Kubangan lumpur

1841 Kata
"Siapa sih?" desis Mina sembari memegangi gagang pintu. Matanya terpejam erat mencoba kuat. "Bismillah," lirihnya seraya membuka pintu. "Kepakkan semua barang-barang kalian. Sekarang!" titah lelaki kurus kering berwajah masam itu. "Hhahh.., apa?!" kaget Mina "Cepat tunggu apa lagi. Apa kalian pikir bisa bebas tinggal di rumah ini sesuai keinginan kalian?" seringainya tanpa ampun. "Tapi apa tidak bisa besok. Saat ini, bahkan hari sudah begitu larut," kata Mina bernegosiasi. Lelaki itu mencibik tak setuju, Ia memang diminta Rose mengusir orang panti malam ini juga. "Cepat bereskan barang-barang kalian jika tidak ingin saya lempar semuanya ke jalan," pekiknya tak ingin di tolak. Suaranya membuat bu Zakiyah terjaga. "Ada apa Mina?" Mina tidak menjawab, tapi matanya memperlihatkan jika ia tengah kalut. Zakiyah menyadari pasti ini karena tamu tidak di undang yang berdiri di depan Mina. "Anda siapa, mengapa berteriak di depan anak saya?" tanyanya tak suka. "Hahaha.. Siapa?! Seharusnya pertanyaan itu keluar dari mulut saya. Anda siapa sampai berani tinggal di rumah ini bersama anak-anak tidak jelas itu?" hinanya. "Cukup, anda bisa mengusir kami. Tapi jangan mengatakan anak-anak asuh saya tidak jelas." Marah Zakiyah. "Lagipula kami di minta tinggal disini oleh Tuan muda," lanjut Zakiyah berani. "Allaaaa gak penting... Sekarang cepat bereskan barang-barang kalian. Kalian sudah diusir dari sini," jawabnya kasar. "Bu, gimana?" Mina menggenggam erat ujung baju Zakiyah. "Sekarang kita bangunkan anak-anak, minta mereka untuk membereskan barang-barangnya," anjur Zakiyah meski ia tak tahu setelahnya mereka akan kemana. Lelaki itu terus melirik jam tangannya. Waktu satu jam yang ia berikan sebentar lagi berakhir. "lebih cepat lagi dong!" gerutunya. "Mina tolong bangunkan Mary," titah Zakiyah yang sedang menggendong Ayu yang juga masih terlelap. "Iyah, Bu," jawab Mina langsung masuk ke kamarnya yang di tiduri Mary. Ia menyentuh dahi Mary bermaksud menghapus peluhnya. "Astagfirullah, Mary panas," gumamnya kaget. Anak itu sepertinya tidur dalam ketakutan dan sekarang ia demam. "Gimana Mary bisa tidur di jalan kalau keadaannya seperti ini?" lirihnya begitu khawatir. Sungguh Mina seakan sudah masuk dalam kubangan lumpur hidup. Pelan tapi pasti menghisap dirinya masuk lebih dalam. Ia tak punya pilihan selain menyetujuinya. Kali ini Rose menang. Mina bahkan tak peduli lagi dengan harga dirinya. Keselamatan dan kenyamanan anggota lain adalah hal utama yang selalu ia pikirkan. Ia keluar tanpa membawa Mary. "Tuan... pertemukan saya dengan Nyonya Rose," pintanya tak ingin berubah pikiran. --- Satu jam yang lalu. "Aku harus cari cara agar secepatnya Mina menyetujui ideku. Sebentar lagi Kale akan mengikuti pelatihan khusus dan mungkin saja ia langsung ditugaskan di sana," pikir Rose. "Ahk... aku tahu!" Rose selalu mempunyai ide kejam, mengusir seseorang saat malam hari adalah jalan pintasnya. Dan ia teringat jika Olive mengetahui keberadaan Mina sekarang. "Olive... Olive," panggilnya setengah berteriak. "Iyah, Nyonya?" sahut Olive patuh seperti biasa. "Katakan dimana nona Mina dan yang lainnya?" tegas Rose. Olive masih terus diam. Ia tahu Rose bisa melakukan hal yang lebih gila dibandingkan hanya membakar panti. "Cepat katakan!" desaknya. "Nona Mina dan lainnya ada di rumah bagian Selatan, Nyonya." Lapornya. Rose menyeringai, secepatnya ia akan mengirim seseorang untuk kesana. --- Dengan diantar pria itu Mina menuju ke kediaman Rose. Perasaannya begitu marah, apapun. Apapun keinginan Rose akan Mina setujui asalkan adik-adiknya bisa diijinkan untuk tinggal di sana malam ini. Mina bahkan tidak memperdulikan tampilannya yang basah kuyup karena guyuran hujan yang jatuh membasahi dirinya. Persis seperti perasaannya kali ini, diguyur rasa kekecewaan namun bibirnya dipaksa untuk tersenyum. Ttokkk.. ttokkk!! Marah membuat Mina tak lagi memakai tata kramanya. Ia menggedor rumah Rose bagaikan kesetanan. Olive yang memang belum tidur berniat membukakan Mina pintu. "Nona Mina..." desisnya kaget melihat tampilan Mina yang carut-marut. Masih tersisa tetesan air langit di ujung-ujung rambutnya. Gadis itu berdiri sendiri di tengah malam dengan memasang wajah kesedihan. Sedang lelaki yang tadi mengantarnya pergi entah kemana. "Mana, Bu Rose. Panggilkan dia. Aku ingin bicara," ketusnya "Baik Nona, silahkan anda masuk dulu!" Olive menyingkir memberikan Mina jalan. Perlahan Mina masuk. Ia tahu setelah ini sulit baginya untuk keluar dari sini. Rumah yang sangat besar berlantaikan enam itu mungkin adalah satu-satunya bangunan yang akan Mina singgahi sampai ajal menjemputnya. Tak ada yang tahu persis apa yang akan di lakukan Rose lagi nantinya terhadap diri Mina. "Saya gak akan lama. Cepat panggilkan Nyonya Rose!" sentak Mina kalap. "Se--segera saya memberi tahu, Nyonya." Gagap Olive melihat Mina yang bicara keras tanpa reaksi. Tapi terlihat juga kekecewaan dari sorot matanya. Olive langsung menaiki lift yang memang tersedia di rumah yang berdiri di lahan puluhan hektar itu. Bukan hanya fasilitas lift, bahkan rumah ini memiliki alat pelacak khusus untuk barang yang hilang. Bukankah ini adalah penjara yang terepik untuk Mina. "Lapor Nyonya, di bawah ada Nona Mina," ucap Olive yang sudah ada di dalam kamar Rose. "Mina," beo Rose tersenyum senang, akhirnya ia menang. Gadis itu datang kesini pasti untuk menyetujui syaratnya. Dan sebaiknya memang seperti itu. Jika masih ingin terus hidup dalam kedamaian. "Minta dia untuk menunggu saya turun," titahnya yang masih mematut dirinya di depan cermin. "Tapi Nona Mina datang dalam keadaan bayah kuyup, Nyonya." Lapor Olive lagi. Rose menyeritkan alisnya, melihat sekilas keluar dari balik gordennya. Benar malam ini hujan turun cukup deras. "Kalau begitu berikan ia baju ganti, saya tak mau ia sakit saat pesta pernikahannya sendiri," titah Rose. "Baik, Nyonya." Olive keluar bermaksud menghampiri Mina. Demi menjalankan perintah nyonyanya. "Mbak Olive, mana Mbak. Mana Ibu Rose. tolong Mbak, katakan pada Nyonya anda jika saya datang kesini untuk mengikuti semua keinginannya. Saya akan menjual apapun yang ada di tubuh saya, asalkan adik-dik saya bisa hidup dengan tenang.. Hikss, hikksss," sahutnya frustasi, matanya memerah karena terlalu banyak menangis. Mina betul-betul seperti seorang robot. Karena saat ia memutuskan untuk kesini, Mina berusaha membuang segala perasaannya sebagai mahluk yang punya hati. Ia bahkan memposisikan dirinya layaknya benda mati. Perasaan tidak berharga, sedih dan perih coba diabaikannya. Heeeh, memangnya siapa yang ingin melihatnya sebagai manusia di sini. "Nona, tenang Nona. Nyonya sudah mengetahui kedatangan Nona dan sebaiknya sekarang Nona ganti baju dulu, Nona terlihat sangat memprihatinkan," desis Olive. "Kenapa kamu peduli Olive. Kenapa. Perlakukan aku seperti sebuah barang. Di sini aku tak mempunyai hak apapun, bahkan atas tubuhku sendiri. Tak ada yang menganggapku sebagai manusia lagi," lirihnya begitu pedih. Kale yang baru saja keluar dari ruangan gym berusaha menguping, untuk apa gadis itu datang malam hari dengan keadaan basah kuyup seperti itu. Apalagi ia terlihat begitu marah pada Olive. Apa yang dilakukan Olive padanya? "Nona... Saya mohon anda jangan seperti itu, saya tahu tuan muda sedikit galak, tapi ia bukan lelaki yang kejam," sahut Olive tersentuh. Baru kali ini wanita itu mengungkapkan pendapatnya tentang orang yang menggajinya. Samar-samar Kale mendengar jawaban Olive, tapi ia terlalu tak acuh untuk ikut menjelaskan tentang dirinya pada calon istrinya itu. Ia memutuskan pergi ke kamarnya untuk bersih-bersih. Baginya Mina adalah urusan Mamanya. "Enggak... enggak..." tolak Mina menggeleng kuat. Meski tubuhnya memberikan reaksi mengigil. "Lihat Nona, anda kedinginan." Khawatir Olive. "Ayok, ikut saya." Olive menyentuh lengan kurus Mina, berniat memapahnya agar masuk ke ruangan lain yang jauh lebih hangat. Sebenarnya Mina juga tidak terlalu kuat berdiri lama-lama dengan baju yang basah kuyup serta diterpa hembusan air conditioner yang kencang. Ia merasa kepalanya semakin pusing, dan kakinya tak kuat menampung bobot tubuhnya. Tapi rasa marah membuat Mina menghempaskan tangan Olive kasar. Buugghhh...!! Gadis itu terjatuh karena ulahnya sendiri yang menolak dipapah Olive. Mina diam, ia sama sekali tidak berteriak dan justru berusaha kembali bangkit, meski hanya berganti dalam posisi terduduk. Semua itu melambangkan rasa semangatnya kelak, yang meski telah jatuh dan kecewa berkali-kali tapi akan selalu ada alasan untuknya bangkit bahkan jika alasannya itu adalah kemarahannya sendiri. Melihatnya membuat Rose menyeringai puas. "Mina, Mina kita lihat seberapa lama kamu mempertahankan egomu di sini," cemooh Rose. Wanita itu langsung menghubungi ponsel Olive "Iyah, Nyonya?" "Katakan pada wanita itu untuk jangan berharap dapat menemuiku dengan tampilan seperti itu," titahnya. Tentu Mina juga bisa mendengarnya dengan sangat jelas. Rose berbicara di atasnya dalam keheningan malam yang membuat suaranya menggema sampai ke bawah. Spontan Mina menengok menatap nyalang ke arah Rose. Kedua wanita itu sangat terlihat jauh kastanya. Akankah Mina bisa melawan semua tindak tanduk Rose padanya. "Nona... Ayok!" ajak Olive sekali lagi. Ia sampai terjongkok menyamai posisi Mina yang teremper di lantai begitu saja. "Apa aku ini keset baginya?" lirih Mina memberi perumpamaan. "Haah... " Olive sampai harus kembali mendekat dirinya karena suara Mina yang begitu kecil dan parau. "Katakan Olive apa nilaiku di sini lebih rendah dari sebuah keset yang hanya akan di injak?" tanya Mina dengan wajah serius. "Tidak Nona, Nona adalah calon istri tuan muda, dan tuan muda adalah..." "Cukup... Antarkan aku ganti baju!" Bagi Mina semua penjelasan Olive saat itu tak akan mengubah apapun itu. Dari luar orang akan melihat ia seperti sebuah permata yang di jaga, tapi sesungguhnya ia adalah batu kerikil yang dengan mudahnya bisa Rose dan anaknya buang begitu saja. Olive membawa beberapa setel baju bermerk milik Rose. Wanita itu memang memiliki ukuran yang mirip dengan Mina, keduanya memang sama kurusnya tentunya dengan garis takdir yang berbeda. "Bagaimana dengan yang ini?" tanya seorang maid, yang dikhususkan sebagai fashion stylish Rose. Ia memilihkan untuk Mina gaun selutut berwarna tosca dengan kerutan pada bagian dadanya. "Bagus..." puji Olive. "Sekarang dimana Mina?" tanya Olive "Nona Mina sekarang sedang dimandikan dengan maid lainnya," kata maid itu. Mina terlihat pasrah saat dua orang wanita yang seusianya membukakan ia baju dan mulai memandikannya. "Kulit anda bagus sekali Nona, tuan muda pasti suka," puji salah satunya "Iyah, dan wajah anda juga sangat cantik," tambah yang satu lagi. Mina tidak peduli, bahkan jika ia dibilang mirip artis korea terkenal ia tak akan bergeming. Mina sudah selesai dimandikan. Segera ia didandani oleh para maid yang terlihat sigap meski waktu masih menunjukkan pukul tengah malam. "Rambutnya saya kepangkan'ya, Nona" ijin maid bernama Paty. Mina melirik sekilas. Terlihat gadis itu sangat bahagia bekerja di sini. Mengapa Rose tak mengijinkan Mina seperti dia bekerja menjadi pembantu untuk melunasi semua hutang-hutangnya. "Sudah?" tegur Rose yang sudah berdiri anggun di belakang. "Nyonya..." sahut Eugine. Kepala maid yang sejak tadi ikut memperhatikan cara kerja bawahannya. Langsung lelaki tua itu mengkode untuk yang lainnya menyingkir. "Bagaimana Eugine?" "Nona Mina sudah siap, Nyonya," balasnya masih terus menundukkan wajah. "Hemm... aku akan melihatnya sendiri." Rose semakin mendekati Mina, gadis itu semakin muak. Ia hanya menatap Rose dari pantulan cermin. "Kamu senangkan?" ledek Rose. "Saya cuma minta adik-adik saya di ijinkan tinggal di sana, setelah itu silahkan Ibu lakukan apapun yang Ibu inginkan terhadap saya!" tekannya. Mina merasa bagaikan sedang bernegosiasi pada iblis wanita. Tatapan keduanya terlalu beku untuk ukuran ibu mertua dan anak mantunya. "Hahahaa... rumah itu." kutip Rose dengan tawa horornya. Ia bahkan menautkan kedua tangannya diatas d**a. "Aku sudah bilangkan, bukan hanya rumah itu. Tapi panti serta uang yang melimpah akan aku berikan untukmu. Asal, kamu melahirkan seorang anak laki-laki yang sehat," tekan Rose. "Olive..." panggil wanita itu, seraya menepuk tangannya mengkode Olive masuk. Olive masuk dengan satu koper di tangannya. "Buka..," desis Rose. Saat Olive membukanya nampak setumpuk uang berjejer menghiasi koper itu. "Bagaimana?" tanya Rose bangga seraya menaiki satu alisnya. "Simpan uang anda untuk mengubur jasad anda kelak, karena sepertinya tak akan ada tanah yang cukup menampung keangkuhan anda, Nyonya," hina Mina tajam.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN