertebaran, dan Osamu berpikir rumah ini sudah kosong sejak lama. Tidak menunggu waktu lama, Osamu segera membersihkan setiap sudut rumah itu, hingga akhirnya dia bisa duduk dengan tenang di lantai yang bersih.
Namun, baru saja dia selesai membersihkan rumah barunya, dia melihat ada gadis asing yang asal masuk ke dalam rumahnya. Gadis itu terkejut saat melihat Osamu ada di dalam rumah, dan hendak berlari keluar, tetapi oleh Osamu ditahan.
“Tunggu! Kau siapa?”
“Maaf, aku pikir rumah ini masih kosong, pantas saja jadi bersih seperti ini, ternyata ada penghuni baru.”
Gadis itu berbicara dengan nada yang datar, kemudian kembali berbicara. “Kelihatannya kau dari kota besar, apakah kau ingin melarikan diri dari hidupmu dengan tinggal di desa terpencil seperti ini? Apa tujuanmu datang ke sini? Ngomong-ngomong, aku tidak suka bertetangga dengan orang asing.”
“Aku rasa, ucapanmu terlalu kasar untuk seorang pendatang sepertiku. Apakah aku seburuk itu di matamu sampai tidak mendapatkan sambutan di desa ini?”
“Kalau begitu, maaf, biar kuganti kalimatku,” sela gadis itu dengan ketus. “Jadi, mau cari apa kau di desa ini? Pekerjaan? Perempuan? Keluarga? Lingkungan? Atau mungkin… kehidupan baru?”
“Hey, sebenarnya kau ini kenapa? Seharusnya aku yang marah karena kau masuk seenaknya ke dalam rumahku, tetapi kenapa jadi kau yang terkesan marah di sini?”
“Kau tidak mau menjawabnya, kalau begitu, izinkan aku pergi.”