Chapter 5 | Seorang Pencuri Ciuman
Akhir pekan selanjutnya, Ayn tidak meminta hal itu lagi. Ia harus pergi ke Jepang bersama dengan ibunya, menghadiri sebuah acara yang mengundang sang ibu.
Karenanya…
Arsene menghabiskan waktu dengan tenang di rumah.
Melihat buku sketsa bersampul biru yang tampak berbeda dengan buku sketsanya saat kecil.
Lyn menggambar banyak hal dalam buku itu. Ia menggambar sketsa wajah wanita yang Arsene ketahui sebagai seorang pelukis terkenal bernama Jia Ann. Terdapat tanda tangan di sisi kanan bawah sketsa itu, tampaknya Lyn mendapatkannya dari orang yang diidolakannya.
Pada sketsa kedua, ia menggambar seorang penulis yang pernah menggemparkan dunia saat kematiannya. Karyanya di angkat menjadi berbagai film bahkan setelah kematiannya bertahun-tahun lalu lamanya. Seri ketiga dari salah satu bukunya bahkan sudah difilmkan.
Jika dipikir, Arsene tahu bahwa Lyn sering membaca buku-buku karya wanita itu. Terlalu sering sampai rasanya Arsene jarang melihatnya belajar. Jelas ia mengidolakan dua orang itu.
Lalu, Arsene melihat sketsa wajah Anne lebih banyak dari yang dirinya kira. Saat Anne tengah mengenakan gaun di acara ulang tahunnya tahun lalu, saat Anne belajar demi mempersiapkan ujian, saat Anne tertidur, saat Anne memasang wajah marah, juga saat Anne menangis.
Arsene tahu bahwa kepergiaan Lyn yang tiba-tiba membuat Anne mengamuk.
Bahkan setelah ia kembali secara tiba-tiba, keduanya membutuhkan waktu panjang untuk kembali akrab.
Bagi Lyn, Anne mungkin satu-satunya sahabatnya.
Begitu pula sebaliknya.
Lalu…
Ada sketsa wanita tanpa wajah yang mengenakan kalung bunga anyelir dengan dua warna. Arsene tidak bisa menebak siapa wanita itu, meski rasanya tidak mungkin, Lyn membuat sketsa tanpa arti khusus.
Tidak ada sketsa wajah dari orang tua, maupun kakaknya. Lyn justru lebih sering menggambar objek setelahnya.
Lalu di lembar terakhir, ia menggambar sketsa wajah pria itu.
Kekasihnya…
Pria dengan surai yang di cat kemerahan dengan mata biru gelap yang mengganggu pandangan…
BRUKK
Ruang baca lantai tiga terletak bersebelahan dengan kamar Anne yang berada di ujung lorong, Anne seperti kucing liar sejak kecil. Ia memilih kamar yang sulit di jangkau. Enggan di usik sembarangan orang.
Saat itu Anne tidak tahu bahwa Arsene juga memilih lantai tiga sebagai ruang bacanya karena suasana yang tenang. Meski keduanya merasa saling terusik, tidak ada yang mau mengalah sampai saat ini.
Arsene keluar, ingin melihat kegaduhan apa lagi yang diperbuat adiknya itu.
Namun…
Ia malah melihat Anne yang terjatuh dengan Lyn yang tergeletak di lantai. Anne yang terkejut sampai kembali jatuh terduduk, saat melihat tatapan tajam berwarna biru terang dari pintu yang tiba-tiba dibuka.
“Kalian habis berpesta sambil mabuk-mabukan? Seharusnya tidak pulang sekalian agar tidak ketahuan.” Arsene hanya melihat sambil melipat kedua tangannya—bersandar di kusen tanpa niatan membantu.
Anne buru-buru kembali menarik tangan Lyn dan mencoba kembali memapahnya menuju kamar.
“Kau tidak bertemu kami malam ini!” Anne memberi peringatan, berusaha dengan keras mengangkat Lyn sampai-sampai tubuhnya terhuyung dan akan kembali terjatuh kalau saja Arsene tidak menahan kera belakang Lyn seperti menahan anak kucing.
Anne yang melihat kian murka.
“Sialan! Bantu yang benar!” Arsene masih tidak mengubah cengkramannya, ia masih menahan tubuh Lyn dengan satu tangan—memegang kerah belakang pakaiannya dengan tidak sopan.
“Merepotkan…” Gumam Arsene. Anne memukul tangan kakaknya keras, murka dengan tindakan Arsene yang tidak sopan.
“Oi, Lyn bisa kesakitan!” Anne menahan tubuh Lyn yang sudah benar-benar tidak sadarkan diri.
“Ambil air dan obat mabuk. Dia akan seperti mayat hidup saat pagi nanti.” Arsene memberi perintah pada adiknya. Ia tampak tidak setuju, sebelum akhirnya Arsene mengangkat tubuh Lyn dengan kedua tangannya, menatap Anne seolah bertanya apakah adiknya sudah puas.
Anne mendengus kesal, meski begitu tetap menurut. Meletakan tasnya dan tas Lyn di meja kecil dan pergi ke lantai bawah.
Arsene kemudian membawa tubuh Lyn memasuki kamar Anne.
Bahkan…
Karena sering bersama, Anne mengganti tempat tidurnya menjadi lebih besar, menyiapkan dua lemari, dua sikat gigi, meja rias dan berbagai macam hal lainnya.
Dia bahkan menyatakan keinginannya untuk memperluas kamarnya pada Arsene beberapa waktu lalu. Dengan artian, ia berniat mengusir Arsene dari lantai tiga dan mengubah ruang baca Arsene menjadi bagian dari kamarnya.
Jika keduanya mengatakan akan tinggal bersama, Arsene tidak akan terkejut lagi.
Jejak Lyn di kamar ini, ada dimana-mana. Seolah ia juga tinggal di sini.
“Merepotkan…” Arsene membaringkan Lyn yang terlelap dengan nyenyak. Pipinya memerah karena pengaruh alkohol, nafasnya sedikit putus-putus, tampaknya ia merasa sesak dengan kerah baju tinggi yang dikenakannya.
Arsene melepaskan dua kancing teratas pakaiannya, kembali memperhatikan wajah Lyn yang terlelap dengan tenang.
‘Dia tumbuh dengan baik.’
“Tapi tetap saja, seharusnya dia lebih bijak. Dia tidak bisa meminum alkohol, tubuhnya tidak bisa menerima dan malah pergi mabuk-mabukan seperti ini?” Arsene memperhatikan Lyn yang menggigit bibir bawahnya dengan risau.
Tanpa sadar Arsene mengangkat tangannya, menahan bibir itu dengan ibu jarinya dan mempertajam pandangannya.
“Sekarang dia menggigit bibirnya sendiri sampai berdarah begini?” Arsene mengingatnya…
Pria yang menjadi kekasih Lyn juga terus salah fokus pada bibir Lyn saat bersamanya.
Saat makan bersama, berjalan di taman, bermain catur, di kelas tembikar dan saat Lyn tertidur di perpustakaan.
Setelah mengikuti kelas tembikar, keduanya benar-benar pergi ke perpustakaan, Lyn membaca buku di sana dan tertidur tanpa sadar.
Padahal dia mengalami gangguan insomnia, namun bisa tertidur dan lengah seperti itu di tempat umum.
Dia memang menyukai suasana perpustakaan.
Tapi rasa nyaman itu karena perpustakaan atau karena kekasihnya?
Aneh…
‘Pria itu pasti memikirkan hal yang sama denganku. Ketertarikan antara pria dan wanita selalu memiliki akhir yang sama.’
Arsene tahu itu…
‘Lalu, apa ini semacam ketertarikan seperti itu? Aku, pada anak ini?’
Arsene mendekat, mencondongkan tubuhnya, mengeluarkan ibu jarinya yang sempat berada di mulut Lyn.
Suasana menjadi aneh, Arsene bisa merasakannya. Rona pipinya yang terlihat manis, bibirnya yang terasa lembut dan hangat.
Rasa penasaran jadi menguasainya.
‘Harusnya aku tidak begini…’
‘Dia hanya anak-anak.’
‘Teman adikku, adik dari wanita yang akan kunikahi.’
Pria itu tidak bisa mengontrol diri, terus mendekat dan berakhir dengan mendaratkan bibirnya pada bibir Lyn.
‘Lembut…’
‘Aku seperti seorang pencuri ciuman saja.’
Arsene kian memperdalam ciumannya, rasa lembut yang manis menguasai bibirnya. Aroma alkohol memang mengusik, namun entah mengapa hal itu tidak menjadi penghalang.
Arsene hanya menginginkan lebih…
Lebih banyak…
Arsene tidak tahu bahwa ia bisa kehilangan kontrol diri. Sebagai pria dewasa, memiliki hasrat seksual adalah hal yang wajar. Arsene memiliki cara untuk menyalurkan hasratnya. Namun rasanya tidak wajar saat hasrat itu tertuju pada seorang gadis yang dikenalnya saat ia masih kanak-kanak.
Ini aneh…
Arsene tahu yang dilakukannya tidak tepat, namun ia tidak berniat berhenti.
Suara langkah kaki nyaring itu seolah menjadi alarm terakhir.
Arsene akhirnya berhasil menghentikan diri.
Melepaskan ciuman sesaat sebelum Anne masuk ke kamar.
“Ah kau masih disini.” Anne masuk sambil membawa dua tas, segelas air dan kotak obat.
Gadis itu langsung berjalan mendekati Lyn dan menyentuh kaki kanannya. Ia melepaskan sepatu tinggi yang dikenakan Lyn dan mulai memperban kaki itu. Arsene bisa menebak bahwa Anne tahu bahwa kaki sahabatnya itu sempat terkilir atau semacamnya.
Arsene cukup terkejut melihat seberapa telaten Anne mengurus Lyn.
Padahal…
Saat kecil sebaliknya.
Apa posisi mereka kini berubah?
“Apa kau mau terus disini?” Anne menoleh sambil menatap sinis. Aura permusuhannya memang tidak sekuat dulu, saat mereka masih kecil. Tapi tetap saja mengusik.
“Jika pergi berpesta dan mabuk-mabukan lagi, kalian berdua akan terkena masalah.” Anne mengernyit mendengar perkataan Arsene. “Aku tidak peduli dengan laranganmu” balasnya ketus. Anne memang tidak pernah menghiraukan dan memperdulikan larangan Arsene, selalu seperti itu.
“Apa bagi temanmu juga begitu? Kira-kira apa yang akan terjadi jika ayahnya tahu.” Arsene tahu Anne akan mengamuk. Mengeluarkan amarah dan rasa kesalnya sesuka hati seperti hewan liar.
Namun Arsene salah.
“Ah, dia mungkin justru akan memujinya.”
Gumam tidak jelas itu terdengar lirih.
“Memuji? Tindakan ceroboh yang tidak bertanggung jawab ini.” Arsene melirik Lyn yang masih terlelap dengan nyenyak.
“Iya” jawab Anne dengan tidak jelas.
‘Sebenarnya, ada apa?’