Flow of Life - 17

2064 Kata
Masih berada di ruangan penuh bunga, Gissel dan Paul histeris saat Leo seenaknya berprasangka bahwa mereka berdua pernah melakukan hubungan badan hanya karena gadis keriting itu mengatakan bahwa rahimnya diobrak-abrik. Leo hanya menyimpulkan sesuatu yang ada di pikirannya dan segera melontarkannya pada mereka berdua, tapi dia terkejut karena sepertinya itu adalah sebuah kesalahpahaman. Namun, Leo tersenyum untuk berpura-pura pada mereka bahwa dirinya masih salah paham. “Ada apa? Aku tidak salah, kan?” cibir Leo, menggaruk lehernya dengan santai. “Dari perkataanmu saja,” Leo menyudutkan pandangannya pada Gissel. “Kau jelas-jelas bilang bahwa rahimmu diobrak-abrik oleh Paul, lantas jika bukan b*********a, kalian melakukan apa?” “TUTUP MULUTMU! k*****t!” raung Paul dengan mengatur napas dan menghapus darah yang bercucuran di hidung dan mulutnya menggunakan tangan. “Mana mungkin aku b*********a dengan gadis menyebalkan seperti dia!” “Jaga mulut kalian!” Tak terima dirinya direndahkan oleh dua lelaki itu, Gissel pun ikut bersuara. “Menjatuhkan harga diriku sebegitu kejamnya, kalian pikir aku ini apa!?” Bosan dengan pertikaian-pertikaian tak berujung, akhirnya Leo memutuskan untuk menguap dan berkata dengan mata yang sayu, “Daripada kita bertengkar terus, bagaimana kalau kita bekerja sama? Menurutku itu akan sangat berguna untuk menambah relasi, maksudku, kita di sini punya peran yang sama, kan? Sebagai sesama mentor, kurasa kita harus saling membantu dalam melindungi dunia ini dari kejahatan.” “Kejahatan?” Gissel kaget saat Leo dengan muka tak berdosanya, membahas soal melindungi dunia dari kejahatan, tidak mengingat bahwa lelaki itu selama ini sudah melakukan banyak sekali kejahatan yang kurang ajar pada gadis sepertinya. “Kau bilang begitu setelah melukai banyak orang di sini? Bukankah kau di sini yang sangat jahat! Seharusnya orang sepertimu tidak pantas menyandang gelar sebagai ment—EEKKK!” Tiba-tiba Leo melesat ke posisi Gissel dan mencekik leher gadis itu sembari mengangkat tubuh perempuan itu tinggi-tinggi dengan tangan kanannya. Tampaknya Leo tidak terima pada segala ucapan yang Gissel lontarkan. “Apa kau tahu?” ujar Leo dengan menggeram gemas, amarahnya benar-benar membludak saat Gissel mencela perannya sebagai mentor. “Yang berhak berpendapat begitu hanyalah Sang Penguasa seorang, pantas atau tidak pantasnya diriku sebagai mentor bukanlah urusanmu. Sekali lagi bilang begitu, tergantung situasinya, lehermu bisa saja kuhancurkan hingga—“ Puk! Seketika perkataannya terpangkas ketika ada sebuah tangan besar yang menyentuh pundak Leo, membuat lelaki berambut cokelat gelap itu terkaget dan sedikit menolehkan kepalanya ke belakang, dan saat itulah dia benar-benar terkejut karena menyadari bahwa ada raksasa gemuk yang berdiri tepat di belakangnya. “Bukankah dia itu…,” Paul kaget dari tempat berdirinya saat menemukan sosok raksasa yang pernah ditemuinya di lorong, ia pun mulai mengingat-ingat nama dari sosok tersebut dan ia pun terbelalak. “… Gadon!?" “Hey,” ucap Gadon dengan suaranya yang begitu pelan namun menyeramkan. “Bisakah kau lepas gadis itu dari tanganmu? Kau menyakitinya." “G-Gadon!?” Gissel memekik saat melihat raksasa itu yang ternyata adalah orang yang dikenalinya. “J-Jangan Gadon! J-Jangan!” “Hm?” Tidak takut pada raksasa itu, Leo hanya menaikan sebelah alisnya dengan menampilkan wajahnya yang tampak angkuh. “Untuk apa aku menurutimu permintaanmu?” kata Leo dengan mendenguskan napasnya dengan sebal. “Kalau kau mau gadis ini kulepaskan, maka bunuhlah lelaki itu!” Yang dimaksud oleh Leo adalah Paul, membuat yang bersangkutan kaget sekaligus jengkel mendengarnya. “Kalau begitu, aku minta maaf kalau aku harus…,” Mengangkat dan mengayunkan tangan gemuk dan besarnya, dengan kejamnya, BRAK! Gadon menghantamkan ayunan tangan kanannya ke kepala Leo sampai lelaki berambut cokelat terang itu terpukul sangat keras bahkan tubuhnya terlempar sangat jauh ke area samping dari ruangan berbunga ini, berguling-guling dan akhirnya terbaring dengan darah yang mengucur dari telinganya. “…. menghukummu.” Sambung Gadon setelah melakukan aksinya pada Leo, dan Gissel pun terjatuh dari cekikan tangan lelaki itu dan kembali bebas. Terengah-engah, kelopak mata Gissel membulat dengan sangat tegang saat melihat Leo yang tergeletak lemas jauh di tepi ruangan, sepertinya lelaki itu tak sadarkan diri akibat hantaman keras dari tangan Gadon yang lumayan besar dan keras. “Bukankah aku sudah bilang padamu,” Gissel memusatkan fokusnya ke sosok Gadon yang berdiri di hadapannya dengan mata yang berkaca-kaca hampir menangis. “Jangan sembarangan menghukum orang lain! Kau tidak boleh melakukan itu! Bagaimana kalau dia mati oleh ulahmu! Kau dan aku bisa tertimpa masalah besar!” teriak Gissel dengan air mata yang berlinang deras di masing-masing matanya yang telah basah. “Tapi jika aku tidak melakukannya, Gissel bisa mati.” kata Gadon dengan polosnya, membuat Gissel tidak mampu membalasnya lagi dan hanya terduduk di lantai sambil menjambak rambut putih keritingnya dengan tersengguk-sengguk. Paul hanya mematung memandangi sosok besar yang sedang berbicara dengan Gissel, dia juga tidak menyangka kalau sosok itu berani menyerang Leo demi melindungi gadis keriting itu, itu membuat sebuah pertanyaan muncul di benak Paul. Apakah Gadon punya hubungan khusus dengan Gissel, lantas apa jenis hubungannya? Mungkinkah Gadon adalah pelayan pendampingnya Gissel? Tapi seingat Paul, Lolitalah yang berperan sebagai pelayan pendampingnya Gissel, atau jangan-jangan Gadon adalah— Tidak mau terlibat lebih jauh dengan sesuatu yang bukan urusannya, Paul segera menggeleng-gelengkan kepalanya untuk melupakan pemikirannya itu dan cepat-cepat mengambil langkahnya untuk mendatangi mereka, meski tubuhnya masih sedang terluka parah—mukanya yang lecet dan hidung dan bibirnya yang memerah karena darah yang telah mengering, serta baju dan celana yang kotor terkena gesekan lantai, debu, dan juga retakan tembok, karena sebelumnya sempat terhajar oleh Leo. “Kau yang tadi di lorong, kan?” tanya Paul setelah dirinya sampai di dekat Gissel dan juga Gadon, gadis keriting itu masih terduduk di permukaan lantai sambil menundukkan kepalanya, menyembunyikan wajah tangisnya dari orang lain, sementara si raksasa hanya memutar kepalanya untuk melihat datangnya Paul dengan hening. “Ya,” jawab Gadon dengan suara halusnya. “Kenapa?” Karena sebelumnya dia bertemu dengan Gadon dalam lorong yang minim pencahayaan, jadi ia tidak bisa melihat wujud si raksasa dengan jelas. Tapi karena sekarang ada cahaya lampu yang berpendar terang di ruangan, membuat Paul bisa melihat bagaimana penampilan asli dari si raksasa bernama Gadon ini. Paul meneguk ludahnya, tidak menyangka ternyata sosok besar ini punya bentuk wajah yang menyerupai katak dan cukup unik, kepalanya botak, tidak ada sehelai rambut yang tumbuh di kepalanya dan dia hanya mengenakan celana panjang berwarna merah, yang membuat dua p****g gemuknya tertampak jelas karena tak menggunakan baju sama sekali. “Aku Paul,” Memperkenalkannya dirinya terlebih dulu, Paul mencoba memberikan kesan baik pada Gadon agar si raksasa bermuka katak itu tidak menyerangnya. “Aku hanya seorang mentor dari Madelta, dan lelaki yang barusan kau hantam, dia juga seorang mentor, tapi dari Megasta. Bolehkah aku menanyakan sesuatu padamu?” Mengangkat dua alisnya, Gadon tampak penasaran pada motif Paul mendekatinya, mungkinkah dia juga orang yang akan mencelakai Gissel? Sepertinya Gadon harus menyiapkan diri agar bisa melindungi Gissel dari orang-orang jahat. “Silahkan, tanya saja sesukamu,” jawab Gadon dengan membalikkan badan besarnya untuk menghadapi Paul dengan antar muka. “Tapi jika kau sedikit saja membuat Gissel ketakutan, aku akan menghukummu.” Mengangkat dua tangannya di depan d**a dan menggoyang-goyangkannya secara santai, Paul menggeleng-gelengkan kepalanya. “Tidak, aku hanya ingin bertanya saja, apa hubunganmu dengan Gissel? Apakah dia orang yang berharga bagimu?” Jujur saja, Paul sedikit tegang saat berhadapan dengan Gadon, ia khawatir raksasa itu menyerangnya sebab saat ini kondisi tubuhnya sedang lemah dan terluka cukup parah, jadi dia tidak bisa berlagak ganas seperti biasanya. Selain itu, entah kenapa, dia jadi punya rasa kagum pada si Gadon itu, membuat Paul—untuk sementara—segan berkata-k********r pada lelaki raksasa bermuka katak tersebut. “Tentu saja dia orang yang sangat berharga untukku, karena Gissel adalah idola yang paling kusukai,” balas Gadon tanpa berkedip sama sekali, suaranya agak berderik seperti seekor katak sungguhan. “Tambahannya, aku juga adalah salah satu pahlawan bimbingannya Gissel,” Paul terbelalak mendengarnya, dugaannya ternyata benar. “Itulah mengapa aku akan selalu melindungi Gissel, karena dia adalah idola dan juga mentorku yang sangat berharga.” “Jadi begitu, ya? Lalu di mana teman-temanmu yang lain? Bukankah pahlawan di tiap negara harusnya berjumlah sepuluh?” “Mereka tersesat di istana ini, sama sepertiku sebelumnya yang tersesat di lorong gelap.” “Lalu—“ “CUKUP!” Tiba-tiba Gissel mengangkat kepalanya, memandangi Paul dan berteriak kencang, membuat Gadon dan juga si lelaki berambut hitam itu terkejut dan menatap gadis keriting tersebut. “SUDAH CUKUP! KAU TIDAK BOLEH MENANYAKAN HAL LAIN LAGI PADA GADON! PERGILAH DARI SINI SEBELUM AKU MENYURUH GADON UNTUK MENYERANGMU!” “Hah!?” Namun, amarah besar kembali mendesir dan bergejolak di seluruh tubuh Paul saat Gissel merendahkannya seolah-olah menganggapnya sebagai orang yang lemah. “Kau pikir kau sedang bicara dengan siapa, b******k!” Mendengar teriakan Gissel dan u*****n yang dikeluarkan oleh Paul, membuat Gadon menilai bahwa mereka berdua bukanlah teman, melainkan musuh bebuyutan, yang akhirnya mendorong si raksasa untuk melakukan serangan tiba-tiba pada Paul dengan berlari kencang mendatangi lelaki itu dan mengangkat kakinya untuk mengayunkan sebuah tendangan. “S-Sial!” Dengan gesit, Paul berusaha berlari sekencang mungkin meski tubuhnya masih terasa nyeri, itu dilakukannya untuk menghindari serangan-serangan mematikan dari Gadon. “Sekarang aku harus bagaimana!?” Pahlawan-pahlawan bimbingannya Leo yang masih tergeletak di lantai, terinjak-injak oleh kaki-kaki besar Gadon saat raksasa bermuka katak itu mengejar Paul, membuat mereka semua jadi kesakitan sesudah diinjak oleh si raksasa tersebut. Sementara dari tepi ruangan, Leo masih tidak sadarkan diri, bahkan darah yang keluar dari telinganya jadi berceceran deras menenggelamkan sedikit wajahnya oleh cairan kental yang keluar dari tubuhnya itu, tampaknya si lelaki pengganggu sudah benar-benar tumbang. Menyaksikan salah satu pahlawan bimbingannya mengejar-ngejar Paul demi melakukan serangan untuk melindungi mentornya dari seorang pengganggu, Gissel hanya termenung dalam diam, memikirkan bagaimana jika Gadon membunuh seseorang di ruangan ini? Melirik ke tempat Leo dan pahlawan-pahlawan bimbingannya yang sama-sama terbaring di lantai membuat Gissel khawatir jika mereka semua telah tewas oleh ulah Gadon. “Cepat datanglah, Lolita, kenapa urusanmu lama sekali,” gumam Gissel saat melihat Gadon berhasil menangkap Paul digenggamannya. “Lolita, cepatlah! Apa yang membuatmu lama sekali! Urusanmu sudah selesai, kan!? Cepatlah kemari! Aku tidak bisa menghentikan Gadon dengan tubuh lemahku, hanya kau yang bisa menghentikannya, Lolita!” “ARGH!” Kini, tubuh Paul sudah berada di genggaman tangan kanannya Gadon, sedang diangkat sangat tinggi sambil diremas-remas sedikit, membuat dia merasa tulang-tulang lengannya nyaris patah. Namun, meski situasi dirinya sedang dirugikan, Paul memberanikan diri untuk bersuara. “Hey, Gadon! Mentormu itu sangat menyebalkan! Kau seharusnya tidak mengidolakannya, dia itu sebelumnya ingin berhenti jadi mentor! Dia juga bilang bahwa dia tidak punya bakat untuk membimbing para pahlawannya! Awalnya aku merasa ragu, tapi setelah bertemu denganmu, aku mengerti bagaimana sulitnya membimbing pahlawan ‘besar dan kejam’ sepertimu!” “Jangan menghina Gissel dan tubuhku!” Remasan di tangan Gadon jadi semakin kuat, membuat Paul mengerang kesakitan. “’Kau tidak boleh bilang begitu! Kau tidak akan kumaafkan!” Ketika tangan Gadon yang lain hendak menghantam kepala Paul dari atas, tiba-tiba pergerakannya terhenti saat sebuah suara menginterupsinya. “Gadon! Jangan berulah!” “Hentikan itu!” “Kau bisa kena masalah lagi!” “Jangan membunuh orang hanya karena kau marah padanya!” “Kau bisa membuat Gissel merasa bersalah!” “Lepaskan orang itu dari tanganmu dan berkumpullah bersama kami di dekat Gissel!” “Ayolah, Gadon!” “Lepaskan, cepat!” “Jangan buat keributan di istana ini, Gadon.” Mendengar suara-suara itu, perlahan-lahan Gadon menurunkan lengan kanannya dan mengendurkan remasan di tubuh Paul sampai akhirnya lelaki berandal itu bisa terbebas dengan sempurna dari remasan tangan raksasa tersebut. Paul terengah-engah karena napasnya masih terasa sesak, tapi dia mencoba memperhatikan siapa orang-orang yang barusan berseru-seru pada Gadon. Ketika Gadon membalikkan badannya dan mulai berjalan untuk mendatangi orang-orang itu, disitulah akhirnya Paul dapat melihat perwujudan dari mereka, ternyata mereka adalah gadis-gadis belia yang mengenakan rompi merah seragam dan berwajah biasa-biasa saja, tidak terlalu cantik atau pun jelek. Kini, mereka semua sedang mengerubungi Gissel, mengangkat mentornya untuk bangkit dari posisi duduknya dan menghapus air mata yang berlinangan di pipi-pipi Sang Mentor. “Sepertinya mereka itu pahlawan-pahlawan bimbingannya Gissel, ya?” Paul menghela napasnya sebelum akhirnya memilih pergi meninggalkan ruangan itu. “Kukira wujudnya raksasa semua, ternyata cuma sekelompok gadis manja saja, sama seperti mentornya. Payah sekali.” Namun, langkah Paul terhenti saat pikirannya teringat pada sesuatu. "Apa mereka baik-baik saja, ya?" Yang Paul cemaskan adalah nasib dari pahlawan-pahlawan bimbingannya. "Sial! Menunggu dan mengkhawatirkan orang lain membuatku muak! Apa mereka masih belum sampai juga? Mau sampai kapan mereka terus-terusan di tengah laut, k*****t!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN