BAB 4

2387 Kata
Rie merasa lega sekarang karena dia sudah menghubungi Mai artinya sebentar lagi akan ada orang yang menjemputnya atau setidaknya berjaga di rumah sakit ini untuk memastikan keselamatannya.  Mengingat ada beberapa pria yang dengan sengaja mengejarnya bahkan menyerangnya saat di hotel, Rie meyakini seseorang tengah mengincarnya. Mungkinkah identitasnya sebagai seorang agen khusus kepolisian telah diketahui oleh salah satu musuhnya? Entahlah, Rie tak bisa menebaknya dengan pasti tapi dia merasakan firasat buruk untuk kejadian kemarin. Dia merasa memang identitasnya telah diketahui salah satu musuhnya. Padahal selama ini dia selalu melakukan penyamaran sebaik mungkin, tak menyangka jika sampai identitasnya sekarang diketahui.  Selain itu, selama ini Mai yang lebih sering melakukan penyamaran karena temannya itu yang selalu mendapatkan tugas seperti itu. Sedangkan Rie dan Hiro lebih sering mendapat tugas menyusup secara diam-diam atau melakukan pemantauan dari jarak jauh. Siapa sangka saat kemarin dia mendapatkan tugas untuk melakukan penyamaran bersama Mai dan sialnya penyamarannya itu langsung terbongkar. Atau sejak awal memang dirinya sudah diincar, sejak sebelum dirinya melakukan penyusupan ke tempat pesta. Begitu banyak kemungkinan sehingga Rie tak tahu yang mana pemikirannya yang benar.  Rie yang sedang melamun karena memikirkan tentang pekerjaannya yang memang membuatnya selalu terlibat dengan bahaya, memikirkan tentang musuh-musuhnya yang begitu banyak di luar sana, juga memikirkan tentang keselamatannya yang sekarang sedang terancam, dibuat terkesiap kaget begitu pintu ruangan perawatannya tiba-tiba dibuka seseorang dari luar tanpa diketuk terlebih dahulu.  “Oopps, maaf. Aku lupa mengetuk pintu. Sepertinya aku membuatmu terkejut. Maaf, maaf, aku tidak sengaja.”  Awalnya Rie berniat memarahi orang yang dengan lancang masuk ke ruangannya tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu, yang tidak lain merupakan Raiden. Tapi melihat senyuman lebar pria itu dan mengingat kebaikannya membuat Rie mengurungkan niat. Dia pun hanya mendengus dan tak berkomentar apa pun.  “Apa dokter sudah datang memeriksamu?” tanya Raiden karena dia memang sudah memberitahukan pihak rumah sakit bahwa Rie sudah siuman.  Rie mengangguk, “Sudah,” jawabnya. “Apa yang dikatakan dokter?” Rie mengernyitkan dahi karena heran Raiden sepeduli itu padanya. “Bukan urusanmu,” sahutnya ketus.  Alih-alih tersinggung, Raiden justru terkekeh kecil. “OK. Aku tidak akan bertanya lagi. Tapi mendengar jawabanmu yang bersemangat ini, aku simpulkan kondisimu sudah dinyatakan baik-baik saja oleh dokter.” Raiden tersenyum tipis dan tanpa disadari pria itu responnya ini membuat Rie tak nyaman karena detak jantungnya tiba-tiba tak terkendali. “Aku bertanya karena aku ingin memastikan kau sudah baik-baik saja. Dengan begitu aku bisa bernapas lega dan bisa meninggalkanmu dengan tenang. Tidak mungkin kan aku terus-terusan menemanimu?” “Kau akan pergi?” Raiden mengangguk, “Aku harus kembali karena hari ini aku bolos bekerja dan belum melaporkan hasil liputan kemarin secara langsung pada atasanku di kantor.”  Rie terbelalak mendengar jawaban Raiden, karena artinya pria itu berkorban sebesar itu demi dirinya. Karena mengkhawatirkannya, Raiden sampai rela bolos bekerja.  “Padahal aku tidak memintamu melakukan sampai sejauh itu.” “Mau bagaimana lagi?” Raiden mengangkat kedua bahu, “Aku tidak tenang sebelum memastikan kondisimu baik-baik saja. Walau bagaimana pun aku merasa bertanggungjawab karena aku yang membawamu ke rumah sakit ini. Aku harus memastikan pihak rumah sakit menjalankan tugasnya dengan benar.”  Rie memutar bola mata karena jawaban Raiden seperti sebuah gombalan baginya.  “Ngomong-ngomong aku tulus mengatakan ini. Aku harap kau tidak berpikir aku sedang mencoba menarik perhatian.” “Maaf, tapi aku tidak berpikir seperti itu,” balas Rie bohong karena sebenarnya dia memang sempat berpikir negatif tentang Raiden.  “Oh, iya. Aku sudah membelikan pesananmu. Roti, kan?” Raiden mengangkat plastik yang dipegang tangannya.  Pria itu lalu menarik sebuah kursi dan diletakan tepat di samping brankar yang ditempati Rie untuk berbaring. Dia menyerahkan salah satu roti pada Rie, yang langsung diterima wanita itu tanpa ragu.  “Terima kasih,” ucap Rie, tulus berterima kasih. “Sama-sama,” balas Raiden seramah biasanya. “Maaf …” “Aku tidak merasa direpotkan.” Rie yang mulutnya sudah terbuka, kembali mengatupkannya lagi karena ucapannya yang belum selesai dipotong Raiden. Dan lagi dia cukup terkejut karena Raiden sudah bisa menebak apa yang ingin dia katakan. “Senang bisa membantumu.” Raiden kembali tersenyum, membuat paras tampannya semakin terpancar jelas. Kondisi Rie yang memprihatinkan karena efek dari senyuman itu sungguh luar biasa bagi kinerja jantungnya. Seumur hidupnya, baru sekarang dia merasa segugup ini saat berinteraksi dengan lawan jenis.  Rie mencoba mengabaikan meski sebenarnya dia sedang gugup luar biasa, andai saja dia bisa menyuruh pria itu pergi agar dia bisa kembali tenang karena keberadaan pria itu di ruang perawatannya hanya membuatnya salah tingkah sendiri bagai orang bodoh, dia merutuki Mai yang tak kunjung datang. Lama sekali temannya itu datang untuk menjenguknya.  Rie mengingat dirinya harus mengisi perut dengan makanan karena sejak siuman tadi dia belum memakan apa pun. Pihak rumah sakit mungkin sedang menyiapkan makanan untuknya tapi selagi ada roti kesukaannya di tangan, kenapa tidak dia memakannya sekarang juga karena perutnya memang sudah meraung-raung minta untuk segera diisi.  Masih berusaha mengabaikan kinerja jantungnya yang bagai orang sehabis lari marathon, Rie berniat bangun karena merasa tak nyaman jika harus makan dalam kondisi terlentang. Dia meringis saat merasakan kakinya berdenyut sakit karena pergerakannya itu.  Rie tertegun tatkala merasakan tangan seseorang yang menahan punggungnya, ternyata itu tangan milik Raiden yang dengan sigap membantu Rie setelah mendengar suara ringisan kesakitan yang meluncur dari mulut Rie dalam upayanya mencoba bangun.  “Biar aku bantu. Kau pasti ingin duduk bersandar, kan?”  Tebakan Raiden tepat sasaran sehingga mau tak mau Rie hanya mampu mengangguk, mengiyakan. Dia juga tak bisa menolak saat Raiden membantunya karena dia memang sedang membutuhkan bantuan pria itu.  Dan naas bagi Rie karena posisi tubuh mereka yang terlalu dekat membuat indera penciumannya bisa menangkap dengan jelas aroma maskulin dan citrus dari parfum Raiden yang menguar dari tubuhnya, begitu menyengat di hidung Rie sekaligus membuatnya seolah melayang. Jeratan pria itu baik melalui paras tampan, tubuh atletis dan aroma tubuhnya yang begitu memabukan benar-benar sulit ditepis oleh Rie yang malang karena ini pengalaman pertamanya merasa segugup ini ketika berinteraksi dengan lawan jenis. Salahkan dia yang dulu selalu fokus bekerja sehingga tak pernah sekalipun menjalin hubungan dengan seorang pria.  Seolah-olah tak menyadari kegugupan yang sedang dirasakan Rie, Raiden dengan telaten meninggikan sandaran brankar dan menambahkan bantal juga di belakang punggung Rie agar wanita itu nyaman bersandar.  “Bagaimana? Sudah nyaman?” tanya Raiden. Rie berdeham untuk menghilangkan kegugupannya. Lagi dan lagi, dia hanya bisa memberi respon dengan anggukan kepala.  Merasa dia sudah tak dibutuhkan lagi, Raiden kembali duduk di kursinya. Sedangkan Rie menunduk menatap ke arah roti di tangan sembari menghela napas panjang berulang kali untuk menepis perasaan tak nyaman itu.  Rie lantas mencoba membuka bungkus roti yang dibelikan Raiden, namun kesialan kembali menimpanya karena tangannya yang terhubung dengan selang infus membuatnya kesulitan untuk membuka bungkusan itu. Namun Rie tak menyerah begitu saja, dia tetap berusaha membuka bungkus plastik roti ketika tiba-tiba seseorang merebut roti tersebut dari tangannya.  Tentu saja pelakunya adalah Raiden yang dengan tidak sopan merebut roti itu tanpa permisi.  “Apa yang kau lakukan?” tanya Rie ketus karena tak suka dengan tindakan tak sopan Raiden yang merebut roti di tangannya begitu saja. “Jika butuh bantuan orang lain harusnya kau bilang saja. Jangan memaksakan diri, padahal ada orang lain di sampingmu yang bisa kau mintai bantuan.” Raiden dengan mudah berhasil merobek bungkusan roti itu dan mengulurkannya kembali pada Rie. “Aku ada di sini untuk membantumu. Tolong jangan memaksakan diri lain kali. Jangan sungkan meminta bantuanku, OK?”  Untuk kesekian kalinya Rie tergugu, tak mampu berkata-kata karena terlalu terharu dengan kebaikan Raiden padanya.  Rie mengulurkan tangan untuk menerima roti yang diulurkan Raiden padanya.  “Rie! Maaf aku baru data …”  Rie terbelalak karena mendengar suara cempreng seseorang yang dengan heboh langsung membuka pintu tanpa mengetuknya terlebih dahulu. Tentu saja tak ada orang lain lagi yang akan melakukan tindakan tak sopan itu selain Yoshida Mai, rekan kerja sekaligus seorang teman dekat yang tinggal serumah dengan Rie saat ini.  Mai sendiri melongo sampai tak melanjutkan ucapannya yang masih menggantung karena terlalu terkejut melihat Rie ternyata tidak sendirian di dalam ruang perawatannya. Melainkan ada seorang pria tampan yang menemaninya. Terlebih apa barusan yang Mai lihat? Sekilas dia melihat Rie seperti sedang berpegangan tangan dengan pria asing itu padahal dia salah paham karena yang terjadi sebenarnya Rie sedang mengambil roti yang diulurkan Raiden.  “Owh, sorry. Sepertinya aku datang di waktu yang tidak tepat. Aku pasti mengganggu ya? Aku keluar dulu kalau begitu.” “Kau mau kemana, Mai? Cepat masuk. Aku sudah menunggumu dari tadi. Kau lama sekali!” Rie meninggikan suaranya karena kesal bukan main pada Mai yang sejak tadi dia tunggu kedatangannya dan temannya itu malah ingin pergi meninggalkannya lagi.  Mai menyengir lebar, “Bukannya aku mengganggu kalian ya?” Rie berdecak, “Sama sekali tidak. Cepat ke sini!”  Mai tahu Rie pasti sedang kesal padanya saat ini karena raut wajah Rie dan nada suaranya saat sedang kesal sangat mudah untuk ditebak. Hanya saja dia tak tahu alasan Rie kesal karena dia terlalu lama datang atau karena dia tak suka kedekatannya dengan si pria asing terganggu. Mai bertekad akan menanyakan hal ini nanti pada Rie secara langsung.  Mai melempar senyum pada Raiden yang baru pertama kali ini dia temui. Dan Mai yang memang jelalatan jika melihat pria tampan, secara terang-terangan menatap Raiden seolah lupa cara berkedip.  Rie yang menyadarinya berdeham keras, mengisyaratkan pada Mai agar dia menjaga sikap dan sopan santun. Manurutnya Raiden pasti risih karena ditatap seintens itu oleh Mai.  “Hai, perkenalkan namaku, Yoshida Mai. Aku teman baiknya,” kata Mai sembari menunjuk Rie dengan dagunya. Dengan sengaja Mai mengabaikan isyarat dari Rie tadi yang sebenarnya dia sadari maksudnya. Mai justru berjalan mendekati Raiden dan mengulurkan tangan kanan setelah mengenalkan diri tanpa diminta pria itu.  Raiden balas mengulurkan tangan sehingga kini dia dan Mai sedang berjabatan tangan. “Ryuzaki Raiden. Senang bertemu denganmu, Nona Mai.” “Mai saja. Jangan terlalu formal bicara denganku. Aku ini orang yang mudah bergaul,” ucap Mai dengan penuh percaya diri sembari mengedipkan sebelah mata.  “Maii!” Namun mendengar Rie memanggilnya dengan penuh penekanan, Mai hanya menyengir lebar. Tangannya yang sengaja berlama-lama menjabat tangan Raiden, kini dia lepaskan karena saat melirik ke arah Rie, dia mendapati wanita itu sedang menatapnya tajam.  “Aku senang akhirnya kau tidak sendirian lagi.” Tentu Raiden sedang mengajak bicara pada Rie, mengabaikan keberadaan Mai yang masih saja menatapnya tanpa berkedip. “Karena sekarang kau tidak sendirian lagi, sepertinya aku sudah bisa pergi.” “Kau mau pergi kemana? Jika kedatanganku memang mengganggu kalian, aku bisa pergi sekarang.”  Raiden mengangkat satu tangan sebagai isyarat bahwa dia membantah ucapan Mai, karena kedatangan wanita itu sama sekali tidak membuatnya merasa terganggu.  “Tidak, tidak. Aku justru senang kau datang ke sini karena sekarang dia tidak sendirian lagi.” “Tapi kurasa Rie lebih senang ditemani olehmu dibanding aku yang menemaninya.” “Mai.” Mendengar Rie kembali menyebut namanya dengan penuh penakanan, Mai hanya terkekeh. “Hanya bercanda. Jangan dianggap serius ucapanku,” tambah Mai, meralat ucapannya karena tak ingin kena omelan Rie jika Raiden sudah pergi nanti. “Aku tahu. Lagi pula aku yakin dia lebih senang jika ditemani oleh teman dekatnya dibandingkan pria asing sepertiku.” Raiden kembali menoleh pada Rie yang tak berkomentar apa pun.  “Kalau begitu aku pamit dulu, permisi.”  Raiden lantas melangkah menuju pintu keluar yang diantar Mai dengan lambaian tangan. Namun sebelum benar-benar melewati pintu yang sudah dibukanya, Raiden kembali menoleh ke belakang, menatap ke arah Rie lebih tepatnya. “Sepertinya aku belum menanyakan namamu. Boleh aku tahu namamu?”  Rie tertegun, baru ingat dia memang belum menyebutkan nama padahal Raiden sudah mengenalkan diri sejak dia baru sadarkan diri.  “Yumiko Rie,” sahut Rie, akhirnya memperkenalkan namanya. “Rie ya? Nama yang indah. Semoga lekas sembuh. Aku harap kita akan berjumpa lagi nanti.” Raiden sekali lagi melempar senyum sebelum kakinya melangkah dan kali ini sosoknya benar-benar menghilang setelah pintu ditutupnya dengan rapat.  “Nama yang indah. Semoga lekas sembuh. Aku harap kita akan berjumpa lagi nanti. Wow, apa itu maksudnya?” Goda Mai sembari menyenggol pelan lengan Rie karena dia kini memang berdiri tepat di samping brankar yang ditempati Rie.  Rie mendengus dengan semburat merah yang menghiasi kedua pipinya. “Kau ini bicara apa? Itu kan hanya basa-basi.” “Tapi bagiku itu bukan basa-basi biasa. Tapi memang pujian sekaligus dia mengharapkan bisa bertemu denganmu lagi.” Mai dengan semangat menarik kursi yang tadi diduduki Raiden lalu mendudukan diri di sana. “Hei, ceritakan padaku … kenapa kau bisa bertemu dengan pria setampan itu?”  Rie memutar bola mata, malas meladeni Mai jika sifat jelalatannya mulai kambuh seperti sekarang.  “Apa dia itu orang baik hati yang kau sebutkan di telepon? Dia kan yang menolongmu dan membawamu ke rumah sakit ini?”  Rie menghela napas panjang tapi mau tak mau dia harus merespon. Dia pun mengangguk pelan, “Iya. Beruntung dia menolongku, jika tidak, mungkin aku sudah mati kehabisan darah karena kalian tidak kunjung menolongku.”  Mai memicingkan mata, sindiran Rie cukup pedas. “Hei, jangan bicara seperti itu. Mana mungkin kami membiarkanmu mati kehabisan darah. Sudah pasti kami akan terus mencarimu sampai ketemu. Lagi pula asal kau tahu, kami langsung mencarimu begitu kami tidak melihatmu ikut keluar dari pintu darurat hotel.”  Rie sebenarnya tak menyalahkan rekan-rekannya yang terlambat menemukannya karena mungkin mereka mengira dirinya akan keluar dari pintu darurat karena tak mengetahui insiden penyerangan yang dialaminya. Selain itu karena Raiden terlanjur menemukannya lebih dulu dan membawanya ke rumah sakit ini jadi sangat wajar jika rekan-rekannya tak berhasil menemukan keberadaannya. Karena itu, Rie berniat untuk menceritakan pada Mai tentang insiden penyerangan yang dia alami.  “Aku akan menceritakan kejadian yang menimpaku sampai bisa dirawat di rumah sakit ini. Aku …” “Dibandingkan mendengar cerita tentang alasanmu bisa tertembak, aku lebih tertarik mendengar cerita tentang pria tampan itu. Rie, ceritakan tentang dia padaku dan bagaimana bisa kau bertemu pria tampan seperti artis itu?”  Rie berdecak, kini dia menyesal karena meminta Mai yang menjemputnya, seharusnya dia meminta Hiro atau rekannya yang lain. Tapi menyesal pun tidak ada gunanya karena Mai akan terus merongrongnya dengan pertanyaan yang sama sebelum mendapatkan jawaban yang dia inginkan.  Rie menghela napas panjang, dengan terpaksa harus menceritakan tentang pria yang berhasil membuat jantungnya berulang kali berdetak tak karuan. Hah, semoga nanti Mai tidak mencurigai sesuatu saat dia menceritakan tentang Raiden dan pertemuan mereka yang tidak terduga.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN