Kebakaran

1909 Kata
Kale keluar kamar mandi, dengan handuk yang masih menempel di tubuh bawahnya. Tangannya dengan lihai menyisir rambutnya yang masih basah. Dengan santai ia membuka satu-satunya penutup yang membungkus tubuh indahnya itu. Karena memang seperti itu kebiasaannya sejak kecil. Bibirnya sedikit bersiul mendendangkan lagu, sedang tangannya sibuk mencari pakaian yang pas ia gunakan malam ini. Sebuah kaos hitam serta celana coklat pendek selutut menjadi pilihannya. Senyum terus saja terukir di wajahnya. Saat matanya beralih ke baju seragam miliknya. Diambilnya perlahan baju tersebut. Seolah ini adalah bukti kebanggaan terhadap dirinya sendiri Yah... Semenjak ayahnya Jendral Hadi Tjandra meninggal dunia. Kale memang terobsesi menggantikan ayahnya itu berdiri sebagai perwira demi membela tanah air. Lelaki itu langsung mematut dirinya di depan cermin, dengan seragamnya yang ia tempelkan di tubuhnya. Sebentar lagi... Sebentar lagi cita-citanya terwujud. Seandainya saja Rose mengijinkannya langsung pergi. Kembali mengingat pertengkaran di mobil tadi membuat Kale jadi mendesah kecewa. Ia meletakkan kembali seragam itu di lemari dengan hati-hati. "Semua ini gara-gara cewek itu!" gumamnya karena Kale tak mungkin menyalahkan ibunya terus-terusan. Ia butuh seseorang yang bisa ia kambing hitamkan. Karena bosan membuat Kale menyalahkan televisi yang ada di kamarnya. Semula ia hanya menatap layar persegi itu biasa saja. Tapi sebuah berita membuat fokusnya terpusat ke bangunan tua yang jadi objek berita. "Berita Live. Terjadi kebakaran di sebuah panti asuhan yang letaknya di jalan Kamboja No.29, sampai saat ini api belum bisa dipadamkan.” "Hhaah.., itukan panti asuhan kasih, apa jangan-jangan...?!" tebaknya dengan jantung berdetak lebih kencang dari biasanya. “Gak.., gak mungkin Mama nglakuin itu!” tekannya sendiri. Entah kini ia sedang meyakinkan siapa. Kale bahkan tak lagi mendengar kelanjutan berita tersebut. Fikiran yang berkecamuk membuat telinganya seakan tuli seketika. Tanpa pikir panjang, lelaki itu langsung mengambil kunci motor besarnya. Berniat melihat kejadian tersebut secara langsung. Buru-buru ia turun ke parkiran motor dan sialnya sebuah mobil milik Ibunya itu menghalangi keluarnya motor. “Aahhkk...” teriaknya frustasi. Ia menjambak surainya sendiri mencoba berfikir. “tenang Kal... Tenang!” gumamnya sendiri. Kale fikir.., dirinya harus cepat jika tak ingin terjadi sesuatu. Lelaki itu hanya tak mau jika seandainya kejadian ini terkuak maka Ibunya akan di masukkan ke dalam penjara. Dan Kale tak berminat memiliki Ibu seorang pembunuh. Ia mendorong kuat mobil yang menghalangi keluarnya motornya, tak ada jalan lain. Terlalu lama rasanya jika ia mencari kunci mobil tersebut. Peluh keringat membasahi sisi wajahnya. Tapi lelaki itu sama sekali tak ingin menyerah. Kale langsung membawa motornya keluar. Saat ia berhasil mendapatkan space kecil untuk body motor dengan kekuatan 250 cc miliknya itu. Ia melajukannya sangat kencang. 160km/jam, sampai rasanya ia mampu menyapu seluruh debu yang ada di jalan. Hanya perlu waktu dua puluh menit untuk lelaki itu sampai. Keadaan masih sangat ramai dengan riuh penonton yang hanya bisa membeku di tempatnya. Terdengar jerit tangis para penghuni panti secara bergantian, seolah itu adalah nyanyian pemanggil jiwa yang mati. Sedikit banyak semua itu membuat sisi kemanusian Kale terusik, batinnya tiba-tiba merasa sakit... Meski ia tak mengerti kenapa itu bisa terjadi? “Kak Mina...!” teriak seorang gadis kecil, matanya lurus menatap bangunan yang masih dikuasai kobaran api. Tunggu.., apa itu artinya Mina masih berada di dalam sana? Buru-buru lelaki itu terjongkok, memegangi bahu gadis itu cukup kuat. “Apa masih ada orang di dalam sana, apa masih ada yang terjebak di sana?” tanyanya kalut. Gadis kecil itu hanya mengangguk lemah. Air mata tak hentinya menghiasi wajahnya yang sudah berubah kemerahan karena terlalu banyak menangis. “Ta... Tadi Kak Mina bantuin aku terus... hikss... hikss!!” Bahunya berguncang hebat, ia bahkan tak bisa lagi melanjutkan ucapannya. Kale yang mendengar merasa dirinya seperti terkena sengatan listrik sehingga memacu adrenalinnya untuk menolong gadis itu segera. Lelaki itu berlari tunggang langgang seakan ada sekerumunan banteng siap menanduknya. “Pak... Mau kemana? Kobaran api besar sekali dan gak ada yang boleh mendekat,” ucap salah satu petugas pemadam kebakaran. Ia yang paling tahu bahaya dari kilatan cahaya merah itu. “Minggir.., di sana ada seseorang yang masih terperangkap!” ketus Kale serius. “Iya kami tahu Pak hanya saja...” Buugghh...!! Kale yang marah langsung meninju petugas tersebut. Kali ini ia sama sekali tak ingin mendengar larangan dari siapapun, seluruh tubuhnya terpanggil untuk menolong gadis yang ada di dalam. Meski suatu hari nanti mungkin saja ia akan menyesali keputusannya ini. Lelaki itu berusaha semakin mendekat, meski hawa panas mampu menusuk tulangnya. Diambilnya karung goni basah sebagai tamengnya. Ditendangnya pintu yang sudah hampir reyot termakan api tersebut. “Hei... Jawab aku!” teriaknya kuat. Asap yang tebal membuat dadanya sesak, netranya berair sehingga mau tak mau jarak pendangannya mengabur. "Hei... Cewek miskin!" pekiknya kesal. Kale terlalu gengsi memanggil Mina dengan namanya. Bbrraagghh...!! "Hhaah...!" Sebuah kayu balok hampir saja menimpa kepalanya. Beruntung ia punya refleks yang cepat. Tubuhnya yang terbiasa latihan di militer membuat ia sigap dalam situasi apapun itu. Matanya terbelalak saat berhasil menemukan Mina yang tergeletak di sana. Sepertinya wanita itu pingsan. Pantas saja ia tak menjawab ketika dipanggil. Buru-buru Kale mendekati Mina, berjongkok di samping tubuh Mina. "Bangun...!" desisnya mengguncang tubuh Mina, tapi wanita itu sama sekali tak bergerak. Ia seakan telah mati, membuat Kale semakin panik. Segera ia membopong tubuh Mina. Dan satu yang Kale sadari. Wanita itu sangat ringan juga ringkih. Bahkan saat ia menggendongnya Kale sama sekali tidak merasakan berat, pinggulnya pun terlalu kecil untuk dipeluk. Dan sebenarnya Kale tak suka. Ia berfikir mungkin jika wanita yang di dalam dekapannya betul-betul akan menjadi istrinya. Maka Kale akan memintanya menaiki berat badannya. Kelopak mata Mina sedikit terbuka, ia menyeritkan alisnya demi menatap siapa laki-laki yang membopongnya kini. Perlahan ia menangkap sosok Hadi Tjandra, malaikat penolongnya. Dan kini... Sekali lagi lelaki itu menolong dirinya. Menyadari itu membuat Mina menangis tersedu, di peluknya Kale erat. Ia begitu takut, Mina memang memiliki trauma bencana alam. Ia takut suara bising, takut dengan teriakan mencekam, serta reaksi semua orang yang panik. Dan karena itu juga gadis itu pingsan tadi. Kale berusaha terus mendekap Mina, meski lidah api terus saja mendekati mereka seakan siap melahap keduanya. "Lo jangan pingsan lagi!" titah Kale panik, seraya membetulkan gendongannya di tubuh Mina. Mengikuti saran pangeran penolongnya, Mina memejamkan mata kuat tak ingin sampai kembali lemah dan tak sadarkan diri. Meski ia masih mendengar suara sirene yang memengkakkan telinganya. Dan itu semakin membuatnya trauma. "Sial... Jalan yang tadi ketutup lagi," gumam Kale seorang diri. Wajahnya sangat menyiratkan jika ia juga sedang takut, tapi bukan takut mati. Kale yang memang sudah mendedikasikan dirinya untuk pertahanan negara tak lagi punya rasa takut ajal datang menjemputnya. Kali ini ia hanya takut tak bisa mengeluarkan Mina dari kobaran api. Bagaimanapun Kale teringat ketika ayahnya, Hadi Tjandra terlihat sangat puas setelah selesai menolong Mina. "Ya Tuhan... Aku mohon tunjukkan jalan-Mu" lirih Kale, matanya menatap wajah Mina yang menempel di dadanya. Sungguh ia tak tega. Tiba-tiba secercah sinar muncul, terlihat ruang kecil yang Kale rasa mampu untuk ia dan Mina pakai keluar. Bibirnya spontan tersenyum. Ia mendekat ke sana meski kakinya terasa sangat panas. Berjalan di lantai yang dikuasai api memanglah tidak mudah. Kale menurunkan Mina pelan. Meminta wanita itu merangkak lewat sudut itu. "Lo duluan, nanti gue nyusul!" katanya, sedang Mina sama sekali tak ingin membuka matanya. Justru wanita itu tak ingin melepaskan Kale, ia mencengkram erat baju Kale yang di dadanya. "Aahk... Lo mau apa sih? cepet kita gak ada waktu!" ketusnya. Langsung menarik kepalan tangan Mina. Ia bahkan membungkukkan badan gadis itu dan mendorongnya keluar. Sesampainya di luar sudah ada tim pemadam kebakaran yang sigap menolong Mina. Mereka sendiri nampak heran karena keadaan Mina masih sangat baik, utuh dan tak ada luka bakar sama sekali. Hanya beberapa memar di pelipis dan lengannya. Raka, salah satu petugas pemadam terpukau. Ia yakin lelaki yang tadi masuk menyelamatkan Mina pasti mengerahkan seluruh kekuatan dirinya demi melindungi Mina. Ia juga berjaga didekat sana beberapa detik kemudian, menunggu giliran Kale keluar. "Mas...Mas...!" teriaknya. Ini sudah berjalan setengah menit, dan Kale belum juga keluar. "Aahkk...!" pekik Kale keras. Sayang sekali ketika ia mencoba mengikuti langkah Mina sebuah balok berapi mengenai punggungnya. Dan sekarang lelaki itu sedang mengadu kesakitan akibat luka bakar di punggungnya. "Mas...!" Raka semakin ketar-ketir. Ia memasukkan kepalanya merangkak mencoba masuk. Dan dalam sekejap semburan api mengenai sebagian wajahnya. "Aahhkkk... Panas...! Panas...!" Pria itu spontan berlari tangannya berusaha memukul-mukul keras wajahnya berharap api itu cepat redup. Kale melihat sendiri. Detik api itu melewatinya dan justru mengenai Raka. Ia shock, tubuhnya bergetar hebat. Tapi Kale tahu, ia harus berfikir sangat cepat, tak memperdulikan lukanya. Kale langsung menerobos api di depannya. Seolah ia pahlawan super yang tahan akan api. Seluruh tubuhnya memerah, lecet dimana-mana. Tapi yang membuat Kale terpaku saat menyadari wajah Raka yang hampir 50 % terbakar. "Panas...!" Lelaki itu berteriak keras di atas tandunya. Dan Kale hanya bisa mengepal tangannya kuat. 'Kenapa Ma, kenapa Mama membuat rencana ini? dan sampai harus mengorbankan orang-orang yang tidak bersalah?' bathinnya. Fokusnya beralih melihat satu lagi tandu yang membopong seorang gadis. Buru-buru Kale mengejarnya. "Mau dibawa kemana dia?!" tanyanya ke seorang petugas. Tak menjawab petugas itu langsung memasukkan tubuh Mina ke dalam ambulans. Kale yang sigap langsung ikut masuk ke dalam ambulans tersebut. Ia ingin mengawal Mina sampai rumah sakit. Sesampainya rumah sakit Mina langsung dibawa ke ruang UGD. Dan seharusnya Kale pun mendapat penanganan. Tapi dasar lelaki sok itu, justru menolak semua macam pengobatan. Kale terduduk di depan ruang UGD. Tangannya menangkup menutupi mulutnya. Lelaki itu tiba-tiba teringat almarhum ayahnya. Kenangan itu seakan menari dalam benaknya. 15 tahun yang lalu. "Assalamualikum... Mama, Kale, lihat Papa bawa siapa?!" sapa Hadi sumbringah. Lelaki itu memang sangat menyukai anak perempuan. "Pa... Siapa dia?!" tanya Kale kecil tak senang. "Dia bakalan jadi adek kamu!" sahut Hadi masih merangkul Mina. Dan Mina yang takut hanya bisa mengumpat di belakang tubuh Hadi. "Gakpapa sayang, itu Kale. Dia yang akan menjadi kakak kamu!" kata Hadi lembut. "Papa apa-apaan sih, kenapa bawa pulang anak kecil. Dan dia siapa?!" gerutu Rose saat itu. "Ma, dia Mina... Kita bisa, kan mengangkatnya jadi anak, merawatnya seperti kita merawat Kale," bela Hadi. "Gak bisa!" "Kenapa, Ma. Dia bisa jadi adik Kale. Kale, kamu senangkan punya adik?!" tanya Hadi beralih ke Kale. "Tapi Mama gak mau Pa, Mama gak suka merawat anak yang gak jelas!" tekan Rose. "Anak yang gak jelas gimana, dia salah satu anak korban bencana. Dan sudah seharusnya sebagai sesama manusia kita saling membantu!" Kini Hadi nampak marah. Ia tak mengerti dengan jalan pikiran Rose. "Tetap saja, aku gak akan sudi! Kale, masuk ke kamar kamu!" titah Rose angkuh, ia bahkan menggulung kedua tangannya di atas d**a. Matanya menyerit tak suka kearah Mina. "Baik, kalau begitu aku yang akan merawat anak ini sendiri. Aku tak akan lagi menginjakkan kakiku di sini sebelum kau mau menerimanya!" teriak Hadi. Dan Mina yang di belakangnya semakin berkerut merasa kerdil. Ia memang anak-anak, tapi ia mampu menangkap aura tak senang orang-orang di rumah sini. Sebenarnya ia juga mau mengeluarkan suaranya. Berharap Hadi kembali membawanya ke kampung halamannya. Berharap bisa lagi bertemu dengan keluarga aslinya. Tapi sayang tatapan nyalang Rose membuatnya bisu. "Jadi kau lebih membela anak itu daripada aku yang telah menemanimu selama ini? Ooh... Atau dia adalah anak hasil hubungan gelapmu?!" sarkas Rose yang hampir gila. Gila dengan asumsinya sendiri. Pplakkk!! Sebuah tamparan melayang ke pipi istrinya itu. Seorang Hadi memang tak pernah suka seandainya ia dituduh berselingkuh. "Cukup jaga ucapanmu!" tunjuknya ke Rose. Kale yang melihat pertengkaran kedua orangtuanya menjadi takut, dan hati kecilnya memutuskan menyalahkan Mina. Yah... Minalah dalang dari semua ini, hadirnya saja sudah membuat keluarganya hancur berantakan. Jadi bagaimana mungkin Kale bisa mencintai Mina?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN