Chapter 6 | Belum Dibuat Berlutut
“Ahhh” Lyn melenguh saat menumpahkan s**u di gelas, ia bangun cukup pagi untuk ukuran orang yang terkapar karena mabuk. Surainya berantakan, pakaian tidurnya juga kebesaran karena merupakan milik Anne.
“Ceroboh.” Lyn menoleh terkejut. Melihat Arsene yang duduk di kursi balkon ruang makan, dengan segelas kopi dan tablet di tangannya.
“Pak… Saya kira sudah tidak ada orang.” Ia buru-buru mengambil lap dan membereskan kekacauan yang dibuatnya. Wajahnya sedikit memerah karena malu, biasanya ia memang tidak berpenampilan serampangan begitu. Mungkin karena tahu bahwa jam segini Arsene biasanya sudah pergi ke rumah sakit.
Lyn langsung memasukan kembali botol s**u ke dalam mesin pendingin, berniat menaiki tangga dan memasuki kamar Anne untuk segera bersiap dan pergi ke kampus.
“Lyn” Arsene memanggil. Seketika, Lyn yang hendak berbalik pergi, menahan langkah kakinya. Membalik badan dan berjalan menghampiri Arsene dengan patuh.
“Iya Pak?” Jelas ia bersiap untuk dimarahi.
Raut wajah risau dan resahnya tidak pernah bisa disembunyikan setiap kali berhadapan dengan Arsene. Arsene masih tidak mengerti, dari mana keresahan dan ketakutan itu datang. Apa yang melandasi ketakutan Lyn terhadap dirinya dan kenapa suasana gugup dan canggung ini selalu terjadi setiap kali mereka berhadapan.
Meski mengganggu dan merepotkan…
Sejak kapan suasana ini menjadi sedikit menghibur?
Ahh, sejak Lyn kembali…
Sejak Arsene melihatnya pada pertemuan biasa di depan pintu itu.
Sejak terasa ada yang berbeda dari sorot matanya kala itu.
Padahal tidak ada yang spesial dari pertemuan itu.
“Lyn” Arsene kembali memanggil. Lyn dibuat semakin tertunduk, dalam pikirannya mungkin sudah mempersiapkan segudang alasan atas pertanyaan yang akan Arsene berikan.
Mengapa dirinya tidak sengaja menumpahkan s**u.
Mengapa dirinya bangun terlambat.
Mengapa dirinya berpenampilan seenaknya di rumah orang.
Dengan mata terpejam yang canggung dan penuh ketakutan, Lyn kian menunduk dan larut dalam segudang pikirannya.
Arsene tersenyum tipis mendapati sikap itu.
‘Lucu.’
Pikirnya kala melihat air muka ketakutan dari gadis kecil itu.
Setelahnya Arsene hanya berlalu pergi tanpa mengatakan apapun. Seolah tidak ada yang terjadi, seolah tidak tidak ada hal penting apapun yang mengusik dirinya.
Lyn yang menyadari kepergian Arsene keheranan.
Menatap punggung Arsene yang menjauh sebelum hilang di balik pintu.
“Apa-apaan?” Lyn hanya mampu menarik nafas dan membuangnya dengan lega. Seolah ia lolos dari maut.
Untungnya hari ini ia hanya memiliki kelas siang, masih ada waktu. Setidaknya ia bisa menunggu hingga rasa pengar ini sedikit berkurang.
Hari-hari berikutnya berlangsung begitu saja.
Lyn tidak lagi bertemu Arsene, betapa beruntungnya ia.
Kecuali saat ia harus memasuki kelas Arsene. Pria itu hanya mengajar satu kelas di satu semester. Kelasnya selalu ramai, Lyn bisa bersembunyi dibalik orang-orang. Rasa tidak nyaman selalu terasa setiap kali ia berjumpa dengan Arsene.
“Lyn” Lyn yang sedang larut dalam pikirannya tersentak. Bangun dengan terkejut hingga membuat ponsel di pangkuannya terlempar jatuh dan retak. Menggelinding hingga sampai di kaki Arsene.
Arsene memperhatikan layer ponsel retak itu dan melihat Lyn yang bergegas keluar dari tempat duduknya. Ia duduk di podium yang cukup tinggi, tepat di sisi tangga.
“Lyn” Arsene kembali memanggil saat Lyn sudah berada di hadapannya. “Iya Pak.” Lyn menjawab dengan sedikit takut.
Arsene benci kegaduhan, obrolan kecil bisa membuat seseorang dikeluarkan dari kelas. Lalu Lyn malah membuat kegaduhan seperti ini.
Tapi, bagaimanapun juga Lyn akan menjadi adiknya juga. Lyn sedikit berharap bahwa ia tidak akan dikeluarkan dari kelas, terutama untuk hal tidak disengaja seperti ini. Rasanya cukup memalukan, terutama saat ia sering kali menjadi bahan ejekan.
Lyn yakin, Arsene tidak sejahat itu.
“Keluar…” Wajahnya datar dan dingin.
“Eh?” Lyn membeo keheranan. Arsene bahkan tidak mengulang perkataannya, ia memang tidak pernah menjelaskan dua kali atau mengulang kalimat.
Saat di kelas selalu seperti itu.
“Ba… Baik” jawab Lyn pasrah. Percuma mendebat hal yang tidak akan dimenangkan. Lyn bergegas merapikan buku dan laptopnya. Membawa keluar tumpukan berat itu serta tas yang bahkan tidak sempat ia tutup.
Setelah keluar dan menutup pintu, ia kembali masuk dan mengambil ponselnya di kaki Arsene.
Pria itu bahkan tidak menyingkirkan kakinya sama sekali.
Lyn merasa sesak saat harus membungkuk di hadapannya, saat semua orang melihat ke arahnya.
Tumpukan buku dan laptop di tangannya berjatuhan dan membuat suasana tegang itu kian terasa lebih lama.
Lagi…
Lyn harus mengambil tumpukan buku dan laptopnya yang menyentuh kaki Arsene.
Tidak ada yang membantu, Lyn memang tidak mengharapkannya. Semua orang itu adalah orang asing yang bahkan tidak Lyn ingat namanya.
Tapi Arsene masih tidak memindahkan kakinya, ia hanya memandang ke bawah dengan dingin tanpa menghiraukan sekitar.
Sikap dingin yang kejam itu…
Padahal dia bukan orang asing. Bahkan meski tidak akrab, Lyn berharap untuk tidak diperlakukan sedingin itu. Setidaknya tidak di hadapan orang-orang yang biasa menggunjingnya di depan maupun di belakangnya.
Ia buru-buru merapikan semua buku itu, buku dan ponsel yang berada di kaki Arsene.
Lyn langsung berlari pergi saat selesai mengumpulkan barang-barangnya.
‘Tidak apa-apa.’ Lyn menyeka air matanya yang jatuh, menahan rasa sesak yang terasa dan berlari pergi dengan tergesah.
‘Perpustakaan…’ Lyn memasuki perpustakaan fakultasnya. Menuju tempat terbaik di sudut perpustakaan yang tertutup rak tinggi dan terisolasi dari sekitar.
‘Ini akan berlalu…’
‘Tidak apa-apa…’
‘Seperti yang pernah terjadi, semuanya akan menguap seolah tidak terjadi apapun.’
Rasanya…
Suasana akan menjadi berisik selama beberapa hari ke depan.
“Itu dia kan?”
“Si pisau tumpul… Gila, bahkan calon kakak iparnya tampak muak dengan keberadaanya.”
“Apa mungkin kabar itu benar?”
“Aku dengar bahwa dia sebenarnya anak haram kan?”
“Astaga? Jika begitu semuanya jadi jelas kan?”
Lyn hanya bisa menarik nafas dalam-dalam. Sudah beberapa hari berlalu dan suasana bising ini tidak ada habisnya.
Masalahnya adalah…
Anne mengunjungi fakultasnya tiba-tiba.
Lyn sudah terbiasa dengan kebisingan mengusik itu, meski merasa begitu terhina atas tindakan Arsene, Lyn memutuskan untuk tidak begitu memikirkannya. Berbeda dengan Anne, gadis itu tampak berusaha dengan sangat keras untuk menahan dirinya. Meski pada akhirnya hal itu sia-sia.
Susu kotak yang diminumnya dilemparkan hingga berceceran menghantam kepala seorang mahasiswa.
“Anak haram? Maksudmu seorang Nararya berselingkuh sampai melahirkan seorang anak? Kita lihat siapa b******n yang menghina ini. Ahh namamu Randi rupanya.” Anne mengambil buku pria itu tanpa permisi dan membaca nama pada bagian belakang bukunya.
“Entah apa yang akan dipikirkan oleh Tuan Valdi Prayan Nararya, jika mendengar hal ini.” Anne memotret nama pada buku itu dan wajah pria itu tanpa permisi.
“Siapa kau sialan! BERANINYA KAU!” Pria bernama Randi itu naik pitam.
“Adik dari dosen yang mengajarmu, buku itu kau beli untuk mengikuti kelas kakakku kan?” Pria itu tersentak, seketika menjadi kaku karena tidak tahu harus bersikap seperti apa.
“Dimana kakakku?” Tanya Anne sembarangan.
“Beliau tidak ada kelas hari ini.” Jawab salah seorang mahasiswa.
“Ah, begitu rupanya.” Anne langsung berlalu pergi tanpa permisi. Lyn yang masih duduk di kursinya hanya bisa menghela nafas dan berlari mengikuti Anne.
Sebentar lagi…
Kekacauan lain akan datang.
“OI, b******n” Anne mendobrak memasuki ruang kerja Arsene di rumah sakit tanpa permisi. Membuat beberapa dokter muda di sana menoleh terkejut, keheranan pada gadis yang masuk tanpa di undangan.
Arsene melirik para dokter muda dan mengisyaratkan untuk keluar. Jelas perkara dan kekacauan yang dibawa oleh gadis dengan sorot mata berang itu akan panjang.
“Kenapa membuat Lynku berlutut di hadapan banyak orang sialan?” Anne berteriak begitu pintu ditutup oleh pada dokter muda yang terusir. Arsene yang mendengarnya menghela nafas malas. “Aku belum membuatnya berlutut di hadapanku.” Arsene bangkit menyandarkan punggungnya dan menatap Anne yang masih memandangnya.
“Belum? Itu artinya kau memiliki niatan untuk itu? b******n!”
“Haruskah?” Arsene bertanya, memainkan nada bicaranya dan kian memancing murka.
Anne sempat tersentak, biasanya Arsene mengabaikan dan menghindari perselisihan dengannya. Arsene menganggap menanggapi Anne adalah hal tidak penting dan tidak berguna.
Namun jika Arsene menanggapi seperti ini, Anne malah semakin murka tanpa ia sendiri ketahui penyebabnya.
“Kau…” Anne mengambil pajangan di sisi kanannya sembarangan, berniat melemparkan pajangan itu pada Arsene kalau saja pintu tidak terbuka, menampilkan Lyn yang menatap kedua kakak beradik itu bergantian.
“Ahh, Anne? Kau.. Hah-haa, kau mau apa?” Lyn bertanya dengan wajah pucat dan keringat yang membanjiri pelipisnya.
“Kau berlari?” Anne terlihat panik.
“Larimu cepat sekali” keluh Lyn sambil menurunkan pajangan itu dan meletakkannya dengan hati-hati.
“Lyn…”
“Lyn…”
Anne memanggil dengan risau, menyentuh tangan Lyn yang sudah terasa dingin. “Tas, dimana tasmu?” Anne bertanya panik.
“Ahh, dimana yah?” Lyn mulai terhuyung dan jatuh dalam pelukan Anne.
Setelahnya, semuanya menjadi gelap.
Kegelapan panjang itu…
Seperti mimpi buruk tanpa ujung.
Lyn hanya ingin terbangun, melihat sorot mata yang dirindukannya dan memakan sepotong strawberry di pinggir pantai.
Kegelapan itu…
Kegelapan yang hening itu.
Apa akan berlanjut?