BAB 11

2175 Kata
Begitu keluar dari toilet, Hiro menemukan Rie sedang melamun dengan tatapan kosong ke arah makanan di depannya. Hiro mengulum senyum karena dia sudah menebak Rie berbohong saat mengatakan ingin memakan makanan buatan rumah sakit, melihat ekspresi wajahnya sekarang saja sudah bisa dia tebak Rie enggan memakannya.  Hiro dengan sengaja berdeham untuk menarik perhatian Rie, dan berhasil karena wanita itu kini menoleh ke arahnya.  “Oh, kau sudah selesai mandinya, Hiro?”  Hiro mengangguk, dia lalu mendudukan diri di kursi yang diletakan tepat di samping tempat tidur Rie. “Kenapa kau tidak memakannya?” Hiro menunjuk dengan lirikan mata pada nampan berisi makanan yang diletakan di depan Rie. “Oh, aku lupa kau tidak bisa memakannya sendiri, kan?”  Tanpa menunggu respon dari Rie, Hiro bergegas mengambil sumpit yang tergeletak di atas nampan membuat Rie gelagapan karena dia tak berharap kejadian kemarin kembali terulang. Dia tak mengharapkan Hiro akan kembali menyuapinya. Tapi rupanya terlambat karena sebelum suara penolakannya keluar, Hiro sudah mengulurkan sumpit yang menyapit makanan itu ke mulutnya.  “Aku bisa makan sendiri, Hiro.” “Jangan berbohong, aku tahu kau kesulitan memegang sumpit dengan tangan kiri. Lagi pula kalau kau memang berniat memakannya sendiri seharusnya sejak tadi kau sudah mulai makan. Katakan saja kau memang menungguku keluar dari toilet, kan?” “Hah? Aku tidak …”  Rie tak sanggup melanjutkan ucapannya karena dengan kurang ajar Hiro langsung memasukan makanan itu ke mulut Rie yang terbuka.  Rie meringis, ingin melakukan protes pada awalnya tapi karena mulutnya terlanjur penuh dengan makanan, dia kesulitan untuk bicara.  “Makan yang banyak ya, kalau bisa habiskan makanan ini karena kau sendiri yang mengatakan ingin memakan makanan rumah sakit dari pada memintaku membelikan makanan di luar.”  Rie mendengus, tapi dia tak bisa membalikan kata-kata Hiro karena tadi dia memang berkata demikian pada pria itu. Saat untuk kedua kalinya Hiro mengulurkan sumpit di tangannya ke dekat mulut Rie, bagai kerbau yang dicocok hidungnya, Rie menjadi begitu penurut. Dia membuka mulut dan di saat bersamaan baik Rie maupun Hiro dikejutkan oleh suara pintu yang dibuka seseorang dari luar.  “Hallo, pagiiiiii ….!”  Itu suara Mai yang heboh seperti biasa, wanita itu melongo saat melihat pemandangan di depannya saat Hiro sedang menyuapi Rie.  “Wah, wah, pemandangan apa ini yang kulihat? Pagi-pagi aku melihat pasangan yang sedang bermesraan. Manis sekali ya kalian berdua.”  Hiro dan Rie mamasang ekspresi yang sama, tatapan datar dan malas meladeni Mai yang selalu banyak bicara.  “Eh, eh, kenapa tidak jadi menyuapi Rie? Teruskan saja, Hiro, anggap aku tidak ada,” ucap Mai karena melihat Hiro yang sudah mengulurkan sumpit ke mulut Rie itu kembali menurunkan tangannya seolah pria itu berniat membatalkan niat untuk menyuapi Rie. “Apa perlu aku keluar lagi karena kedatanganku sepertinya mengganggu kalian?”  “Tidak perlu, Mai. Cepat kau ke sini. Kebetulan kau datang karena Hiro memang akan berangkat ke kantor.”  Yang menyambar pembicaraan itu adalah Rie karena melihat Mai yang berniat membuka pintu untuk kembali keluar.  Hiro meletakan kembali sumpit di atas nampan, lalu berdiri dari duduknya. Menatap sekilas pada Rie sebelum mengeluarkan suara, “Karena Mai sudah datang, aku berangkat ke kantor dulu.”  Rie mengangguk-anggukan kepala, memberi izin pria itu untuk pergi. “OK. Terima kasih sudah menemaniku semalam.”  Hiro hanya membalas dengan senyuman tipis, sebelum pria itu melangkah menuju pintu.  “Hei, Hiro, kau tidak berpamitan juga padaku?” Goda Mai karena Hiro memang melewatinya begitu saja tanpa mengatakan apa pun. “Berisik, Mai. Ingat kau sedang di rumah sakit, pelankan suaramu atau kau akan mengganggu pasien lain.” Mai melongo, “Hah? Di sini kan hanya ada Rie, mana pasien lain yang kau maksud, Hiro?” “Pasien di kamar lain maksudku.” Mai memutar bola mata, “Mana mungkin mereka mendengarnya, ada-ada saja kau ini. Bilang saja kau memang tidak berniat berpamitan padaku?” “Oh, itu kau tahu, lantas kenapa bertanya?”  Mai menggeram kesal karena Hiro memang selalu bersikap semenyebalkan itu saat bicara dengannya. Kini wanita itu tak berkomentar lagi, dia membiarkan Hiro berjalan melewati pintu hingga sosoknya menghilang saat pintu kembali tertutup rapat.  Rie menghela napas panjang begitu melihat Mai dengan penuh semangat mendudukan diri di kursi yang tadi diduduki Hiro, sudah bisa menebak apa yang akan dikatakan wanita itu sebentar lagi.  “Hei, hei, ada apa ini? Kenapa bisa Hiro menyuapimu, Rie? Apa kalian sudah resmi berpacaran sekarang? Dia sudah menyatakan cinta padamu, kan?” Mai tiba-tiba tertawa padahal pertanyaannya yang bertubi-tubi belum mendapatkan tanggapan apa pun dari Rie. “Sudah kuduga, wanita yang dicintai Hiro itu memang kau, Rie. Ini berita besar. Orang-orang di kantor pasti heboh jika mendengar kabar ini.”  Rie menggeram kesal, tebakannya terbukti benar Mai memang akan bereaksi seheboh ini. “Jangan bicara sembarangan. Hanya karena Hiro menyuapiku bukan berarti kami berpacaran. Pola pikirmu itu harus diperbaiki, Mai. Jangan asal menyimpulkan sebelum mencari tahu kebenarannya.”  Mai terkekeh, tak terkejut sama sekali melihat reaksi Rie yang terlihat tersinggung dengan ucapannya. “Jadi tebakanku salah? Kalian tidak berpacaran?” “Tentu saja tidak. Jangan asal bicara,” jawab Rie tegas. “Lalu bagaimana bisa dia menyuapimu? Aku benar-benar syok melihatnya.” “Kau tidak melihat tanganku sulit memegang sumpit karena benturan waktu ledakan itu sepertinya bahuku memar.” Rie menjeda ucapannya, dia memperhatikan kedua bahu Mai yang tampak baik-baik saja. Tak terlihat ada perban yang melilit atau pun luka karena wanita itu mengenakan kaos berlengan panjang. “Mai, bukannya kau juga terluka? Bahumu bagaimana?”  Mai mengikuti arah yang ditatap Rie yaitu bahunya. “Oh, bahuku masih sakit sampai sekarang,” katanya sembari memegang bahu kirinya. “Tapi tidak terlalu parah, tidak sampai mempengaruhi performaku untuk tetap tampil eksis,” tambahnya sembari menyengir lebar.  Rie memutar bola mata malas walau dia sudah terbiasa menghadapi Mai yang memang memiliki kepribadian seperti itu, kepercayaan diri yang terlalu tinggi dan selalu terlalu banyak bicara membuat Rie dan Hiro terkadang malas menanggapi.  “Berarti kau mendramatisir keadaanmu saat kita di hotel, kau bilang bahumu retak?” Mai kembali memperlihatkan cengiran lebar khasnya. “Tidak begitu juga karena saat itu bahuku memang sakit sekali,” katanya melakukan pembelaan diri. “Hei, jangan mengalihkan pembicaraan, pembahasan kita tadi belum selesai. Jadi kau yang meminta Hiro untuk menyuapimu karena kau tidak bisa makan dengan tanganmu sendiri?”  Rie mengangkat kedua bahunya, “Tidak juga. Hiro sendiri yang menawarkannya padaku.” Kini Mai melongo dengan mulut yang menganga hingga membentuk huruf O, “Hah? Serius Hiro yang menawarkan diri untuk menyuapimu?”  Tanpa ragu Rie menganggukan kepala karena kenyataannya memang seperti itu, dia sama sekali tidak mengatakan kebohongan.  “Mustahil, si manusia es itu yang menawarkan diri untuk menyuapimu?” “Manusia es? Dia tidak sedingin itu. Dia baik menurutku.”  Giliran Mai yang memutar bola mata, “Iya. Dia memang baik padamu tapi lain ceritanya jika pada orang lain. Kau lihat sendiri kan bagaimana cara dia bicara denganku? Sangat menyebalkan membuatku ingin menjitak kepalanya terkadang.”  Rie terkekeh karena raut wajah Mai sekarang sungguh sedang menahan kesal.  “Oh, iya. Ngomong-ngomong ini …” Mai mengulurkan plastik putih yang dia tentang sejak tadi pada Rie. Sedangkan Rie tampak kebingungan, dia tak langsung menerima plastik itu.  “Apa itu?” tanya Rie. “Makanan. Hiro mengirimkan pesan padaku tadi, dia menyuruhku membelikan makanan karena kau tidak menyukai makanan dari rumah sakit.”  Rie terbelalak, terkejut tentu saja karena tak menyangka Hiro akan melakukan ini. “Hiro yang menyuruhmu? Serius?”  Mai berdecak, “Kau pikir aku bohong? Perlu aku perlihatkan pesannya agar kau percaya?” Dengan cepat Rie menggelengkan kepala, “Tidak perlu. Aku hanya terkejut saja. Tadi dia memang menawarkan diri untuk membelikanku makanan di luar tapi aku menolak karena tidak ingin merepotkannya. Siapa sangka, dia justru menyuruhmu.”  Melihat Mai menyeringai lebar, Rie sudah bisa menebak apa yang sedang dipikirkan wanita itu. “Jangan berpikiran yang tidak-tidak. Jika kau pikir Hiro baik padaku karena dia jatuh cinta padaku, kau salah besar karena semalam Hiro sudah menceritakan tentang wanita cinta pertamanya padaku. Ah, tidak, bahkan hingga sekarang dia masih mencintai wanita itu.” “Hah? Serius?” “Tentu saja. Aku tidak mungkin berbohong untuk masalah seperti ini,” jawab Rie dengan tegas karena terlihat jelas Mai meragukan ucapannya. “Memangnya siapa wanita cinta pertamanya itu?” “Adik kelasnya saat di sekolah. Sampai sekarang Hiro masih mencintai wanita itu.”  Mai pun mendengus pelan, “Ah, itu cinta lama. Aku yakin Hiro memiliki cinta yang baru sekarang. Dan menurutku sekarang dia mencintaimu, Rie. Makanan yang kubelikan itu adalah buktinya. Dia sepeduli itu padamu.”  Rie menghela napas panjang, tak peduli lagi apa pun yang dikatakan Mai karena yang dia percaya adalah cerita Hiro kemarin. Dia yakin bukan dirinya yang dicintai Hiro karena masih melekat jelas di ingatannya, Hiro dengan tegas mengatakan masih mencintai wanita cinta pertamanya.  Sekarang Rie tak akan mempedulikan lagi apa pun yang dikatakan orang lain tentang Hiro dan dirinya. Rie tak ingin persahabatannya dengan Hiro rusak hanya karena rumor tak jelas dari orang-orang yang gemar bergosip.   ***   Satu minggu lamanya Rie dirawat di rumah sakit dan dia sudah dinyatakan pulih oleh dokter yang menanganinya. Sehingga kini Rie sudah keluar dari rumah sakit dan kembali ke rumahnya.  Hari ini merupakan hari terakhir dirinya mendapatkan cuti karena besok dia harus kembali bekerja. Rie sedang merapikan tempat tidurnya yang sedikit berantakan.  “Rie.”  Mendengar panggilan dari teman yang tinggal serumah dengannya, Mai tentu saja orang itu, Rie pun menghentikan sejenak aktivitasnya dan menatap ke arah Mai yang berdiri di depan pintu kamarnya.  “Kenapa, Mai? Kau akan berangkat sekarang?” Rie berujar demikian karena melihat Mai sudah tampil rapi pertanda wanita itu sudah siap untuk berangkat bekerja. “Iya. Aku berangkat dulu ya. Dan nanti malam sepertinya aku tidak akan pulang ke rumah.” “Kenapa?”  Hanya dengan melihat cengiran Mai, walau wanita itu tidak memberikan jawaban sekalipun, Rie sudah bisa menebak alasan Mai tidak akan pulang malam ini. Tentu saja dia akan menginap di apartemen pacar barunya.  “Sepertinya hubunganmu dengan pacar barumu itu lancar, Mai? Sudah lebih dari satu minggu kan kau pacaran dengannya?”  Mai mengangguk mengiyakan. Sebenarnya ini rekor untuk Mai karena biasanya wanita itu hanya akan bertahan kurang dari satu minggu dengan pacarnya. Mai tentu saja yang memutuskan hubungan dengan pria-pria itu karena wanita itu memang mudah bosan dan senang berburu pria tampan.  “Dia sangat hebat di ranjang. Dan errr … aku menyukainya,” balas Mai, tak merasa malu sedikit pun saat mengatakan itu di depan Rie.  Rie meringis, terkadang merasa ngeri dengan kebiasaan temannya itu. Khawatir suatu hari nanti dia akan terkena imbas karena sering memutuskan hubungan secara sepihak dengan banyak pria seolah dia begitu senang mempermainkan pria-pria itu. Memang Mai memiliki wajah yang cantik, rambut panjang sepinggang yang berkilau indah, tubuh ideal layaknya model papan atas, juga cara berpakaian yang selalu mengikuti fashion. Oh, jangan lupakan dia selalu memoles wajahnya dengan make up sehingga sudah pasti penampilan memikatnya akan berhasil menjerat pria-pria di luar sana.  “Hm, baguslah kalau begitu.” Hanya itu respon yang diberikan Rie. “Lagi pula dia cukup tampan, ya walau tak sebanding dengan Hiro atau … siapa itu nama pria penolongmu itu, Rie?” “Raiden,” jawab Rie sembari menaikkan satu alis.  Dan saat Mai tertawa lantang, Rie baru menyadari dia terkena jebakan Mai.  “Sudah kuduga ingatan tentang Raiden masih melekat di kepalamu ya, Rie. Aku jadi semakin curiga kau memang ada rasa padanya.” “Tutup mulutmu,” bantah Rie sembari melempar bantal di tangannya ke arah Mai, beruntung refleks Mai cukup bagus sehingga dia bisa menghindarinya. “Pergi sana, Mai. Mulutmu berisik.”  Mai memeletkan lidah keluar untuk mengejek Rie, sebelum dia pun melenggang pergi meninggalkan rumah.  Tak membutuhkan waktu yang banyak bagi Rie hingga dia menyelesaikan membereskan tempat tidurnya. Kini dia berjalan meninggalkan kamar, menuju dapur karena perutnya mulai meraung-raung minta untuk diisi.  Rie berniat memasak sesuatu untuk sarapannya pagi ini, namun begitu membuka pintu lemari es, wajahnya langsung berubah masam karena tak ada bahan makanan yang bisa dia masak. Sepertinya Mai belum sempat berbelanja karena terlalu sibuk berpacaran.  Rie beralih kembali menuju kamarnya, meraih sweater yang digantung di belakang pintu, Rie pun kembali berjalan menuju pintu keluar. Dia akan pergi ke mini market terdekat untuk membeli beberapa bahan makanan.  Jarak antara rumah Rie dan mini market memang tak terpaut jauh, hanya membutuhkan berjalan selama 10 menit, wanita itu pun tiba di mini market.  Rie sedang mencari-cari bahan makanan yang akan dia beli sembari menenteng keranjang. Kedua matanya bergulir melihat rak yang penuh dengan berbagai produk yang dijual. Saat Rie berniat mengambil mie ramen instan di salah satu rak, dia dikejutkan oleh suara seseorang yang memanggil namanya dari arah belakang.  “Yumiko Rie, kah?”  Rie berbalik badan dan kedua matanya membulat seketika.  “Ah, ternyata benar kau. Hai, apa kabar?”  Rie tak sanggup berkata-kata karena lidahnya tiba-tiba terasa kelu. Tak menyangka sedikit pun dia akan bertemu dengan orang itu di sini. Bertemu tanpa sengaja dengan sesosok pria yang belakangan ini selalu muncul tanpa permisi di pikirannya, sekaligus pria yang bagi Rie merupakan penyelamat nyawanya, Ryuzaki Raiden.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN