BAB 10

2166 Kata
Di tengah tidur lelapnya, Rie samar-samar mendengar langkah kaki seseorang yang mendekati tempat tidurnya. Rie memang memiliki telinga yang cukup sensitif, mungkin ini dampak karena saat dirinya masih anak-anak, dia selalu ketakutan setiap kali mendengar suara langkah kaki ayahnya yang hendak memasuki kamar untuk membangunkannya di pagi hari karena latihan hidup disiplin yang selalu diterapkan ayahnya pada Rie.  Rie kecil tak pernah menikmati masa kanak-kanaknya dengan bermain layaknya anak-anak seusianya. Dia selalu dididik dengan keras, diajarkan hidup disiplin dengan harus selalu tepat waktu dalam melakukan aktivitas apa pun. Ayah Rie tak akan segan-segan menghukum dengan mencambuk betisnya jika Rie melanggar peraturan yang ayahnya buat di rumah. Termasuk jika melanggar aturan jam bangun tidur Rie yang harus tepat pukul 5 dini hari, setiap hari. Terlambat bangun beberapa menit saja maka Rie harus bersiap menerima amarah ayahnya, karena itu sejak kecil Rie selalu memasang telinganya setajam mungkin agar dia bisa bangun tepat waktu sebelum ayahnya datang memeriksa ke kamarnya setiap pagi.  Pengaruh ajaran hidup disiplin itu sangat melekat dalam ingatan Rie bahkan hingga dirinya sudah menginjak usia dewasa seperti ini. Telinga Rie tadi memang mendengar suara langkah kaki mendekati tempat tidurnya, dia pun bergegas membuka kedua mata dan terbelalak sempurna saat mendapati wajah Hiro yang sangat dekat dengan wajahnya menjadi pemandangan pertama yang dilihat oleh Rie.  Rie bisa menangkap ekspresi keterkejutan yang sama di wajah Hiro, pria itu dengan cepat memundurkan wajah dan kembali berdiri tegak.  “Maaf, Rie. Jangan berpikiran yang tidak-tidak. Barusan aku hanya berniat memeriksa keningmu untuk memastikan suhu tubuhmu normal karena aku lihat kau berkeringat. Aku takut kau demam.”  Meski Hiro berkata demikian untuk menjelaskan alasan wajahnya bisa begitu dekat dengan wajah Rie, Rie memicingkan mata karena tak bisa mempercayai ucapan pria itu begitu saja. Mungkin ini salah satu pengaruh dari ajaran yang lain dari ayahnya karena sejak kecil Rie selalu diwanti-wanti agar tidak mudah mempercayai orang lain. Dan Rie selalu mengingat ajaran itu hingga sekarang. Mungkin ini pula salah satu alasan yang membuatnya tidak mudah bergaul dengan orang lain karena selalu berhati-hati saat bertemu dengan orang asing.  “Tetap saja itu tidak sopan, Hiro,” balas Rie sembari melayangkan tatapan tajam untuk menunjukan bahwa dia serius tidak menyukai tindakan Hiro barusan.  Sedangkan bagi Hiro, dirinya seperti sedang bernostalgia dengan kejadian di masa lalu saat Rie mengatakan hal serupa meski waktu itu kata-katanya jauh lebih pedas dari ini.  “Iya, aku minta maaf.”  Rie mengembuskan napas pelan sebelum kepalanya terangguk, memutuskan untuk memaafkan Hiro karena mengingat baru pertama kali ini Hiro bersikap kurang ajar padanya. Sebelumnya pria itu selalu memperlakukannya dengan sopan. Alasan lain yang membuat Rie memutuskan untuk memaafkan Hiro karena teringat pada semua kebaikannya, terutama kebaikan pria itu hari ini.  “Kau tidak tidur? Padahal ini sudah tengah malam.” tanya Rie sambil menatap heran pada Hiro yang masih berdiri mematung di tempat alih-alih pergi ke sofa untuk beristirahat.  “Hm, tadi aku belum mengantuk. Aku melihatmu gelisah dalam tidurmu, apa kau mimpi buruk?”  Hiro tidak berbohong karena sesekali dia memang melihat Rie tampak gelisah dalam tidurnya meski tak bertahan lama karena setelah itu Rie kembali tertidur dengan lelap. Karena alasan ini pula yang membuat Hiro terus memperhatikan Rie dalam tidurnya.  “Aku memang jarang bisa tidur nyenyak.”  Hiro semakin dibuat terkejut setelah mendengar pengakuan Rie ini. “Kenapa memangnya?” Berharap Rie akan berbagi cerita lagi dengannya seperti tadi, kali ini respon Rie yang didapatkan Hiro hanya mengulas senyum tipis.  “Tidak apa-apa. Sudah kebiasaan sejak kecil seperti itu. Jangan dipikirkan.” “Tapi kau baik-baik saja, kan?” “Sangat baik. Tidak perlu mengkhawatirkanku. Lebih baik kau mengkhawatirkan dirimu sendiri karena kau belum tidur padahal ini sudah tengah malam. Bukankah besok kau harus kembali ke kantor? Pasti banyak misi yang sedang menunggumu.”  Hiro tak mampu membantah karena tak dia pungkiri besok dirinya akan disibukan oleh pekerjaan seperti biasa. Ditambah besok Toshio pasti akan mengadakan pertemuan untuk membahas tentang penyerangan di hotel saat Rie dan Mai menyusup untuk menyelidiki tentang pemimpin kelompok Kitsune.  “Kau benar. Aku harus tidur. Kau juga lanjutkan tidurmu.”  Rie mengangguk, tak mengatakan apa pun lagi sampai Hiro berjalan menjauh dan mendudukan dirinya di sofa.  Rie hendak mengubah posisinya yang sedang tidur dalam posisi menyamping menjadi tidur terlentang, gerakannya terhenti saat suara Hiro kembali menginterupsi.  “Oh, iya. Rie, apa kau yang memilih ruangan ini sebagai ruang perawatanmu?”  Rie terdiam, tentu bukan dia yang memilih ruangan ini karena begitu dia membuka mata selepas operasi, dirinya langsung ditempatkan di ruangan ini.  Rie pun lantas menggelengkan kepala, “Bukan aku yang memilih ruangan ini, kenapa memangnya?” “Kau pasti tahu kan ini ruangan VIP? Aku pikir kau yang memilih ruangan ini.” Rie kembali menggelengkan kepala, “Bukan aku. Saat aku datang ke sini kondisiku cukup parah, aku tidak sadarkan diri dan langsung menjalani operasi. Begitu sadar, aku sudah ada di ruangan ini.” “Oh, mungkin pihak rumah sakit yang menempatkanmu di sini karena ruangan lain sedang penuh.” “Hm, bisa jadi,” sahut Rie. “Tapi ada bagusnya kau ditempatkan di ruangan ini, aku jadi bisa tidur di sofa empuk ini.”  Hiro menepuk sofa yang dia duduki di akhir ucapannya, sebelum dia merebahkan tubuh di sana dan mulai memejamkan mata.  Awalnya Rie berniat menyusul Hiro untuk kembali berpetualang di dunia mimpi, namun diurungkannya karena sesuatu tiba-tiba mengusik pikirannya.  Setahu Rie, pihak rumah sakit pasti akan bertanya terlebih dahulu dimana pasien akan diletakan pada pihak keluarga atau orang yang bertanggungjawab atas pasien tersebut. Karena biasanya pasien yang baru selesai menjalani operasi dan belum dikunjungi keluarganya akan diletakan di ruangan ICU sebelum dipindahkan ke ruang perawatan. Melihat dirinya diletakan di ruang VIP ini, Rie jadi berpikir mungkinkah Raiden yang meminta pihak rumah sakit untuk memindahkannya ke ruangan ini setelah selesai operasi?  Rie cukup terusik dengan hal ini, dan dia memutuskan untuk mencaritahu besok pagi.   ***   “Selamat pagi.”  Yang Rie dapatkan sesaat setelah membuka mata adalah ucapan selamat pagi dari Hiro yang terdengar begitu lembut. Rie menoleh pada si pemilik suara yang sedang duduk di sofa sambil melempar senyum ramah padanya. Rie tertegun, untuk kesekian kalinya menyadari sikap Hiro padanya dan Mai memang sangat berbeda jauh. Jika dia tak mengingat pengakun Hiro kemarin tentang gadis cinta pertamanya, mungkin dia akan berpikir yang tidak-tidak tentang Hiro. Rie bersyukur dirinya sudah mengetahui masa lalu pria itu sehingga kini dia menanggapi sikap Hiro dengan santai tanpa perlu merasa gugup atau jantungnya berdebar cepat seperti kemarin saat dia belum mengetahui apa pun tentang pria itu.  “Pagi juga, Hiro. Kau sudah bangun?” “Hm, sekitar tiga puluh menit yang lalu. Aku sedang beristirahat sebentar karena aku akan mandi dulu sebelum berangkat ke kantor.”  Rie melirik ke arah jendela yang tirainya sudah dibuka, dia menebak pasti Hiro yang melakukannya. Melihat langit sudah terang, Rie tahu dirinya bangun terlalu siang.  “Jam berapa sekarang?” “Sebentar lagi jam delapan,” jawab Hiro yang sukses membuat Rie terbelalak. “Sebentar lagi jam delapan dan kau masih di sini? Seharusnya kau segera berangkat, Hiro.”  Hiro terkekeh melihat reaksi Rie yang tampak panik, “Jangan khawatir, aku sudah meminta izin datang telat hari ini pada Toshio. Aku sudah menjelaskan alasannya.” “Oh, Toshio sudah tahu aku dirawat di rumah sakit ini?” “Tentu saja dia tahu. Mai yang memberitahunya begitu kau menelepon. Toshio juga yang memberitahuku, kau dirawat di sini.”  Rie ber-oh panjang, “Hiro, aku ingin meminta bantuanmu.” “Apa? Katakan saja, aku pasti akan membantumu,” sahut Hiro dengan penuh semangat. “Tolong ceritakan kejadian yang menimpaku pada Toshio. Penyelidikan tentang ledakan di hotel harus segera dilakukan, juga keempat pria yang menyerangku itu, kita harus segera mencaritahu benarkah mereka anggota kelompok Kitsune.”  Hiro mendengus pelan, tanpa diminta oleh Rie pun tentu hari ini dia akan memberitahu atasan mereka tentang kejadian yang menimpa Rie, termasuk tentang penyerangan itu.  “Andai saja jasad keempat pria itu masih ada di tempat parkir, mungkin penyelidikan kita akan lebih mudah. Kita bisa mencaritahu identitas mereka, dengan begitu kita akan selangkah lebih mendekati Kitsune, kan?” Rie menghela napas panjang, tampak kecewa karena lagi-lagi jejak kejahatan mereka dihilangkan sebelum sempat diperiksa oleh kepolisian.  “Jangan khawatir, semoga kejadian itu terekam kamera CCTV. Kita bisa mencari tahu identitas mereka dari rekaman itu.”  Rie tersenyum miring, jika jasad keempat pria itu saja sudah diurus dengan cepat oleh para yakuza itu, Rie yakin mereka tak mungkin meninggalkan kamera CCTV yang akan menjadi bukti berbahaya bagi mereka jika diambil kepolisian. Jadi Rie tak terlalu berharap rekan-rekannya akan mendapatkan petunjuk dari rekaman kamera pengintai yang dipasang di tempat kejadian.  “Kau sudah lapar belum, Rie?”  Rie menggelengkan kepala, “Belum.” “Mau aku belikan makanan di luar?”  Tawaran Hiro itu terdengar menggiurkan, namun saat mengingat Hiro harus berangkat ke kantor terlebih dia sudah terlalu banyak merepotkan pria itu, Rie mengurungkan niat yang awalnya sempat berpikir untuk menerima tawarannya.  “Tidak perlu. Aku akan memakan makanan dari rumah sakit.” “Kau yakin?” tanya Hiro, memastikan sekali lagi. “Ya, yakin sekali.”  Hiro lalu mengangkat kedua bahu, membiarkan Rie melakukan apa pun yang diinginkannya termasuk memilih makanan yang akan dimakannya pagi ini. Hiro lalu bangkit berdiri dari duduknya. “Aku ikut mandi dulu,” katanya, meminta izin pada Rie.  Rie mengangkat ibu jari tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Dia hanya menatap punggung tegap Hiro yang berjalan menuju pintu hingga sosoknya menghilang begitu masuk ke toilet.  Rie kini kembali tertegun, banyak hal yang mengganggu pikirannya, terutama masalah keempat pria yang menyerangnya. Padahal Rie yakin keempat pria itu sudah tewas di tangannya, andai saja rekan-rekannya mampu menemukan jasad mereka maka penyelidikan tentang Kitsune akan lebih mudah untuk dilakukan.   Tapi karena sekali lagi pergerakan kelompok yakuza itu lebih cepat dari kepolisian, Rie harus menelan kenyataan pahit penyelidikannya harus kembali dimulai dari nol.  Di tengah-tengah Rie yang masih menyibukan diri dengan pemikirannya sendiri, atensi wanita itu teralihkan oleh suara pintu yang dibuka seseorang. Sosok seorang perawat sambil membawa nampan berisi makanan, kini masuk ke dalam ruangan.  “Selamat pagi, Bu,” sapa perawat itu ramah. “Pagi juga.”  Rie menatap malas pada nampan berisi makanan yang disiapkan pihak rumah sakit untuk menu sarapannya pagi ini, yang kini diletakan tepat di depan matanya oleh sang perawat.  Melihat menunya saja sungguh membuat Rie tak berselara untuk memakannya, apalagi saat dia mengingat rasa makanan yang dia makan kemarin begitu hambar, Rie semakin tak berminat memakan makanan yang terhidang di depannya tersebut.  “Silakan dimakan.”  Rie hanya merespon dengan senyuman yang dipaksakan. Perawat itu tak mengatakan apa pun lagi  karena dia kini sedang memeriksa denyut nadi Rie.  Saat melihat sang perawat yang begitu serius menjalankan tugasnya, Rie tiba-tiba teringat akan sesuatu. Dia pun tanpa ragu langsung menanyakannya.  “Sus, setelah aku keluar dari ruang operasi kemarin, kenapa aku dipindahkan ke ruangan ini?” tanya Rie langsung ke intinya karena hal inilah yang membuatnya penasaran sejak semalam.  “Ini atas permintaan orang yang membawa anda ke rumah sakit ini. Dia yang meminta kami memindahkan anda ke sini.” “Kalian tidak memindahkan aku ke ruang ICU dulu setelah operasi itu?”  Perawat itu menggelengkan kepala, “Tidak. Karena kondisi anda stabil, kami menyetujui saat Pak Raiden meminta untuk memindahkan anda ke ruangan ini.”  Rie mengangguk-anggukan kepala pertanda dirinya memahami situasi yang menimpanya kemarin serta alasan dirinya dipindahkan ke ruangan VIP ini, tapi sekarang ada hal lain yang membuatnya semakin penasaran.  “Sus, untuk biaya operasi dan ruangan ini …” “Oh, itu sudah dilunasi oleh Pak Raiden, Bu.”  Rie mengerjap-erjapkan mata, terkejut luar biasa mendengar pengakuan sang perawat.  “A-Apa kau bilang? Raiden yang membayarnya?”  Perawat itu kembali mengangguk, “Benar. Karena saat itu awalnya kami menyarankan anda dipindahkan ke ruang kelas 1 karena ruangan VIP sedang penuh. Beruntung ternyata ada satu pasien yang sudah diizinkan pulang sehingga kami bisa memindahkan anda ke ruangan VIP. Pak Raiden bersikeras ingin anda mendapat pelayanan terbaik sehingga meminta anda ditempatkan di ruangan ini.”  Rie tercengang sekarang, dia tahu Raiden sangat baik padanya bahkan di hari pertama pertemuan mereka, Rie sudah menilai pria itu memang pria baik hati. Tapi sampai sejauh itu kebaikan Raiden padanya, Rie jadi semakin terharu sekarang. Dan di dalam hati, dia berharap suatu hari nanti akan kembali bertemu dengan Raiden karena Rie ingin membayar semua hutang ini. Hutang karena pria itu pasti sudah mengeluarkan uang yang banyak untuk membayar biaya operasi dan juga biaya ruangan VIP ini. Hutangnya pada Raiden yang sudah berbaik hati membelikannya roti tapi Rie tetap ingin membayar uang Raiden yang digunakan untuk membeli roti tersebut. Dan terakhir hutangnya pada Raiden yang sudah menyelamatkan nyawanya.  Hah, begitu banyak hutang Rie pada Raiden dan kini wanita itu kebingungan bagaimana cara melunasi semua hutang itu. Hutang uang mungkin bisa langsung dia bayar, tapi untuk hutang pria itu yang sudah menyelamatkan nyawanya, sungguh Rie tak tahu bagaimana cara membayarnya. Lagi pula, entah keinginannya untuk bertemu lagi dengan Raiden bisa terkabul atau tidak, Rie sendiri tak mengetahui apa yang akan menimpanya di masa depan nanti.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN