Keakraban Lara dan Erika menjadi buah bibir satu sekolah. Lara yang populer menjadi sahabat Erika yang kutu buku dan cupu. Bahkan terang-terangan Lara tidak memedulikan dua sahabat cantiknya, Celin dan Ayna.
“Dia sudah kerasukan. Kayaknya bukan Lara yang berada di tubuh itu,” desis Ayna melihat dari jauh bagaimana Lara sahabat mereka bercanda dan tertawa lepas dengan Erika.
“Kalau dia bukan Lara, terus siapa? Setann?”
“Kamu pernah dengar tentang kepribadian ganda? Di mana dalam satu tubuh ada banyak kepribadian yang hidup?”
“Kedengarannya kayak orang yang bercita-cita jadi artis tapi nggak kesampaian.”
“Cel, aku serius.”
“Kamu pikir aku enggak? Dia memang bukan lagi Lara yang kita kenal. Tapi itu bagus, kan? Aku sudah muak berada dalam bayang-bayang dia terus. Biar saja dia menjauh dari kita dan bergabung dengan orang aneh. Karena kenyataannya dia juga aneh. Dia gila!” kata Celin judes.
“Cel! Tunggu! Kamu mau ke mana?” tanya Ayna begitu Celin meninggalkannya. Ayna berjalan mensejajari Celin.
“Ke mana lagi? Nggak tempat yang lebih menarik selain kantin. Kamu bisa ngecengin Danu di sana. Kenapa belum bergerak juga, sih? Kamu mau Danu keburu lulus dan nggak sempat pacaran sama dia?”
“Aku nggak pede.”
“Nggak pede? Kamu nggak salah? Kita ini Blue Butterfly lho. Cewek tenar dan paling cakep seantero sekolah. Semua cowok pengen pacaran sama kita. Aku yakin Danu bakalan ngerasa bangga kalau bisa pacaran dengan salah seorang di antara kita bertiga. Oh! Aku lupa, kita tinggal berdua. Hhh, sepertinya kita harus mencari ketua baru karena gadis tercantik satu sekolah sudah gila.”
“Jangan mulai lagi, Cel.”
“Terserah! Aku sudah muak sama Lara. Ssst! Itu. Itu Danu sedang ngeliatin ke arah sini. Kita duduk di sini saja biar bisa ngamatin dia.” Celin memandang galak pada siswa kelas satu yang sedang duduk di kursi yang menurutnya strategis. Dengan memanfaatkan senioritasnya, Celin mengusir anak kelas satu itu lalu menarik tangan Ayna untuk duduk.
“Kamu duduk di sini dan perhatikan bahasa tubuh Danu. Aku duga sebentar lagi dia bakalan nyamperin kita.”
Ayna terlihat gugup dan sesekali mencuri pandang ke arah lelaki yang sudah sejak kelas satu menjadi idolanya. Sayangnya Ayna tidak pernah punya keberanian untuk menyampaikan isi hatinya kepada lelaki itu. dia hanya bisa memandangi Danu dari kejauhan dan mengaguminya saja.
“Ssstt. Dia berdiri,” bisik Celin sambil mengambil minuman dari tangan pelayan kantin yang memberikan pesanan mereka. “Dia berjalan ke sini. Berlaku sewajarnya Ay, jangan kelihatan tegang. Pura-pura saja kita tidak mengetahui kalau dia sedang kemari. Kamu pura-pura lihat ke arah lain.” Celin sibuk memberi instruksi.
Ayna menuruti perkataan Celin dan melihat ke arah lain. Ke parkiran khusus guru-guru, di mana seorang guru muda baru saja masuk melalui gerbang sekolah dan sekarang sedang memarkir motor bebeknya di dekat tiang. Guru muda itu melepas helmnya dan seketika dunia Ayna berpindah haluan.
“Kalian berdua saja?” Danu sudah tiba di meja mereka dan menyapa Ayna dan Celin.
Namun Ayna sedang tidak fokus, matanya menatap kepada guru muda yang kini sedang berjalan di koridor.
“Siapa dia?” tanya Ayna lirih.
Celin melihat ke arah pandang Ayna. Sama seperti sahabatnya, dia juga baru kali ini melihat orang itu.
“Oh, itu Pak Bara. Guru Fisika baru di sekolah ini. Dia mengajar kelas tiga.” Danu memberitahu mereka berdua.
Ayna terpesona pada gutu baru itu. saat pak gutu menyapa seorang siswa dan mengobrol sejenak dengannya, rasanya Ayna ikut terlibat dalam obrolan itu. Dan saat Pak Bara tertawa, Ayna ikut tertawa juga.
“Ay, kamu nggak papa?”
“Eh, oh?” Fokus Ayna kembali kepada Celin dan Danu yang kini sudah duduh bersama mereka. Pak Bara sudah berbelok ke ruang guru.
“Danu nanya, apa dia boleh nganter kamu pulang nanti?” Celin membelalakkan matanya. Berusaha memberi kode pada sahabatnya supaya kembali fokus pada cowok yang katanya kecengan dia sejak kelas satu.
“Pulang? Maksudnya nganter aku? Tapi aku kan dijemput supir. Aw!” Kaki Ayna tiba-tiba terasa nyeri. Celin menginjaknya kuat sekali.
Apa salah omonganku, batinnya.
“Ya sudah nggak papa. Mungkin lain kali kita bisa keluar bareng.” Danu bersiap berdiri untuk meninggalkan mereka.
Celin mencubit pinggang Ayna hingga sahabatnya itu mengaduh. Cewek kalau sudah menyangkut urusan cinta memang biasanya menjadi bodoh dan harus diingatkan berkali-kali. Seperti Ayna yang memandang nggak paham pada Celin karena sahabatnya itu terus menunjukkan wajah tak bersahabt dan memberi kode-kode.
“Apa?”
“Kamu cegah dia pergi, dong! Katanya mau pedekate, giliran ada sinyal kamunya malah jadi b**o. Gimana sih?”
Langsung Ayna tersadar dan menepuk keningnya.
“Danu!” panggilnya. Langkah kaki cowok itu terhenti dan Ayna berdiri lalu melangkah ke hadapan Danu. “Aku mau kok pulang dianter kamu. Biar supir aku nanti kusuruh pulang lagi,” katanya sambil memberikan senyuman termanis.
Danu nyengir lebar. Dia sudah maju satu langkah lagi dan sebentar lagi akan sampai ke tujuannya. Sudah lama dia tahu kalau Ayna menyukainya hanya saja dia masih belum tertarik pada gadis itu. Tapi mengingat sebentar lagi dia lulus dan belum pernah pacaran sekalipun, teman-temannya bertaruh supaya Danu bisa merasakan indahnya pacaran di SMA. Danu pun teringat pada Ayna. Gadis itu selalu terlihat salah tingkah jika berpapasan dengannya. Dia ingin memenangkan taruhan sehingga mendekati Ayna.
Sayangnya bukan Danu lagi yang memenuhi pikiran Ayna saat ini. Sejak melihat Pak Bara, Ayna merasa jatuh cinta pada pandangan pertama pada guru baru itu. Sepanjang pelajaran terakhir, dia menggambar mural di bukunya dan melukis huruf B-A-R-A. Wajah tampan guru itu memenuhi isi kepalanya.
Ayna ingin sekali membagi perasaan ini dengan Lara. Biasanya sahabatnya yang satu itu lebih bisa diandalkan kalau soal perasaan. Tidak seperti Celin yang suka uring-uringan, Lara lebih peka pada msalah-masalah seperti ini.
Tapi sahabatnya yang satu itu terlihat tidak peduli dan lebih asyik pada urusannya yang tidak jelas. Lara yang tidak seberapa pandai itu menjadi sangat berminat terhadap fisikan quantum dan membaca buku literarur tentang itu.
“Ra, ini pelajaran Sejarah, kenapa lu baca buku Fisika?” tanyanya pada gadis yang duduk di sebelahnya.
“Bukunya bagus dan aku lagi mempelajari sesuatu. Siapa tahu ada petunjuk tentang rahasia alam semesta,” sahut Lara dengan suara berbisik. Takut obrolan mereka didengar guru yang sedang mondar mandir di muka kelas.
“Sejak kapan kamu suka sama Fisika? Bukannya kamu benci banget sama mata pelajaran satu itu?”
“Sejak hari ini aku suka sama Fisika.” Lara menoleh kepada Ayna dan tersenyum singkat.
Pertemanannya dengan Erika membantu Lara memahami kalau ada teori lain yang mungkin bisa menjawab masalahnya. Erika gadis yang cerdas dan dia sudah membaca banyak buku.
Melalu Erika, Lara jadi tahu kalau sejak Albert Einstein mengajukan Teori Relativitas Khusus lebih dari 100 tahun yang lalu bisa dikatakan bahwa perjalanan ke masa depan itu relatif mudah.
Yang perlu dilakukan hanya bergerak mendekati kecepatan cahaya dan secara teoritis dapat melakukan perjalanan jutaan atau bahkan miliaran tahun ke masa depan dalam masa hidup kita.
Masalahnya, bisakah dilakukan kebalikannya? Seperti yang dialami Lara saat ini?©