Kisah Safitri

2763 Kata
Dari Tanjung Periuk ke desa Sangiang.       Bagi seorang anak perempuan bisa bermain di rumah bersama anak-anak perempuan seusianya merupakan suatu kebahagiaan tersendiri, bisa bermain rumah-rumahan, masak-masakan, bermain bola bekel, dan sebagainya. Seperti kebanyakan anak perempuan yang selainnya, namun hal itu sangat sulit dirasakan oleh Safitri, sejak kecil ia lahir dan tinggal di pesisir pantai Tanjung Periuk Jakarta, tinggal di perkampungan kumuh, dengan lingkungan pertemanan kebanyakan anak laki-laki, di sana Safitri tidak menemukan anak perempuan seusianya, kesehariaannya ia habiskan bermain dengan anak laki-laki sekitar rumahnya. Permainannya pun juga seperti kebanyakan anak laki-laki pada umumnya, yaitu bermain laying-layang, sepak bola, benteng-bentengan, dan sebagainya.     Banyak bergaul dengan anak laki-laki membuat seorang Safitri menjadi anak yang tomboy, kuat, berani melakukan dan mencoba hal-hal baru, serta memiliki kepercayaan diri yang tinggi. Hampir 12 tahun ia tinggal di sana, karena Abinya bekerja sebagai supir di salah satu perusahaan ekspedisi Tanjung Periuk, sedangkan Uminya hanya berjualan catering makanan di depan rumahnya, mereka hidup pas-pasan di sana, tinggal di rumah petak kecil ukuran 6 x 5 meter persegi, saat itu Safitri masih menjadi anak satu-satunya di keluarganya.     Selepas Safitri lulus SD, Abinya di pindah tugaskan di kantor daerah kota Tangerang, yang akhirnya membuat ia sekeluarga harus pindah rumah ke Tangerang serta melanjutkan sekolah SMP di Tangerang, meninggalkan tempat kelahirannya merupakan suatu kesedihan tersendiri bagi Safitri, ia harus berpisah dengan teman-temannya yang selama ini membantunya tumbuh dan berkembang di sana, namun apa dayanya karena Abinya merupakan tulang punggung keluarga, maka harus ikut Abi pindah ke Tangerang, meskipun sudah pindah ke Tangerang nantinya Safitri masih mencoba untuk tetap menjaga hubungan baik dengan teman-teman sepermainannya di Tanjung Periuk.     Di Tangerang ia tinggal di desa Sangiang, di sana Safitri masuk sekolah SMPN 12 Tangerang, jaraknya hanya 7 menit dari rumahnya, di Tangerang Safitri memiliki banyak teman perempuan seusianya, ia pun tidak kesulitan untuk bergaul dan menemukan teman baru di lingkungan barunya, karena ia sudah punya bekal kepribadian yang telah dibentuk selama tinggal di Tanjung Periuk. Kini Safitri telah tumbuh menjadi seorang remaja, banyak perubahan yang ada dalam dirinya, terutama pada penampilan fisiknya, kini dia kelihatan anggun dengan menggunakan kerudung serta baju tertutup, wajahnya semakin terawat, kulitnya kuning keputih-putihan dengan kacamata minus melekat di atas hidungnya, namun kepribadiannya tidak ada perubahan yang berarti, ia masih sama kayak dulu menjadi anak yang tomboy cuman masih bisa di kendalikan, ‘tomboy tapi santun’ kata teman-temannya di SMP, ia juga masih punya kepercayaan diri yang tinggi seperti dulu, tetap menjadi pribadi yang kuat dan mau mencoba hal-hal baru.     Di Tangerang Safitri di karuniai seorang adik perempuan bernama Bunga, Safitri sangat bahagia dengan kehadiran Bunga sebagai adiknya, kini ia bukan lagi menjadi anak tunggal, melainkan sudah menjadi anak pertama yang sudah memiliki seorang adik. Namun kebahagiaan Safitri dan keluarga dengan kehadiran Bunga juga menimbulkan konsekuensi pengeluaran keluarga yang bertambah, dengan kehidupannya yang pas-pasan secara ekonomi membuat orang tuanya harus bekerja keras memutar otak untuk bisa bertahan dalam menjalani kehidupan. Hal itu terkadang membuat Abinya merasa stress yang berdampak pada naiknya sisi emosionalnya Abi, hampir setiap pulang kerja ketika Umi bicara kepada Abi tentang kebutuhan Bunga, Abi selalu menanggapinya dengan emosional, yang akhirnya berujung pada pertengkaran antara Abi dan Umi.     Pertengkaran itu hampir berlangsung tiap hari, dan hampir tiap hari pula Safitri mendengar dan melihat sendiri pertengkaran antara Abi dan Uminya. Suasana rumah kini sudah tak lagi nyaman bagi Safitri, tiap ia mendengar pertengkaran antara Abi dan Uminya, Safitri hanya bisa lari ke kamar, menangis serta ketakutan sendiri. Ketidak nyamanan suasana rumah membuat Safitri lebih sering menghabiskan waktunya untuk mencari aktualisasi di sekolah, ia banyak ikut kegiatan keorganisasian di sekolah seperti osis serta ikut ekskul palang merah remaja (PMR). Hampir tiap ada event atau perlombaan di organisasi selalu diikuti sama Safitri, selain karena ia suka mencoba hal-hal baru, sekaligus juga ia ingin melepaskan penat kehidupan di rumahnya. Baginya berinteraksi dan aktif di kegiatan keorganisasian membuat Safitri nyaman di bandingkan harus di rumah, hampir tiap hari waktu Safitri habis untuk aktif di keorganisasian, entah di waktu sepulang sekolah hingga baru pulang ke rumah malam, maupun di hari libur. Ketika malam pulang ke rumah pun Safitri langsung bersih-bersih diri, masuk kamar untuk belajar kemudian tidur, semenjak saat itu ia jarang berinteraksi dengan kedua orang tuanya. Meskipun Safitri habiskan waktu luangnya dengan mengikuti berbagai kegiatan di luar rumah yang berakibat dengan jarangnya berinteraksi sama kedua orang tuanya semenjak seringnya muncul pertengkaran antara Abi dan Uminya, dalam hati Safitri masih menginginkan keindahan suasana keluarganya yang harmonis serta penuh keceriaan seperti dahulu sewaktu masih tinggal di Tanjung Periuk.    (^_^) (^_^) (^_^)     Pelampiasan Safitri sebagai ganti jarangnya interaksi dengan kedua orang tuanya di rumah adalah dengan mencoba menjalin romansa percintaan dengan teman sekelasnya sewaktu SMP, Ya di sinilah awal mula Safitri mengenal yang namanya romansa percintaan remaja untuk pertama kalinya. Saat itu Safitri mengagumi teman laki-laki sekelasnya bernama Fandi, namun ia tidak pernah mengungkapkan rasa kagumnya secara langsung kepada Fandi, bagi Safitri cinta adalah anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa. Dalam konteks filosofi, cinta merupakan sifat baik yang mewarisi semua kebaikan, perasaan belas kasih dan kasih sayang. Ungkapan cinta mungkin digunakan untuk meluapkan perasaan seperti perasaan terhadap keluarga, perasaan terhadap teman-teman, perasaan yang romantis atau asmara, perasaan kasih sayang, perasaan terhadap bangsa atau nasionalisme, dan sebagainya. Apabila seseorang merasakan cinta pastinya hari-hari yang dilalui menjadi berbunga-bunga. Memberikan cinta maupun menerima cinta sangatlah indah. Namun apa jadinya bila cinta asmara telah membunga-bungai seorang siswi SMP yang baru mengenal kata asmara sehingga terhanyut dalam cinta?     “Pernah enggak sih, ada di situasi kita suka sama seseorang, tapi orang yang disukai itu ternyata enggak punya perasaan apa-apa ke kita? Atau berada di posisi Friend Zone? Atau mungkin sama-sama punya perasaan yang sama? Rasanya sangat bahagia ketika aku mengetahui orang yang aku sukai juga memiliki perasaan yang sama. Comfort zone tuh semakin melebihi batasnya, hari-hari itu seperti memakan 5 (lima) bungkus cokelat. Rasanya manis, buat bahagia, dan berbunga-bunga.” Kelakar Safitri dalam hatinya.     Safitri memilih memendam perasaannya kepada Fandi, ia merasa gengsi jika seorang perempuan yang mengatakan perasaannya terlebih dahulu kepada lawan jenisnya, selain itu juga ia merasa khawatir jika orang yang dia sukai ternyata tidak menyukai dirinya. Setelah memendam perasaannya sekian lama, tiba-tiba Safitri dikejutkan oleh sebuah momen yang dilakukan oleh Fandi kepadanya, saat itu hampir semua teman sekelasnya sedang asyik pergi ke kantin saat jam istirahat, di kelas hanya ada Safitri bersama ke lima temannya sedang menikmati bekal makanan yang mereka bawah dari rumah. Tiba-tiba dari luar kelas masuklah Fandi, ia langkahkan kakinya menuju depan meja Safitri yang sontak membuat Safitri terkaget melihat seseorang yang ia sukai menghampirinya, Fandi tidak menyampaikan sepata kata pun, ia hanya memberikan selembar kertas putih yang dilipatnya rapi kepada Safitri. Kemudian Fandi kembali melangkahkan kaki pergi ke luar kelas, hal tersebut semakin membuat Safitri bingung dan terkaget, ia buru-buru menyelesaikan makannya, dan sembari pelan-pelan ia buka lipatan kertas pemberian dari Fandi laki-laki yang dia sukai, yang ternyata di dalam lipatan kertas tersebut terselip sebuah tulisan yang berbunyi.     “Ketika senja hendak menunjukkan keindahannya, ia tidak memerlukan perantara, karena ia telah memiliki waktunya.” Bunyi tulisan Fandi dalam kertas yang diberikan kepada Safitri.     Membaca pesan yang ada di tulisan kertas pemberian Fandi membuat Safitri semakin merasa kebingungan dan heran mengenai apa maksud yang ingin di sampaikan olehnya, hingga sampai bel masuk sekolah berbunyi dalam fikirannya masih bertanya-tanya tentang maksud pesan Fandi kepadanya, sembari sesekali ia curi-curi pandang ke Fandi yang sedang berada di tempat duduknya, hal itu membuat Safitri tidak bisa fokus mengamati pelajaran sekolahnya. Bel pulang sekolah pun berbunyi, selepas guru meninggalkan kelas, tiba-tiba Fandi maju ke depan dan menyampaikan perasaanya kepada Safitri, sontak hal tersebut membuat Safitri terkaget, malu, sekaligus bahagia bercampur aduk.           “Apa maksudnya dia tiba-tiba mengungkapkan perasaannya di depan teman-temanku? Aku betul-betul malu saat itu. Pertama kalinya aku menemukan seorang laki-laki menyatakan perasaannya dengan begitu beraninya kepadaku. Apakah cukup menjawabnya dengan ‘anggukan’ itu artinya aku menerimanya sebagai pasangan? Jujur aku tidak memikirkan bagaimana kedepannya nanti.” Lanjut Safitri dalam hatinya saat melihat Fandi mengungkapkan perasaannya di depan banyak teman sekelasnya. Mungkin diantara teman-temannya, Safitri adalah orang yang baru-baru ini mengenal asmara. Teman-temannya lebih berpengalaman dalam menjalin asmara, mungkin ini juga alasannya mengapa Safitri bisa menerima si dia, karena teman-temannya banyak yang sudah memiliki pasangan.     “Apakah aku ini hanya ikut-ikutan? Tapi tidak ada yang salah ‘kan menghargai perasaan seseorang?’ Terlebih dia orang yang aku sukai.” Ucap Safitri mencoba menerima keadaan. Ketika Safitri menjawab ungkapan perasaan Fandi dengan anggukan, seketika suasana kelas menjadi gaduh dengan sorak-suara dari teman sekelasnya, sejak saat itu mereka berdua meresmikan hubungan romansa percintaannya. Dari hari ke hari perasaan senang dan merasa memiliki itu semakin tinggi, menjulang ke langit, terbang meski tak bersayap, mengukir harapan-harapan yang mungkin terbilang masih sangat jauh untuk mencapainya. Bersama setiap hari, bertukar cerita, saling memberi perhatian, berbincang di w******p, BBM, Line, f******k, ** (semua sosmed).     Dalam urusan percintaan seperti ini, pastinya kita berusaha banget untuk memberikan yang terbaik untuk dia. Tapi terkadang sampai buat kita jadi lupa sama diri kita sendiri. Kuota habis langsung muncul sifat konsumtifnya, memaksakan beli di warung sebelah biar bisa ngabarin si dia. Enggak dapat kabar dari si dia khawatir banget dia sudah makan atau belum? Sudah mandi atau belum? Sudah minum apa belum? Dan sebagainya. Tapi sama diri sendiri enggak khawatir tuh tentang kesehatan diri, kegiatan positif yang kita lalui, keuangannya yang semakin menipis diajak jalan terus, bahkan rencana tentang cita-cita di taruh paling akhir. Terkadang juga sudah hilangnya rasa malu dengan seenaknya posting foto berdua, quotes galau, bahkan bisa jadi stress karena di putusin, semua itu ia lakukan saja tanpa mempertimbangkan konsekuensinya.     Begitulah kisah pelampiasan Safitri untuk mengimbangi kepenatan kehidupannya di rumah dengan aktif di kegiatan keorganisasian serta masuk ke dalam romansa percintaan remaja, kehidupan Safitri selama SMP secara akademik tidak seberapa mencolok, prestasinya hanya standart, itu berlangsung selama hampir 3 tahun ia menjalani masa SMP seperti itu di temani kerunyaman kehidupan keluarganya, kesibukan organisasi serta percintaan. Tidak mencoloknya prestasi akademiknya disebabkan karena waktunya habis untuk kegiatan keorganisasian serta percintaan. Kini adiknya bernama Bunga sudah berusia hampir 3 tahun, adiknya sedang dalam masa aktif-aktifnya, tak jarang adiknya ini juga sering menjadi alasan di mulainya pertengkaran antara Abi dan Uminya, meskipun itu hanya masalah sepele. Semisal ada adikku lupa cuci piring dan Abi baru pulang kerja lalu berjalan ke dapur melihat di westafel ada piring kotor kemudian teriak memanggil Umi.     “Umi! Umi! Piring siapa ini?!” Teriak Abi memanggil Umi dengan keras sembari menghentakkan piring di westafel.     “Ada apa Abi marah-marah? Itu piringnya Bunga, dia mungkin lupa cuci piring Abi.” Jawab Umi dengan nada rendah.     “Kamu itu ngajarin anak yang bener, masa di rumah aja gak bisa ngajarin anak?!” Ucap Abi dengan nada emosi.     “Astaughfirullah! Umi itu mendidik anak-anak kita sudah dengan benar, tiap hari Umi kerjaannya gak hanya ngurusi anak aja Bi, banyak.” Jawab Umi kesal dengan nada tinggi. Setiap Abi dan Umi bertengkar Safitri sebagai anak pertama hanya bisa memeluk adiknya di kamar, sembari menenangkan adiknya yang ketakutan mendengar pertengkaran antara Abi dan Umi, Hampir tiap hari hal itu ia lakukan ketika Abi dan Umi bertengkar di rumah. Kalau ditanya apakah Safitri tidak menangis sedih melihat fenomena itu? jawabannya adalah pasti sedih, ia kesal ingin teriak sekencang-kencangnya ke Abi dan Umi.     “Abi dan Umi kalau mau bertengkar jangan di hadapan kami!” Teriak Safitri dalam hati yang enggak pernah bisa ia keluarkan lewat ucapan. Setelah Safitri menenangkan adiknya yang masih kecil dan menidurkannya, di saat itu ia baru menangis hebat sendirian di kamar, bahkan pernah ia menangis sampai air matanya sudah kering tak sanggup meneteskan air lagi, ia juga sempat berada pada puncak rasa frustasinya merasa lelah dengan semua permasalahan yang ada dihadapannya, kala itu ia pernah berucap kepada Allah ketika melihat pertengkaran antara Abi dan Uminya.     “Kenapa harus aku yang mengalami semua ini? Allah tidak adil denganku.” Ucap Safitri dalam hatinya sembari melemas dan matanya sudah tak sanggup mengeluarkan air mata lagi.     Dari segala drama kehidupan yang menimpah Safitri tersebut ada konsekuensi yang tidak ia siapkan dalam kehidupannya, yaitu tentang perencanaan masa depannya. Kini dia sudah hampir selesai menjalani kelas 3 SMP, ia sedang kebingungan seperti teman-teman selainnya dalam hal menetapkan melanjutkan ke mana setelah lulus SMP. Saat itu Safitri tidak sempat memikirkan selepas SMP mau masuk ke sekolah mana, waktunya habis memikirkan organisasi dan kisah percintaannya dengan do’i ditambah dengan berbagai persoalan konflik keluarga yang ada, bahkan sampai selesai UN (Ujian Nasional) SMP pun ia masih belum punya gambaran mau sekolah di mana, setiap temannya bertanya.     “Fitri! Setelah lulus lu mau ke mana?” Tanya mereka kepada Safitri.     “Belum tau.” Jawabnya singkat dan cetus saat itu karena bingung enggak punya gambaran. Hingga suatu sore hari sepulang sekolah Safitri tiba-tiba ditanya oleh Umi, hal yang mengagetkan bagi Safitri, karena semenjak Abi dan Umi sering bertengkar mereka jarang berkomunikasi dengan Safitri.     “Fitri, kamu mau melanjutkan sekolah di mana?” Tanya Umi kepada Safitri sembari berdiri memegang pintu kamar.     “Fitri bingung Umi, gak tau mau sekolah ke mana?” Jawab Safitri dengan rendah sembari melepaskan jaket dan tas sekolah yang ia gunakan.     “Gimana kalau kamu sekolah di SMKN 9? Sekolah kesehatan kayak si Tini (tetangga Safitri)?” Sahut Umi sambil telunjuknya menunjuk ke atas kanan Safitri seakan tembus ke rumah Tini.     “Hmmm, ya sudah kalau gitu aku mau sekolah ke sana Umi.” Jawab Safitri simple dari pada bingung menentukan sekolah di mana, mending ia turutin saran Umi, batinnya.     “Oke lusa kamu sama Umi ke SMKN 9 ya?” Ungkap Umi sembari tersenyum kepada Safitri.     “Iya Umi, lusa kita ke SMKN 9.” Jawab Safitri ke Umi.     Hari Senin pagi pukul 09.00 WIB, Safitri dengan membonceng Umi menaiki motor matic mio biru miliknya pergi ke SMKN 9, jarak antara rumahnya dengan SMKN 9 hanya butuh 7 menit perjalanan naik motor, tidak jauh. Sesampainya di SMKN 9, Safitri dan Umi berkeliling melihat stand jurusan yang dipamerkan di samping lapangan sekolah guna menunjukkan keunggulan masing-masing jurusan kepada calon siswa baru yang ingin mendaftar di sana termasuk kepada Safitri, satu persatu stand jurusan ia kunjungi, dari 5 jurusan yang ada di SMKN 9, sudah ada 4 stand yang dikunjungi oleh Safitri bersama Umi, namun masih tidak bisa membuat ketertarikan Safitri memilih jurusan tersebut, hingga akhirnya pandangannya saat itu tertarik melihat stand jurusan Farmasi klinis dan komunitas yang sedang mendemokan racikan obat herbal serta miniatur apotik, ia tarik tangan Umi sembari berucap.     “Umi…Ayo lihat ke sana.” Ucap Safitri ke Umi.     Setelah melihat demonstrasi dan penjelasan jurusan Farmasi klinis dan komunitas membuatnya sangat tertarik masuk ke jurusan tersebut, hingga keesokan harinya sembari membawa persayaratan berkas-berkas, ia mendaftar ke SMKN 9 dengan mengambil jurusan Farmasi klinis dan komunitas yang sejak awal sudah menarik minat Safitri, hari itu juga ia menjalani tes kesehatan dan tes potensi akademik sebagai syarat penerimaan siswa baru, ia jalani setiap proses dan persyaratan masuk sekolah dengan baik. Singkat cerita, seminggu kemudian keluarlah hasil pengumuman penerimaan siswa baru di SMKN 9, Safitri langsung mengajak Umi berangkat ke SMKN 9 untuk menengok hasil penerimaan siswa baru yang ditempel pada papan putih di tengah lapangan sekolah, ia amati satu-persatu nama yang terpampang di sana sembari telunjuk kanannya ia naik turunkan lurus sesuai baris nama yang terpampang di sana, jantungnya berdebar kencang berharap-harap cemas apakah ia bisa diterima atau tidak masuk SMKN 9, 5 menit ia amati secara perlahan-lahan hasil pengumumannya, ternyata ada namanya di nomor urut 15 dalam jurusan Farmasi klinis dan komunitas, menandakan ia diterima di jurusan farmasi klinis dan komunitas. Sontak hal tersebut membuatnya merasa bahagia, saat itu juga Safitri langsung memeluk Umi sembari mengucapkan syukur kepada Allah karena ia bisa diterima masuk SMKN 9.     Di sela rasa syukur Safitri karena telah diterima di sekolah SMKN 9, terselip kisah sedih berkenaan dengan kisah romansa percintaan yang sedang dijalin Safitri dengan Fandi, karena selepas lulus SMP, kisah cintanya Safitri dengan do’i pun juga lulus, maksudnya selesai karena do’i harus melanjutkan sekolah ke luar pulau mengikuti orang tuanya, sehingga mereka tidak bisa melanjutkan hubungannya lagi. Teman-teman dekatnya di PMR pun juga tidak ada yang masuk ke SMKN 9. Hal tersebut seakan menambah rentetan kisah sedih yang sedang dialami Safitri, kenyamanannya di luar rumah sudah terkikis semenjak lulus SMP, karena saat itu ia sudah tidak lagi menjalankan kisah romansa percintaan dengan Fandi serta sudah tidak bersama lagi dengan teman-teman ekskul yang dulu ia ikuti selama SMP, oleh karenanya Safitri berharap ketika memasuki SMKN 9 ia bisa menemukan kenyamanan baru untuk menghibur kehidupan suramnya di rumah. Hanya dengan memperbanyak kegiatan serta aktivitas di luar rumah itulah yang bisa dilakukan oleh Safitri saat itu, hanya bisa lari dari permasalahan konflik keluarganya, sebab saat itu ia tidak bisa berbuat apa-apa untuk membantu memperbaiki hubungan antara Abi dan Uminya, yang ia bisa hanyalah menenangkan adiknya, sembari berharap suatu saat nanti ia bisa mengembalikan kembali keharmonisan kehidupan keluarganya di rumah.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN