BAB 3

2247 Kata
Rie mengerjap-erjapkan mata yang sejak tadi terpejam karena indera penciumannya mencium aroma tak sedap tapi sangat mudah diketahui dirinya sedang berada dimana sekarang karena aroma yang khas ini merupakan ciri khas rumah sakit.  Kedua mata Rie yang sejak tadi terpejam erat dengan perlahan akhirnya terbuka. Rie menyipitkan mata karena cahaya dari lampu tepat di atas kepalanya begitu menyilaukan indera penglihatannya.  “Apa yang terjadi padaku?” gumamnya pelan pada dirinya sendiri.  Saat dia mencoba mengingat-ingat apa yang sudah terjadi padanya dan dia akhirnya mengingat kejadian di hotel ketika dia menjalankan misi penyusupan dengan Mai untuk menyelidiki Masamune Sinyo yang dicurigai sebagai pemimpin kelompok Yakuza Kitsune, Rie ingat tiba-tiba terjadi ledakan. Dia melihat salah seorang anak buah Sinyo menjatuhkan granat sehingga ruangan pesta pun meledak. Pasti banyak orang yang menjadi korban ledakan itu mengingat banyak peserta pesta yang masih terjebak di dalam.  Rie juga sekarang mengingat saat dia terpisah dengan Mai yang pergi lebih dulu melewati pintu darurat karena Rie yang menolong seorang ibu yang tampak terluka parah di bagian kepala. Dan setelah itu … setelah itu …  Rie menjambak rambutnya berusaha mengingat-ingat lagi dan ya, tak lama kemudian dia mengingat dirinya dikejar oleh beberapa pria yang sepertinya anggota kelompok Kitsune. Mereka menyerang dan mengepungnya bahkan Rie terkena tembakan salah satu pria yang melepaskan tembakan.  “Tapi kenapa aku bisa ada di sini sekarang?” Rie kembali bergumam karena setelah dia terkena tembakan itu dia tak mengingat apa pun lagi.  Rie berniat bangun dari posisi berbaringnya namun dia meringis saat merasakan sakit yang luar biasa pada betisnya.  “Jangan bangun dulu!”  Rie terkesiap saat mendengar sebuah suara dari arah samping terutama saat melihat seorang pria barjalan cepat menghampirinya karena baru saja keluar dari pintu toilet yang berada di ruang perawatan Rie.  Pria asing itu dengan sigap berniat membantu Rie agar kembali berbaring namun dengan kasar Rie menepis tangan orang yang tidak dikenalnya.  “Siapa kau?” tanya Rie sambil memicingkan mata penuh curiga. Alih-alih tersinggung dengan sikap kasar Rie, pria itu justru mengulas senyum lebar. Lalu mengulurkan tangan kanan ke arah Rie, “Perkenalkan, namaku, Ryuzaki Raiden. Aku orang yang membawamu ke rumah sakit ini.”  Rie masih belum menurunkan sikap kewaspadaannya, dia tetap memicing tajam penuh curiga pada pria yang mengenalkan diri bernama Raiden tersebut.  “Kenapa kau bisa membawaku ke sini?” “Tentu saja karena aku tidak tega meninggalkanmu sendirian apalagi aku lihat kakimu terluka karena terkena tembakan.”  Rie menatap dengan seksama pria yang berdiri di hadapannya itu, dia sepertinya mengingat memang sempat bertemu dengan pria itu sesaat sebelum dia kehilangan kesadaran. Pria itu tiba-tiba berlari melewatinya yang sedang bersandar di tembok depan parkiran hotel sambil berharap ada rekannya yang datang menolong. Karena saat itu jangankan untuk terus berjalan, sekadar bergerak pun Rie tak bisa, karena itu dia memutuskan untuk beristirahat sambil menunggu bantuan datang. Rie tak menyangka justru pria asing ini yang menolongnya alih-alih rekannya yang dia harapkan kedatangannya.  “Sebenarnya kau ini siapa? Kenapa bisa berada di hotel itu?” Inilah yang membuat Rie heran karena pria bernama Raiden itu berada di hotel yang seharusnya menjadi tempat pesta yang dihadiri para petinggi Negara termasuk dicurigai para pemimpin kelompok yakuza pun ikut hadir.  Raiden tak mengeluarkan sepatah kata pun, dia merogoh sesuatu dari saku celana dan mengulurkannya pada Rie. Ternyata benda yang diulurkan pria itu sebuah kartu tanda pengenal, Rie menerimanya tanpa ragu.  Rie membaca informasi yang tertera di kartu pengenal tersebut, di sana tertera pekerjaan Raiden sebagai jurnalis dari salah satu stasiun TV di Jepang.  “Aku datang ke hotel untuk melakukan liputan di acara pesta yang dihadiri para petinggi Negara. Siapa sangka insiden mengerikan seperti itu bisa terjadi. Mengerikan sekali ya, hotel bintang lima yang mewah itu sampai hancur dan terbakar. Ledakan dimana-mana, untung saja aku masih berhasil menyelamatkan diri. Aku yakin banyak korban yang jatuh dalam insiden di hotel itu,” kata Raiden sambil menghela napas panjang.  Rie memperhatikan raut wajah Raiden maupun gerak-geriknya, sebagai anggota agen khusus kepolisian, Rie sudah berpengalaman dalam menilai karakter orang melalui tutur kata dan prilaku, dia yakin tak menemukan satu hal pun yang mencurigakan dari sosok Raiden. Pria itu sepertinya memang warga sipil biasa yang kebetulan ada di tempat kejadian karena pekerjaannya yang menuntut dia untuk meliput acara pesta.  Rie seketika mengembuskan napas lega, kewaspadaannya pun dia longgarkan karena meyakini pria yang menolongnya itu sama sekali tak berbahaya. Dia justru harus berterima kasih padanya karena jika bukan berkat bantuan Raiden mungkin sekarang dia sudah berada di dunia lain karena kehabisan banyak darah.  “Terima kasih sudah menolongku,” ucap Rie dengan suara pelan tapi Raiden masih bisa mendengarnya dengan jelas.  Raiden mengangguk disertai senyum, “Sama-sama. Syukurlah aku menolongmu tepat waktu. Oh, iya. Kalau aku boleh tahu kenapa kau bisa sampai tertembak?” Raiden terlihat jelas begitu penasaran ingin mengetahui kejadian yang baru saja menimpa wanita yang ditolongnya.  Rie menggelengkan kepala, merasa tak memiliki kewajiban untuk memberikan penjelasan apa pun pada seorang warga sipil yang tak seharusnya mengetahui pekerjaan apalagi misinya datang ke hotel itu. Dia juga tak tertarik memberitahukan orang-orang yang menyerangnya hingga dia bisa terluka seperti ini.  “Aku juga tidak tahu siapa yang menembakku. Aku tidak melihat wajahnya.” “Oh, jangan-jangan kau terkena peluru nyasar? Mungkin orang itu menembak secara sembarangan dan tanpa sengaja mengenaimu?”  Rie mengangkat kedua bahu, “Bisa jadi,” sahutnya. “Kasihan sekali kau ini. Tapi untunglah kau masih bisa diselamatkan. Tapi tolong jangan dulu terlalu banyak bergerak karena kau baru saja selesai dioperasi untuk mengeluarkan peluru.”  Rie sudah menduga dirinya baru saja menjalani operasi, sekarang dia bertanya-tanya sudah berapa lama dirinya berada di rumah sakit ini. Dan kenapa tak ada satu pun rekannya yang datang mencarinya. Rie mendengus, kecewa karena rekan-rekannya seolah tak mempedulikannya. Mungkinkah mereka menganggapnya sudah mati karena menjadi salah satu korban ledakan? Rie menggelengkan kepala kali ini, berharap pemikirannya salah. Mana mungkin rekan-rekannya di tempat kerja dengan mudah menganggapnya sudah mati.  Rie yang sedang melamun itu mengerjapkan mata kaget karena Raiden dengan tak sopan mengibas-ngibaskan tangan tepat di depan wajahnya.  “Kau melamun ya?” tanya Raiden. “Aku tidak melamun,” jawab Rie, menyanggah dengan tegas walau sebenarnya dia memang sedang melamun memikirkan rekan-rekannya yang tak datang menemuinya di rumah sakit. “Padahal sudah jelas sedang melamun. Buktinya dari tadi aku memanggil, tapi kau tidak juga menyahut.” Rie memalingkan wajah ke arah lain, sebenarnya malas menanggapi pria asing itu yang banyak melontarkan pertanyaan padanya, sepertinya dia tipe orang yang senang mencampuri urusan orang lain. Dan Rie membenci tipe orang seperti itu.  “Aku sudah berapa lama ada di rumah sakit ini?” Pertanyaan yang membuatnya penasaran ini akhirnya terlontar dari mulut Rie, masih dengan tatapan yang dia palingkan ke arah lain karena kini dia sedang menatap ke arah jendela dimana di luar sana menampilkan banyak bangunan pencakar langit yang menjulang tinggi dan berdiri dengan kokoh.  “Baru satu hari. Aku membawamu ke sini semalam dan sekarang sudah malam lagi. Kau langsung menjalani operasi begitu aku membawamu ke sini. Aku lega kau cepat siuman karena awalnya dokter sempat khawatir kau akan mengalami koma mengingat kau kehilangan cukup banyak darah. Dokter yang mengoperasimu pasti senang jika tahu kau sudah siuman.”  Rie mengembuskan napas pelan, dia ingin segera menghubungi rekan-rekannya karena mereka harus tahu bagaimana kondisinya sekarang dan dimana dia berada saat ini. Tapi jika Raiden tetap ada di ruangan ini bagaimana caranya dia bisa menghubungi markas untuk menginformasikan hal ini pada rekan-rekannya?  “Sekarang kita berada di rumah sakit mana?” Rie kembali bertanya. “Di Tokyo International Hospital, kau dirawat di ruangan Sakura.”  Rie mengernyitkan dahi karena dia tak mengingat menanyakan juga nama ruangan tempatnya dirawat ini.  Menyadari tatapan Rie menyiratkan keterkejutan sekaligus curiga, Raiden terkekeh. “Aku memberitahumu nama ruang perawatanmu karena mungkin kau akan menghubungi keluarga atau temanmu. Aku belum menghubungi siapa pun karena tidak tahu harus menghubungi siapa. Kau tidak membawa ponsel atau kartu tanda pengenal.”  Rie mengangguk mengerti karena dia memang tak membawa apa pun yang bisa saja membuat identitasnya dicurigai selama menjalankan misi penyusupan semalam.  “Tidak masalah, biar aku sendiri yang menghubungi keluargaku.” Rie kini memalingkan wajah sehingga tatapannya beradu pandang dengan Raiden yang juga sedang menatapnya. Rie tiba-tiba jadi gugup karena Raiden sedang mengulas senyum ramah untuknya. Jantung Rie pun berdetak cepat karena meski dia berusaha tak peduli, tak dia pungkiri pria yang menyelamatkannya itu memiliki paras yang sangat tampan dan senyuman yang sangat menawan membuat jantung Rie berdetak cepat tanpa kehendaknya.  Rie berdeham untuk menenangkan diri, “Hm, kau bilang tadi belum sempat memberitahu dokter tentangku yang sudah siuman bukan?” Raiden mengangguk tanpa ragu, “Iya, aku memang belum memberitahu dokter karena kau siuman saat aku sedang di toilet. Kau juga melihatnya kan aku keluar dari sana tadi.” Raiden menunjuk ke arah pintu toilet dimana dirinya muncul tadi.  Rie mengangguk mengiyakan, tentu dia ingat melihat pria itu keluar dari pintu toilet di dalam ruang perawatannya. Tentu saja dia pun ingat kemunculan pria itu yang mendadak sangat membuatnya terkejut tadi.  “Bisa tolong kau beritahukan pada pihak rumah sakit bahwa aku sudah siuman?”  Raiden sedikit mengernyitkan kening karena hal seperti itu sebenarnya bisa dilakukan dengan menekan tombol yang disiapkan pihak rumah sakit untuk pasien menghubungi jika membutuhkan bantuan perawat maupun dokter. Tapi Raiden memaklumi keinginan Rie karena itu dia mengangguk pertanda dia akan mengabulkan keinginan wanita itu.  “Baiklah, aku pergi dulu kalau begitu.” Sebelum melangkah pergi Raiden menoleh ke arah telepon yang diletakan di atas nakas cukup jauh dari jangkauan Rie. Dia tiba-tiba mengambil telepon itu dan memindahkannya ke pangkuan Rie yang masih terlentang di brankar.  Kini gantian Rie yang menaikkan satu alis karena heran melihat tindakan Raiden padahal dia tidak memintanya untuk memindahkan telepon itu.  “Mungkin kau butuh telepon untuk menghubungi keluargamu. Karena kupikir kau tidak akan bisa mengambilnya sendiri jadi aku pindahkan saja agar kau bisa leluasa menggunakan telepon itu.”  Rie tercekat karena pria itu seolah bisa menebak pemikirannya, memang benar Rie berniat menggunakan telepon itu bukan untuk menghubungi keluarganya melainkan untuk menghubungi rekan-rekan kerjanya di markas. “Baiklah, sekarang aku pergi dulu untuk memberitahukan pada pihak rumah sakit kau sudah siuman.”  Tanpa menyahut sedikit pun, Rie hanya menganggukan kepala, mengizinkan Raiden pergi karena memang itulah yang dia inginkan sekarang. Namun sebelum Raiden membuka pintu, pria itu kembali menoleh ke belakang, ke arah Rie lebih tepatnya.  “Apa kau ingin memakan sesuatu? Karena makanan rumah sakit rasanya sangat tidak enak. Jadi mungkin kau ingin memakan makanan lain? Aku tidak keberatan membelikannya.”  Rie mengulum senyum, pria penolongnya itu sepertinya memang pria baik hati karena sejak tadi terus saja menawarkan bantuan tanpa Rie minta.  “Jika tidak merepotkan, tolong belikan aku roti saja.”  Dengan antusias, Raiden mengangkat ibu jari. “OK. Dalam sepuluh menit roti pesananmu akan segera datang.”  Lalu pria itu benar-benar membuka pintu dan kali ini sosoknya menghilang begitu dia melewati pintu tersebut dan menutupnya rapat.  Rie menghela napas panjang, jika dipikir-pikir baru sekarang dia banyak berbincang dengan lawan jenis selain Hiro, karena biasanya dia sangat menghindari terlibat interaksi yang berlebihan dengan pria mana pun. Hiro dan Toshio pengecualian karena mereka rekan kerjanya.  Rie tersenyum kecil, tak dipungkiri merasa nyaman berbincang dengan pria asing itu karena pembawaan pria itu yang sangat ramah dan baik.  Rie cepat-cepat menggelengkan kepala karena ingat bukan saatnya mengagumi kebaikan penolongnya, sekarang dia harus melakukan hal yang lebih penting yaitu menghubungi rekan-rekannya di markas.  Dengan gesit Rie menghubungi sebuah nomor yang sudah dia hafal di luar kepala.  “Hallo.”  Suara yang begitu familir di telinga Rie terdengar dari seberang sana.  “Apa kalian tidak mengkhawatirkanku sampai kalian tidak mencariku atau mencaritahu bagaimana kondisiku?” Rie tanpa ragu langsung mengutarakan kekecewaannya. “Rie? Kaukah itu? Kau, Rie, kan?” Rie memutar bola mata karena mendengar suara lawan bicaranya di telepon yang tidak lain merupakan Mai, terdengar begitu heboh seperti biasa.  “Iya, ini aku. Kau pikir hantu yang sedang bicara denganmu? Sepertinya kalian benar-benar mengira aku sudah mati ya?” “Tentu saja tidak. Kami yakin kau masih hidup tapi karena kami tidak tahu apa yang terjadi padamu karena itu kami masih melakukan pencarian. Syukurlah kau menghubungi lebih dulu. Aku juga senang mendengar suaramu yang terdengar baik-baik saja.” Rie mendengus keras, “Aku sama sekali tidak baik-baik saja. Aku terluka parah asal kau tahu.” “Hah? Serius?!!!”  Rie menjauhkan gagang telepon karena telinganya serasa berdengung mendengar teriakan kencang Mai.  “Rieeeee, serius kau terluka parah?” Rie berdecak, “Jangan berlebihan. Sekarang kondisiku sudah membaik. Aku minta kalian jemput aku secepatnya. Aku tidak bisa berlama-lama di sini.” “Memangnya kau ada dimana?” tanya Mai. “Di Tokyo International Hospital.”  Suara Mai tak terdengar menyahut lagi membuat Rie terheran-heran dan sempat berpikir sambungan teleponnya terputus.  “Mai, kau masih di sana, kan?” “Kau ada di rumah sakit? Siapa yang membawamu ke sana?” Rie mengembuskan napas lega karena suara Mai akhirnya kembali terdengar, rupanya sambungan telepon masih tersambung.  “Seseorang menolongku.” “Siapa?” tanya Mai penasaran.  Dan memikirkan sosok penolongnya tanpa sadar membuat Rie mengulas senyum tipis. Kini yang terbayang di kepalanya adalah wajah tampan Raiden yang tersenyum ramah serta perhatian pria itu yang seolah tahu apa yang dia butuhkan.  “Rie, siapa yang menolongmu?” Mai mengulang pertanyaannya karena suara Rie yang menyahuti tak kunjung terdengar. “Seseorang yang sangat baik hati,” jawab Rie pelan dan lagi-lagi tanpa sadar bibirnya mengulas senyum tipis.  Rie tak tahu jawabannya yang terdengar ambigu ini membuat Mai di seberang sana penasaran setengah mati.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN